Rabu, 26 Mei 2010

Khedira, Pemain Muslim Satu-satunya di Skuad Jerman

Khedira, Pemain Muslim Satu-satunya di Skuad Jerman
Sami Khedira

REPUBLIKA.CO.ID, RABATH--Sami Khedira (22) warga keturunan Tunisia terus dipromosikan sebagai 'pengganti peran' kapten skuad timnas Jerman Michael Ballack yang absen karena cedera pada pegelangan kaki setelah ditekel Kevin Prince-Boateng di laga final Piala FA. Pilihan pelatih Joachim Loew terhadap Khedira tentunya sangat beralasan karena bersama klubnya Stuttgart, dia berperan banyak dan memiliki rasa tangung jawab luar biasa.

Khedira pernah ditawari bergabung oleh pelatih timnas Tunisia asal Portugal, Umberto Coelho namun pelatih skuad Jerman tidak mengizinkannya. Sebenarnya Khedira sendiri pernah berharap dapat bergabung dengan timnas Jerman pada piala dunia 2006. Namun harapannya itu baru terwujud pada piala dunia tahun ini.

Kalaulah Ballack tidak mengalami cedera dan empat pemain saingan tidak mengalami hal yang sama, mungkin Khedira tidak dapat bergabung dengan tim besutan Joachim Loew. Keberuntungan Khedira itu, tampaknya sesuai dengan pribahasa bahasa Arab yang artinya "musibah menimpa satu kaum terdapat manfaat". Dan ini tentunya berkah bagi Khedira untuk membuktikan bahwa dia pantas bergabung dengan timnas Jerman.

Berkenaan terpilihnya Khedira yang tidak pernah meninggalkan puasa Ramadhan saat berlatih menggantikan Ballack, warga Tunisia Ali Maliky mengharapkan agar dia sukses sebagaimana suksesnya warga keturunan Algeria, Zenuddin Zedan yang membela Perancis pada piala dunia 1998. Sementara itu warga Tunisia lain, Zaenal Abidin mengharapkan agar Khedira dapat menjadi obat penawar bagi warga Tunisia setelah timnasnya tidak lolos dalam babak kualifikasi piala dunia padahal tiket piala dunia sudah di ambang mata.

Warga keturunan yang bergabung pada timnas Jerman, bukan saja Sami Khedira. Namun sebelumnya terdapat lima pemain keturunan, yaitu dua keturunan Belanda Miroslav Klose (Bayern Munich) dan Lukas Podolski (Cologne), satu keturunan Italia Mario Gomez (Bayern Munich), dan Jerome Boateng (Hamburger SV) keturunan Ghana. Ironisnya, nama terakhir ini, akan bertanding melawan saudara tirinya Kevin Prince Boateng yang masuk dalam skuad Ghana pada kejuaraan Piala Dunia 11 Juni hingga 11 Juli 2010.

Khedira lahir di Stuttgart tanggal 4 April 1987 dari Bapak asal Tunisia dan Ibu Jerman. Karir sepakbolanya dimulai bersama VfB Stuttgart II pada usia 17 tahun, sebelum masuk tim senior di tahun 2004. Khedira bergabung bersama der Panzer U-21 menjabat sebagai kapten dan dia berhasil mencetak 5 gol dari 15 penampilan.

Keberhasilan Khedira mengantar Stuttgart menjuarai Liga Jerman dua musim lalu sepertinya menjadi pertimbangan Loew memilih pemain berpostur 1,89 meter itu. Mungkin pertanyaan besarnya, mampukah Khedira membuktikan kelasnya, sebagaimana dengan skuad Jerman U-21 menjurai turnamen piala Eropa untuk pertama kali?



http://www.republika.co.id/berita/piala-dunia/profil-bintang/10/05/27/117405-khedira-pemain-muslim-satusatunya-di-skuad-jerman

Selasa, 25 Mei 2010

Yang Mana Masjid Al-Aqsha sebenarnya?

