Senin, 23 Agustus 2010

Ketika WS Rendra Pergi Haji: Air Zamzam Serasa Chevas Regal

Ketika WS Rendra Pergi Haji: Air Zamzam Serasa Chevas Regal
WS Rendra
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--WS Rendra memang telah tiada. Namun karya-karyanya akan selalu hidup. Banyak kisah menarik dari penyair yang mendapatkan julukan Burung Merak ini, yang patut dikenang. Salah satunya, pengalamannya saat pergi haji.

Seniman yang lahir di Solo pada 7 November 1935 ini memiliki nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra yang kemudian biasa disingkat WS Rendra. Bermula sebagai penganut Katolik, Rendra kemudian menjadi seorang Muslim. Dia banyak mengenal Islam dari istrinya, seorang putri Keraton Prabuningratan, BRA Sitoresmi Prabuningrat. Meskipun setelah memperoleh empat orang anak, perkawinannya itu kandas, namun keyakinannya sebagai seorang Muslim tetap terjaga.

''Bagi saya, puisi bukan hanya sekadar ungkapan perasaan seorang seniman. Tetapi lebih dari itu, puisi merupakan sikap perlawanan saya kepada setiap bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Dan, itulah manifestasi dari amar ma'ruf nahi munkar seperti yang selalu diperintahkan Allah di dalam Alquran,'' begitu tutur Rendra suatu ketika.




Meskipun telah menjadi Muslim, Rendra masih suka menenggak minuman keras, kebiasaannya sejak lama. Dia menganggap kebiasannya itu sebagai hal biasa. Bahkan, sambil berseloroh, dia mengatakan, ''Kalau saya membaca bismillahirrahmanirrahim, maka minuman keras menjadi air.''

Hingga akhirnya, Rendra menunaikan ibadah haji. Selama menjalankan rukun Islam yang kelima itu, dia mendapatkan pengalaman unik yang tak bisa dilupakannya. Setiap kali minum air atau apa saja yang diminumnya, dia merasa seperti minum minuman keras, Chevas Regal. ''Minum di sini, minum di sana, rasanya seperti minuman keras. Bahkan, air zamzam pun rasanya seperti Chevas Regal, sampai saya bersendawa, seperti orang yang selesai meminum minuman keras,'' kisahnya.

Dengan lirih, Rendra kemudian memohon kepada Allah SWT. ''Aduh, ya Allah, saya ini sudah memohon ampun. Ampun, ampun, ampun, ya Allah,'' ucapnya. ''Saya betul-betul merasa takut, kecut, malu, dan juga marah, sehingga saya ingin berteriak, 'Bagaimana, sih? Apa maksud-Mu? Jangan permalukan saya, dong!'

Rendra baru bisa terbebas dari kejadian itu ketika usai menjalankan ibadah Haji. Dia baru bisa benar-benar merasakan air minum dalam penerbangan dari Jeddah ke Amsterdam. ''Alhamdulillah! Saya betul-betul bersyukur. Setelah ini, saya tidak akan meminum minuman keras lagi.''


Red: Budi Raharjo
Rep: www.muallaf.com

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/08/24/131566-ketika-ws-rendra-pergi-haji-air-zamzam-serasa-chevas-regal

Minggu, 22 Agustus 2010

Bernard Hopkins, Islamnya Sang Algojo Tinju Dunia

Bernard Hopkins, Islamnya Sang Algojo Tinju Dunia
Bernard Hopkins
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Penggemar tinju dunia tentu tak asing dengan nama Bernard Hopkins. Dialah sang algojo (The Executioner). Julukan ini diberikan karena kemampuannya dalam mengalahkan lawan-lawannya di atas ring tinju.

Tercatat, sejumlah nama besar di kelas menengah (middleweight) yang berhasil dikanvaskannya, baik dengan technical knock out (TKO), knock out (KO), maupun kemenangan angka mutlak. Di antara lawan-lawan yang tangguh yang pernah dikalahkannya adalah Oscar de la Hoya, Roy Jones Jr, Felix Trinidad, Antonio Tarver, dan Glen Johnson.

