Rabu, 02 September 2009

SUATU KIRIMAN DARIPADA TUHAN

Bagi sebagian orang mungkin cerita ini seprti dongeng anak-anak, tapi bagi orang yang memiliki ALLAH di hati-nya, pasti percaya. Karena ALLAH tidak akan menyia-nyiakan hambaNYA yang datang…………… cerita ini ada di buku UNTAIAN KISAH PARA WALI ALLAH yang di susun dan di tulis Syed Ahmad Semait. Dapatkan di toko buku terkenal di kota Anda. Selamat membaca….. semoga bermanfaat……………..




SUATU KIRIMAN DARIPADA TUHAN

Diceritakan daripada Habib Al-Ajami r.a. katanya:

Saya mempunyai seorang isteri yang sangat buruk kelakuannya, dan suka mengeluarkan kata-kata yang terlalu kasar sekali. Hal ini menyebabkan saya sangat takut kepadanya dan sangat bimbang akan tutur katanya yang kerapkali menggunakan kata-kata yang pedih dan kotor. Sekali peristiwa, oleh kerana terlalu sempit kehidupan kami, dia mengancam saya, katanya: `Kalau kau tidak membawa uang kembali nanti, jangan lagi kau kembali ke rumah, aku tidak mahu melihat mukamu lagi!'

Saya menerima ancaman itu dengan hati yang berat sekali. Dari mana saya akan mencari uang, sedang saya tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Saya bingung dibuatnya.

Saya keluar dari rumah, tidak tahu ke mana tujuan yang mesti saya pergi. Saya pun tidak ada tempat untuk mengadukan nasibku yang malang itu. Akhirnya saya pergi ke pekuburan untuk menenangkan fikiranku, sebab tempat itu kosong, tiada orang yang duduk di situ, dan tiada sedikit bising pun yang boleh kedengaran. Saya sungguh pusing dan bingung sekali.

Saya mengambil wudhuk, lalu bershalat di situ, satu shalat sesudah yang lain hingga masuk waktu petang, baru saya kembali ke rumah, sedang perasaan malu mengelubungi seluruh diriku. Apa yang akan saya katakan kepada isteriku nanti, kalau dia minta saya uang. Saya tidak sanggup mendengar kata nistanya lagi.

Saya masuk ke dalam rumah, dan terus saya diterpa dengan pertanyaannya yang memang, sudah saya dugakan.`Mana uang yang aku mau itu,' tanyanya, `makanan dalam rumah sudah hampir tidak ada lagi.'

Saya terperanjat dan dengan tergagap-gagap tanpa kusedarl keluar dari mulutku kata-kata ini. `Tauke yang saya kerja padanya itu seorang baik lagi murah hati. Saya segan pula hendak menuntut kepadanya upah kerjaku,' kataku. `Habis kapan dia hendak kasih upah kerjamu?!

`Sabarlah! Nanti , dia mesti kasi,' kataku lagi. 'Barangkall dia hendak kumpulkan, bila sudah banyak dikasi.' Saya cuba lepaskan diriku daripada celaannya.

Syukur, nampaknya dia tenang dan diam. Mungkin barangkali, dia puas hati bila mendengar ada sesuatu yang akan diterimanya sedikit masa lagi untuk menutup keperluannya.

Demikianlah keadaanku setiap hari, saya keluar pergi ke pekuburan dan mengerjakan shalat demi shalat kerana tidak ada yang lain yang dapat saya buat, kemudian saya bermohon kepada Allah Ta'ala supaya melepaskanku dari kesukaran yang saya tanggung itu. Kemudian apabila saya kembali, saya akan beritahunya apa yang selalu saya beritahukan sebelum itu.

Setelah beberapa hari dia menunggu, namun tidak ada suatu pun yang saya berikan kepadanya, dia mula gelisah. Tetapi rupanya dia masih percaya kepada janji yang saya katakan kepadanya itu.

`Bukan tidak mahu bayar! Sabarlah dulu nanti mesti dia bayar sekaligus banyak sekali, ‘saya membujuknya.

`Tak usah!' pintanya. 'Pergi cari kerja lain saja!'

`Buat apa, tukar-tukar kerja?' kataku.

Bukankah kita perlukan uang sekarang, hendak tunggu sampai kapan lagi?' katanya kepadaku.

Saya tidak mahu bertengkar dengannya lagi. Lebih baik saja saya setujui apa yang dikatakan-nya itu. Apa yang saya janjikan itu pun hanya omong kosong untuk mencari jalan keluar semata.

Balklah, aku cari kerja lainlah,'Jawabku untuk menenteramkan hatinya. Tetapi kemudian saya merasa lebih bimbang, kerana saya tahu perkaraku ini tentu akan akan ketahuan juga bohongnya, dan saya tidak dapat mempertahankannya lebih lama lagi.

Seperti biasa saya pergi ke pekuburan itu lagi, dan saya bershalat kemudian berdoa kepada Allah Ta'ala supaya Dia segera menghurai­kan masalahku ini.

Pada petang itu, saya kembali ke rumah, dan keadaanku ketika itu lebih bimbang lagi. Apa yang akan saya katakan nanti bila isteriku bertanya tentang upah keriaku pada hari itu. Saya tidak terlintas di dalam hati untuk mengada-adakan suatu alasan yang lain. Kalau saya buat alasan baru, tentu dia akan mengetahuinya, dan di situ jugalah kebohonganku akan terbongkar.