Kalau anda seorang muslim, pasti anda sering mendengar nama Masjid Al Aqsa, ya Masjid Al Aqsa, kita pasti sudah melihat gambarnya di buku buku waktu sekolah dulu dan di kalender [Almanak, tanggalan], Tetapi….Aneh…saya baru tau info ini sekarang,

Ternyata di beberapa buku / kalender yang pernah kita lihat ternyata gambarnya ada yang salah….


Ternyata selama ini ada usaha “PEMBODOHAN”, dan ternyata banyak orang Muslim dan Non-Muslim, dengan maksud yang berbeda beda telah membuat kesalahan dengan mencetak dan menyebarluaskan gambar gambar tersebut.

Akhirnya banyak Anak anak [Termasuk Saya], yang sudah dari sekolah dulu merasa tertipu dengan gambar tersebut, dan tidak bisa membedakan kebenaran kedua masjid tersebut.

Mudah mudahan dari gambar ini bisa menjelaskan semuanya :

Masjid ini yang selama ini kita kira adalah Masjid Al Aqsa

Ini gambar Masjid Al Aqsa yang sebenarnya :

Letak antara Al Aqsa dan Al Sakhra :
aqsa between ashakra
Tujuan utama media yahudi [Eksploitasi Media], menyamarkan Masjid Sakhra sebagai Masjid Aqsa agar Yahudi bisa menghancurkan Al Aqsa dan membangun Haikal Sulaiman “Solomon Temple”, pada bekas reruntuhan Masjid Al Aqsa.

Karena umat Yahudi meyakini, bahwa dalam kitab Taurat “Perjanjian Lama”, bahwa di akhir jaman nanti akan ada seorang Dewa penolong umat Yahudi yang disebut “MESIAH”, apabila umat Yahudi mengadakan Ritual agama di Kuil Sulaiman dengan mempersembahkan sapi betina berwarna merah [Al Baqarah].

www.masae-03.cybermq.com




http://infobisri.blogspot.com/2009/11/yang-mana-masjid-al-aqsha-sebenarnya.html

Senin, 24 Mei 2010

RASULULLAH MERINDUKAN UMAT AKHIR ZAMAN




Suasana di majelis pertemuan itu hening sejenak. Semua yang hadir diam membatu. Mereka seperti sedang memikirkan sesuatu. Lebih-lebih lagi Sayyidina Abu Bakar. Itulah pertama kali dia mendengar orang yang sangat dikasihi melafazkan pengakuan sedemikian.

Seulas senyuman yang sedia terukir di bibirnya pun terungkai. Wajahnya yang tenang berubah warna.

"Apakah maksudmu berkata demikian, wahai Rasulullah? Bukankah kami ini saudara-saudaramu?" Sayyidina Abu Bakar bertanya melepaskan gumpalan teka-teki yang mula menyerabut pikiran.

"Tidak, wahai Abu Bakar. Kamu semua adalah sahabat-sahabatku tetapi bukan saudara-saudaraku (ikhwan)," suara Rasulullah bernada rendah.

"Kami juga ikhwanmu, wahai Rasulullah," kata seorang sahabat yang lain pula.

Rasulullah menggeleng-gelangkan kepalanya perlahan-lahan sambil tersenyum. Kemudian Baginda bersuara,
"Saudaraku ialah mereka yang belum pernah melihatku tetapi mereka beriman denganku sebagai Rasul Allah dan mereka sangat mencintaiku. Malahan kecintaan mereka kepadaku melebihi cinta mereka kepada anak-anak dan orang tua mereka."

Pada ketika yang lain pula, Rasulullah menceritakan tentang keimanan ‘ikhwan’ Baginda:

"Siapakah yang paling ajaib imannya?" tanya Rasulullah.

"Malaikat," jawab sahabat.