Bernard Hopkins memulai karier tinju profesionalnya sejak tahun 1988. Ia adalah seorang bintang olahraga tinju Amerika Serikat. Namanya mulai dikenal luas publik Amerika dan dunia karena keberhasilannya mempertahankan rekor 20 kali gelar juara tinju dunia kelas menengah.

Pria kelahiran Philadelphia, Pennsylvania, 15 Januari 1965, ini merupakan petinju pertama di dunia yang memegang empat gelar kejuaraan tinju utama dunia. Dia juga tercatat sebagai petinju tertua yang pernah memegang juara kelas menengah di kejuaraan tinju profesional. Berkat prestasinya ini, oleh majalah The Ring dan World Boxing Hall of Fame, Hopkins dinobatkan sebagai petinju terbaik dunia tahun 2001.

Hopkins tumbuh dan dibesarkan oleh kedua orang tuanya, Bernard Hopkins Sr dan Shirley Hopkins, di kawasan Rosen Raymond. Saat usianya menginjak 13 tahun, ia terlibat dalam sebuah aksi kejahatan. Ia melakukan penjambretan dan menikam orang tersebut dengan tiga kali tusukan. Atas perbuatannya tersebut, dia harus menjalani hukuman penjara selama 18 tahun bersama sembilan orang rekannya di Penjara Graterford.

Selama menjalani masa hukuman di penjara, Hopkins banyak menyaksikan berbagai aksi kejahatan yang dilakukan oleh sesama narapidana, mulai pemerkosaan hingga pembunuhan sesame tahanan. Pada tahun-tahun tersulitnya saat mendekam di penjara, ia justru menemukan gairahnya untuk bertinju. Karena dia berkelakuan baik, dia kemudian hanya dipenjara selama lima tahun.

Selepas dari penjara, dia memutuskan untuk menggunakan tinju sebagai pelarian dari kehidupan sebelumnya. Perjalanannya di ring tinju, awalnya tidak berjalan mulus. Dia sempat dipecat dari klub yang menaunginya karena kalah bertarung, hingga akhirnya dia memasuki tinju kelas menengah.

Di kelas itu, debutnya dimulai dengan manis. Dalam pertandingan melawan Greg Paige di Blue Horizon pada 22 Februari 1990, ia dinyatakan menang mutlak. Setelah kemenangan pertamanya ini, antara Februari 1990 dan September 1992, Hopkins berhasil mencetak 20 kemenangan tanpa kekalahan. Dari keseluruhan kemenangan yang diraihnya ini, 15 di antaranya merupakan kemenangan KO. Sebanyak 11 kemenangan tersebut di antaranya ia bukukan pada ronde pertama. Karena itu pula, gelar menengah pun melekat di pinggangnya.

Pada pertandingan yang ke-22, pada 22 Mei 1993, kedigdayaan Hopkins di kelas menengah versi IBF menemui jalan terjal. Ia dikalahkan oleh petinju Roy Jones Jr. Kekalahan ini tentu saja sangat menyakitkan. Sebab, kariernya sebagai petinju tangguh yang berjuluk sang algojo menjadi ternoda. Meskipun kemudian, dia bisa membalaskan kekalahannya terhadap Roy Jones Jr beberapa tahun setelahnya.

Menjadi Muslim

Tidak hanya memutuskan menggeluti dunia tinju, ia juga mengambil sebuah langkah besar dalam kehidupan spiritualnya. Ia memilih Islam sebagai pemandunya. Ada yang menyebutkan bahwa Hopkins mengucapkan dua kalimat syahadat saat ia masih mendekam di dalam penjara. Ada pula yang menyebutkan, ia masuk Islam setelah menghirup udara bebas. Tidak banyak literatur yang mengungkapkan bagaimana awal mula ia tertarik kepada ajaran Islam.