Dalam saya memikir-mikirkan suatu alasan baru untuk meng­elakkan diri dari cercaan isteriku, tiba-tiba saya lihat di dapur rumahku penuh asap berkepul-kepul. Asap ini keluar tentu tersebab dari adanya masakan yang sedang dimasak di dapur rumah kami itu. Saya bingung sekali!

Ketika saya masuk saja ke dalam rumah, saya telah disambut oleh isteriku dengan peluk senyum. Dia kelihatan gembira sekali. Cercaan yang kusangka-kan tadi bertukar menjadi pujian dan kata-­kata yang manis. Saya disambut dengan cara yang luar biasa, yang saya sendiri tidak tahu apa sebabnya, dan saya tidak berani betanya.

`Abang lapar?' tanya isteriku senang sekali.

Memang saya sedang lapar, tetapi saya tidak berani menjawab sepatah pun, sebab saya pun masih bingung apa sebabnya isteriku terlalu gembira sekali.

`Abang tentu lapar,' ulangnya sekali lagi. 'Nanti saya siapkan makanan yang enak sekali.'

Saya memang sudah menjangka tentu ada makanan yang mahu dihidangkan, sebab sebelum saya masuk ke dalam rumah tadi, saya sudah terlihat asap dari dapur rumah kami itu. Tentulah isteriku memasak sesuatu. Namun begitu hal itu masih menjadi misteri kepadaku, jika la memasak sesuatu, apa agaknya yang dimasaknya? Kemudian dari mana makanan itu didapatinya?

Melihat itu, saya terus mendiamkan diri, barangkali dia sudah terasa yang saya tidak tahu apa yang baru berlaku tadi siang. Mungkin dalam sangkaannya bahwa taukeku tidak memberitahuku yang uang upahan itu akan dikirimkan kepadanya. Ataupun barangkali dia menjangka saya sudah pergi bekerja di tempat lain, sebagaimana yang dia mengarahkan pagi tadi, sebab itulah taukeku menyuruh agar dikirimkan gaji atau upahan kerjaku kepadanya.

`Taukemu telah mengirimkan kepadaku uang upahanmu,' kata isteriku.

Saya masih macam bodoh, tauke yang mana ?, kataku di dalam hati. Aku tidak bekerja di tempat mana pun, mana ada tauke yang akan mengirimkan uang upahan, kataku dalam hatiku lagi. Saya terus berdiam diri.

`Abang!' sambungnya lagi. 'Taukemu itu mengirimkan uang lebih dari yang kami jangkakan. Memang dia benar-benar murah hati,' kata isteriku seterusnya.

`Siapa yang membawa uang itu?' tanyaku bodoh.

`Yang membawa uang itu utusannya. Pesannya begini: Beritahu Habib supaya dia bersungguh-sungguh dalam kerjanya, kerana taukenya senang sekali mengupahnya. Dia tidak melewatkan upahan itu karena lupa atau karena tidak punya uang, jadi disuruhnya abang jangan bimbang, dan sentiasa berkeyakinan bahwa upah setiap kerja itu akan diberikan secukup-cukupnya.'

`Bila dia datang?' tanyaku pula.

`Selepas abang berangkat pergi kerja tadi pagi,'Jawab isteriku. Kemudian isteriku bingkas bangun dan pergi ke bilik kami, serta kembali kepadaku dengan membawa beberapa keping uang dinar mas merah.

`Nah, ini pemberiannya!' kata isteriku.

Saya terperanjat melihat keping-keping uang itu, lalu saya menangis. Isteriku turut terperanjat melihat kelakuanku yang ganjil itu. Sepatutnya saya bergembira, tetapi sebaliknya dia mendapatiku menangis. Apa rahasianya?!

`Eh, kenapa abang menangis?!' dia bertanya kepadaku penuh takjub.

Saya tidak menjawab pertanyaannya, tetapi saya melimparkan kepadanya suatu pertanyaan yang ajaib.

`Kau tabu siapa yang memberimu uang itu tadi?' tanyaku serius. `Eh-eih, bukankah sudah aku beritahumu tadi, yang membawa uang itu ialah utusan taukemu itu.'

`Abang tak punya tauke!' kataku.

`Eh-elh, mengingau abang ni. Hari-hari yang abang pergi kerja to?!' `Abang tidak pergi kerja!'

`Kalau tidak pergi kerja, pergi ke mana?!'

`Abang tiap hari pergi ke kubur,' kataku.

`Pergi ke kubur?'

`Ya,'Jawabku.

Buat apa pergi ke kubur?!'

Saya pun menceritakan segala yang berlaku setiap hari kepada isteriku. Dia tercengang seperti tidak percaya. Pada mulanya dia menyangka saya sengaja cuba mengelirukan perhatiannya, tetapi barangkali apabila difikirkan tentang pemberian yang begitu banyak dari orang yang memberinya keeping uang itu, dia mula coba mempercayaiku.

`Habis siapa yang memberi saya uang itu?!' tanyanya pelik. `Itu tentu kiriman dari Tuhan, Pemilik langit dan bumi, yang perbendaharaanNya tidak pernah kosong, dan pemberianNya tidak pernah sedikit,'Jawabku.

Saya lihat isteriku terpegun mendengar syarahanku tadi. Dia kelihatan terperanjat lagi, dan kali ini tangannya terketar-ketar. Dia kini benar-benar takut. Dia kemudian berjanji tidak akan meng­hinaku lagi sebagaimana yang biasa berlaku.

Moga-moga Allah akan memberikan rahmatNya kepada kita sekalian