"Bagaimana para malaikat tidak beriman kepada Allah sedangkan mereka sentiasa dekat dengan Allah," jelas Rasulullah.

Para sahabat terdiam seketika. Kemudian mereka berkata lagi, "Para nabi."

"Bagaimana para nabi tidak beriman, sedangkan wahyu diturunkan kepada mereka."

"Mungkin kami," celah seorang sahabat.

"Bagaimana kamu tidak beriman sedangkan aku berada di tengah-tengah kalian," pintas Rasulullah menyangkal hujjah sahabatnya itu.

"Kalau begitu, hanya Allah dan Rasul-Nya saja yang lebih mengetahui," jawab seorang sahabat lagi, mengakui kelemahan mereka.

"Kalau kamu ingin tahu siapa mereka, mereka ialah umatku yang hidup selepasku. Mereka membaca Al Qur'an dan beriman dengan semua isinya. Berbahagialah orang yang dapat berjumpa dan beriman denganku. Dan tujuh kali lebih berbahagia orang yang beriman denganku tetapi tidak pernah berjumpa denganku," jelas Rasulullah.

"Aku sungguh rindu hendak bertemu dengan mereka," ucap Rasulullah lagi setelah seketika membisu. Ada berbaur kesayuan pada ucapannya itu.

Begitulah nilaian Tuhan. Bukan jarak dan masa yang menjadi ukuran. Bukan bertemu wajah itu syarat untuk membuahkan cinta yang suci. Pengorbanan dan kesungguhan untuk mendambakan diri menjadi kekasih kepada kekasih-Nya itu, diukur pada hati dan terbuktikan dengan kesungguhan beramal dengan sunnahnya.

Dan insya Allah umat akhir zaman itu adalah kita. Pada kita yang bersungguh-sungguh mau menjadi kekasih kepada kekasih Allah itu, wajarlah bagi kita untuk mengikis cinta-cinta yang lain. Cinta yang dapat merenggangkan hubungan hati kita dengan Baginda Rasulullah saw.

Allahumma shalli ala Muhammad wa ala alihi wa shahbihi ajma'in



http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4118275

Jumat, 21 Mei 2010

Cinta Tanah Air Benarkah sebagian dari Iman?


DR. M.Quraish Shibab menjawab


Beberapa saat menjelang hijrah beliau mengucapkan kalimat yang ditujukan kepada Mekkah: "Sesungguhnya engkau (Mekkah) adalah negeri yang paling saya cintai. Seandainya pendudukmu tidak mengusir aku, aku tidak akan meninggalkan(mu)."


Assalamualaikum wr wb.

Pak Quraish, saya ingin menanyakan tentang dua buah hadis Nabi SAW yang sangat populer; Cinta tanah air adalah bahagian dari iman dan tuntutlah ilmu walau di negeri Cina. Apakah kedua hadis tersebut shahih atau bukan? - Ahmad Jamil Malang –

Hadis yang biasa diter­jemahkan dengan cinta tanah air adalah bahagian dari iman, bunyinya adalah hub alwathan minalimaan. Sebelum menjelaskan nilai yang terkandung di dalamnya ada dua komentar singkat yang ingin saya kemukakan.

Pertama, terjemahan tersebut tidaklah tepat. Cinta tanah air bukanlah bahagian dari iman. Cinta tanah air merupakan naluri manusia. Nabi Muhammad SAW pun — sebagai manusia — sangat cinta kepada Mekkah, tempat kelahiran beliau.

Beberapa saat menjelang hijrah beliau mengu­capkan kalimat yang ditujukan kepada Mekkah: "Sesungguhnya engkau (Mekkah) adalah negeri yang paling saya cintai.

Seandainya penduduk‑mu tidak mengusir aku, aku tidak akan meninggalkan(mu). "

Jika cinta tanah air merupakan naluri manu­sia, maka tentunya baik orang mukmin maupun orang kafir — selama ia masih memiliki naluri yang sehat — pasti cinta kepada tanah airnya. Dengan demikian, ia bukan bagian dari iman.

Ungkapan tersebut bukanlah hadis yang shahih. Hadis itu tergo­long adalah hadis mauwd­hu (palsu). Ini menurut penilaian As-shaggani sebagaimana dikutip oleh pakar hadist Muhammad Nashiruddin Al-Albaany dalam bukunya Silsilah Al­Ahaadist Ad-dha'ifah Wal maudhu'ah, Jilid I hl 110.

Sedangkan soal hadis kedua yang Anda tanyakan tuntutlah ilmu walau di negeri Cina yang berbunyi, "uthlubil 'ilma as lauw bis-shiin."

Hadis ini banyak ditemukan dalam berbagai kitab hadis. Ini diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Adiy, Abu Nu'aim dalam bukunya Akhbaar Asfahan dan Abu Alqasim Al-Qusyairi dalam buku al-Arba'in. Salah seorang jalur perawinya adalah Abu 'Atikah Thariif bin Sulaiman, yang dinilai sa­ngat lemah, tidak terpercaya serta pembuat hadis-hadis palsu.

Ibnu AIjauqzy dalam bukunya Almauwdhu'at (kumpulan hadist-hadist palsu) menulis hadis tersebut dan mengutip pendapat Ibnu Hibban yang menyatakan: Hadis tersebut bathil, yang menyatakan bahwa hadis itu mempunyai jalur yang lain dan tidak mempunyai dasar.

Memang ada beberapa ulama menilainya shahih. Tetapi pandangan ini ditolak oleh banyak ulama antara lain AI-Albaany dalam bukunya yang disebut di atas. (Lihat Jilid I hal 602). n



Akuntansi Kasih Sayang

Oleh : endro cahyono

Satu-satunya orang yang berani , menggedor kamar saya pada tengah malam, barangkali cuma Joy. Meski, itu hanya untuk sekadar ngobrol tentang sepak bola atau fasili­tas kost yang makin menyedihkan.

Kami memang telah akrab sejak ke­las 3 SD di Surabaya. Kini, Joy bekerja sebagai staf akuntansi di sebuah BUMN. Ia bergabung di Kompleks B 31— sebutan populer untuk rumah kost yang saya tinggali — awal 1995, setelah tempat kostnya yang lama di Rawa Bambu tergusur pembangunan ruko.

Seperti biasanya, malam itu — seki­tar tiga bulan lalu — tanpa woro-woro, Joy menggedor kamar saya. Masuk, la­lu langsung nglesot di lantai di sebelah tempat tidur, sambil cengar-cengir. Sa­ya tahu, pasti ada yang ingin dibicara­kannya. Tapi — ini masalah yang sering dialami dan sampai sekarang sulit dihilangkannya — dia selalu bingung harus memulainya dari mana.

Saya pancing dengan menanyakan bagaimana pekerjaannya sehari itu. Ter­nyata pas. Pelan-pelan, dia mulai her­cerita, betapa susahnya jadi pegawai negeri. Promosi sebagai manager ke­uangan untuk kantor perwakilan di Kuala Lumpur yang konon sudah 90 persen disetujui direksi, ternyata diba­talkan begitu saja.

Tak ada alasan yang jelas, kecuali ia dipaksa menyerahkan kursi di kuala Lumpur tadi kepada kandidat lain. Se­telah diusut, ternyata sang penggati ada­lah keponakan seorang pejabat departe­men teknis yang menaungi BUMN tempat Joy bekerja.

Tapi, sebenarnya masalah utama yang ingin dikeluhkan Joy bukan itu. Melainkan, gajinya yang pas-pasan. Itu jika ia ingin hidup enak di Jakarta. Hi­tung saja, dengan penerimaan bersih per bulan maksimal Rp 800 ribu, ia mengaku tidak mungkin membeli se­dan Daihatsu Classy bekas yang men­jadi salah satu impiannya selama ini. Dengan kredit bank sekalipun.

Karena, bank rata-rata membuat per­syaratan umur mobil yang tak lebih dari enam tahun saat kredit jatuh tempo. De­ngan self financing sekitar 10 persen, dan masa pembayaran maksimal tiga tahun, Daihatsu Classy bekas keluaran 1993 yang harganya masih di atas Rp 30 juta, harus dicicilnya sekitar Rp 750 ribu per bulan.

"Mustahil, Darimana lagi saya harus bayar kost, makan, belanja pakaian dan sebagainya," keluh Joy.

Akhimya ia alihkan skenario inves­tasinya ke rumah. Setelah memborong ratusan brosur tawaran perumahan pada setiap pameran, ia belum menemukan juga lahan yang tepat. Pasalnya, hampir semua rumah yang layak huni dan dapat dicicil dengan harga sekitar Rp 500 ribu per bulan selama 10 tahun, selalu me­masang uang muka di atas Rp 10 juta.

"Tabungan saya nggak sampai se­banyak itu," Cetus dia, lemas.

Tapi, pekerjaannya sebagai staf akun­tansi ternyata membuat Joy trampil mengatur neraca keuangan pribadi. Ia kubur dulu, impian melaju di jalan protokol Jakarta dengan Daihatsu Classy Rumah yang uang mukanya terus membumbung juga disisihkan dari prioritas belanjanya.

Sebagai gantinya, ia beli sebuah Hon­da bebek bekas keluaran 1980-an milik teman sekantomya. Dengan modal itu­lah dia mencari kerja sambilan di bebe­rapa kursus akuntansi dan bahasa Ing­gris. Skenario ini lancar, lokasi kerja pagi dan sore harinya yang berjauhan tak jadi masalah, karena bisa ditempuh dengan Honda bebek tadi.

Ternyata, dengan mobilitasnya yang tinggi, bukan cuma penghasilan tam­bahan yang diperolehnya. Tapi juga se­orang dara mains, karyawati sebuah perusahaan swasta yang menjadi afili­asi BUMN tempat Joy bekerja.

Hanya setahun pacaran, mereka lang­sung menikah. Barangkali, karena me­mang jalan nasib Joy mulai mulus, se­dikit demi sedikit apa yang diimpikan­nya mulai terwujud. Si dara, ternyata anak bungsu. Karenanya, usai menikah Joy di minta tinggal saja di rumah si dara, sekaligus menemani kedua mertua yang mulai sepuh.

Sehingga, anggaran untuk rumah pun bisa dialokasikan untuk membeli Dai­hatsu Classy yang masih terus diidam­kannya. Kini, dengan sindikasi dana dari penghasilan si dara, Joy memang tak perlu terlalu sering mengeluh keku­rangan likuiditas. Wajahnya pun mulai tampak lebih ceria.

"Inilah yang namanya akuntasi kasih sayang. Jangan Takut menikah hanya karena duit pas-pasan. Buktinya, cinta justru mempersolid kondisis keuangan kami, dermkian nasihatnya kepada teman-teman di B 31 yang masih lajang.

Lanting The Art of Giving

Oleh : YUSUFMANSUR

YUSUF MANSUR WWW.WISATARATI.COM

GATRA 18 MARET 2006



Kita semua bisa berbagi, bahkan kadang tidak perlu besar.

Hanya perlu kreasi agar bisa menyenangkan banyakorang.


DALAM beberapa tulisan di majalah kesayangan Anda ini, cukup banyak saya menulis tentang pengalaman berbagi atau bersedekah. Dan, dalam bersedekah itu, ada seninya. Secara iseng, saya menyebut "The Art of Giving". Cobalah berbagai cara dalam berbagi, dan bisa jadi Anda akan menemukan kebahagiaan kala melakukan aktivitas tersebut.

Di kampung saya tinggal, tersebutlah seorang bidan bernama Eti. Dia termasuk bidan yang disenangi anak saya. Salah satu penyebabnya, bidan ini selalu menyediakan makanan kecil buat anak-anak yang tengah diajak oleh orangtuanya. Ada cokelat, ada biskuit dengan berbagai rupa, ada permen beraneka aroma dan rasa, dan ada pula kue bolu yang diiris-iris kecil. Semua diletakkan di me­ja tamu.

Rasanya Bidan Eti memahami psikologi anak. Selain itu, setting ruang periksa diatur sedemikian rupa sehingga tidak tampak menye­ramkan. Maka, tidak jarang, jika ada orangtua yang memeriksakan diri, si anak tetap ingin diajak. Anak-anak tersebut —termasuk anak saya, Wirda— ingin mencicipi makanan yang disediakan Bu Bidan.

Pada satu kesempatan mengantar istri saya untuk pemeriksaan pada Bidan Eti, Wirda langsung bilang, "Ikut dong, Pahl"

Mendengar keinginan itu, istri saya kontan menggoda Wirda, "Wuuh, Wirda pengen ikut karena ingin biskuit Bidan Eti, ya ... ?" Yang diledek tertawa, karena pas dengan harapan dia. Sesampai di tempat praktek bidan itu, Wirda seperti sudah paham. Dia langsung masuk dan menunggu di ruang tamu. Wirda langsung saja mengambil satu demi satu kue-kue tersebut.

Apa yang dilakukan Bidan Eti termasuk seni berbagi. Hanya dengan uang yang tidak begitu banyak, ia membahagiakan tamunya Setiap hari.

Sebetulnya, Selain Bidan Eti, di tempat tinggal saya di Kampung Ketapang, Kalideres, yang memperlakukan pasien seperti sahabat atau bahkan keluarga sendiri tidak sedikit. Sebut misalnya Bidan Suli, yang dikenal sangat sabar dan berwajah sejuk. Ada pula Bidan Marfu'ah, yang dikenal teliti dan sangat baik kepada pasien.

Semua bidan yang saya sebutkan itu kadang membebaskan sama Sekali beberapa pasien dia dari biaya. Apalagi bila yang datang orang kampung yang tidak berduit. Mereka tidak hanya dibebaskan dari membayar biaya pemeriksaan, malah diberi sangu pulang.

Inilah salah satu bentuk "The Art of Giving"; seni berbagi. Bila Anda, katakanlah, pemilik warung yang ingin laris, cobalah terapkan ilmu seni berbagi ini. Misalnya, Anda sediakan permen-permen kecil untuk anak-anak yang ikut ibunya berbelanja di warung. Hadiah tersebut akan mengesankan si anak, dan akan selalu meminta ibunya berbelanja di warung itu. Dan, pasti dia ingin ikut. Motif dia sederhana: agar dapat permen!

Jadi, kita semua bisa berbagi, dan kadang-kadang tidak perlu besar. Hanya perlu kreasi agar bisa menyenangkan banyak orang. Misalnya, ada seorang ibu yang suka membagi­bagikan makanan. Sekali waktu, dia memasak bubur kacang hijau. Modalnya tidak seberapa. Hanya dengan uang Rp 20.000 sudah tersajikan sepanci bubur kacang hijau.

Kemudian sepanci bubur itu dibagi-bagi menjadi 100 mangkuk kecil. Lalu dia berkeliling memberikan bubur kacang hijau itu kepada anak para tetangga. Dia bilang, "Kalau saya bagikan kepada orangtuanya, mungkin mereka tersinggung. Kok, membagi hanya semangkuk? Makanya, saya bagi pada anak-anak. Saya panggil mereka, lalu saya beri semangkuk kecil bubur kacang hijau lengkap dengan satu iris roti tawar...."

Dengan rasa puas yang dalam, ibu itu melanjutkan ucapannya, "Wah, saya dapat kebahagiaan dari satu keluarga anak tersebut." Benar juga. Secara materi, yang dikeluarkan tidak seberapa, tapi kepuasan dan kebahagiaan yang diperoleh luar biasa.

Rupanya, konsep serupa juga diterapkan sahabat baru saya, Bu Hajah Dedeh. Dia bidan, dokter, sekaligus pemilik Rumah Sakit Bakti Asih di wilayah Cileduk, Tangerang. Setiap Ahad pagi, saya membuka Pengajian Ahad Pagi di Pondok Pesantren Wisatahati di Kampung Bulak Santri, Kelurahan Pondok Pucung, Karang Tengah, Cileduk, Tangerang.

Nah, Bu Hajah Dedeh ini jamaah aktif saya. Saat saya berkesempatan ke rumah sakitnya, subbanallab, saya juga menemukan "The Art of Giving". Salah satu yang dia lakukan adalah mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak tidak mampu dan putus sekolah. Sampai saat ini, sudah hampir 200 orang yang belajar di sekolah bebas biaya tersebut.

Saya yakin, Anda pembaca G.kTRA pun sudah melakukan hal serupa. Dan, apa yang saya tulis hanya sebagai penambah keyakinan dan melapangkan kebahagiaan Anda. Saya berdoa, semoga Anda makin sering berbagi dan yakin pada janji Allah mengenai manfaat bersedekah.

Kembali pada kisah Bidan Eti tadi, sebagaimana Wirda yang senang ikut ibunya, saya pun jadi senang mengantar istri ke Bidan Eti. Dan, sebagaimana kesenangan dulu, Saar bersilaturahim ke bidan-bidan lain di kampung, saya juga memetik "sesuatu" dari mereka. Kali ini, melalui Bidan Eti, saya jadi tahu kue lanting dan jipang, makanan khas asal Kebumen, Jawa Tengah, yang terbuat dari singkong.

Sambil menikmati lanting dan jipang, saya mengobrol dengan suami Bidan Eti. "Ini termasuk sedekah." Sedekah makanan yang bisa membuahkan senyuman anak-anak dan para orangtua. Ketika kami pamit, suami Bidan Eti malah menyuruh Wirda mengambil lanting dan makanan lain untuk dibawa pulang. Wah, alhamdulillah....

RIDHO ILAHI

Oleh : Fikri Yathir

UMMAT, No. 32 Thn. IV, 22 Februari 1999/6 Zulkaidah 1419 H


Pada suatu hari, Nabi Musa a.s. bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, "Wahai Kalimullah, sela­ma hidup saya telah ber­usaha untuk menjadi orang baik. Saya melaku­kan shalat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!"

Baik," kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. "Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah shalat, puasa, atau amal saleh lain­nya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya un­tukku." Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.

Ketika kembali dari Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, "Bagimu pahala besar, yang indah-­indah." Orang saleh itu berkata, "Saya memang sudah men­duganya." Kepada si pemabuk, Musa berkata, "Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk." Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.

"Alhamdulilah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku," ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah.

Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.

Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini "Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua mem­buat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan Aku senang kepadanya."

Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusa­ha keras untuk mengatasinya —lahir dan batin, lalu kita mo­hon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berkewa­jiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, "Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?"

"Janganlah kamu memberi dan menganggap pemberianmu sudah banyak," firman Tuhan (Al-Qur'an 74: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu berkata seperti itu ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. la tidak berjalan menuju Tuhan la berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya.

Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemu­kan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyia­kan pengorbanan kawan-kawannya.

Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, ba­calah doa ini setelah shalat Anda: "Tuhanku, ampunan-Mu' lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih­Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, kare­na kasih-sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat­Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi."

Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad SAW ketika ia berlinfung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah, 'Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Ma­hakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau-berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. Aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tak ada daya dan kekuatan, kecuali me­lalui-Mu."