Di luar ring tinju, Hopkins menjalani kehidupannya dengan normal. Ia merupakan suami dari Jeanette Hopkins yang dinikahinya sejak 1993 dan ayah dari seorang putri bernama Latrice. Menjadi seorang Muslim tidak menghalangi Hopkins untuk terus berkarier di dunia adu jotos ini. Bahkan, tanpa sepengetahun banyak orang, ia kerap berdoa sebelum bertarung. Baginya, tinju adalah pekerjaannya. Dan, ia menganggap dirinya mampu dan masih kuat.

''Seorang prajurit sejati tidak akan menyerah, tidak peduli apakah mereka dibesarkan di pinggiran kota atau lainnya. Saya tak akan menyerah. Karena itulah, saya di sini. Saya harus bekerja keras dan jujur pada diri sendiri,'' tuturnya.

Kendati tak pernah menunjukkan jati dirinya sebagai seorang Muslim, ia begitu fanatik dengan agama Islam. Jangan pernah menyinggung ajaran Islam yang negatif di hadapannya kalau tidak ingin ia marah.

Sebab, hal itu pernah terjadi saat ia akan bertarung melawan Trinidad. Kala itu, beberapa saat setelah kejadian pengeboman WTC oleh teroris pada 11 September 2001, seorang jurnalis bertanya kepadanya mengenai Islam dan teroris. Ia pun marah besar. ''Tidak semua umat Islam sama dengan para pelaku itu,'' tegasnya dengan nada tinggi.

Dalam kesehariannya, Hopkins pun tampak tenang. Kendati dulunya dia pernah menikam orang, hal itu seakan menjadi pengalaman pahit yang harus diubahnya. Ia tidak ingin lagi tenggelam dalam kehidupan kelam seperti itu. Baginya, perbuatan itu benar-benar buruk. Dalam organisasi keislaman, ia bergabung dengan Nation of Islam (NOI) yang didirikan oleh Elijah Muhammad. Setiap akan naik ke atas ring tinju, dua orang rekannya dari NOI senantiasa mengiringinya dengan doa.

Ketika ditanya mengapa tidak mengganti namanya sebagaimana lainnya setelah masuk Islam, Hopkins mengatakan, baginya hal itu tidak terlalu penting. ''Islam bukan soal nama, tapi masalah sikap dan perbuatan serta keyakinan kepada Sang Pencipta,'' ujarnya.


Red: Budi Raharjo
Rep: Nidia Zuraya


Mantan Pendeta yang Merasa Terlahir Kembali Dalam Islam

Mantan Pendeta yang Merasa Terlahir Kembali Dalam Islam
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Hidayah bisa menghampiri siapa saja. Bila Allah SWT telah berkehendak maka seorang pendeta pun bisa berpaling menjadi Muslim yang taat. Mungkin itulah kisah yang dihadapi Kenneth L Jenkins dalam hidupnya.

Dilahirkan dan dibesarkan dilingkungan yang tergolong agamis, Jenkis adalah seorang pemeluk Kristen Pantekosta di Amerika Serikat. Dia lebih banyak diasuh oleh kakeknya karena ibunya sebagai orang tua tunggal. Pantas bila dia terbilang jamaat yang taat mengingat kakeknya sudah mengajarinya tentang kehidupan gereja sejak kecil. Dan tak heran pula bila di usia enam tahun, dia sudah mengetahui
banyak ajaran dalam Injil.

Setiap hari Minggu, Jenkins menuturkan, seluruh anggota keluarganya selalu pergi ke gereja. Saat seperti itu, ungkapnya, menjadi momen bagi dirinya beserta kedua saudaranya untuk mengenakan pakaian terbaik mereka.  Setelah lulus SMA dan masuk universitas, Jenkins memutuskan untuk lebih aktif dalam kegiatan keagamaan. Ia datang ke gereja setiap saat, mempelajari kitab Injil setiap hari, dan menghadiri kuliah yang diberikan oleh para pemuka agama Kristen.

Hal ini membuatnya amat menonjol di kalangan para jemaat. Pada usia 20 tahun, gereja memintanya untuk bergabung. Sejak itulah Jenkins mulai memberikan khutbah kepada para jemaat yang lain. Setelah menamatkan pendidikannya di jenjang universitas, Jenkins memutuskan untuk bekerja secara penuh di gereja sebagai pendakwah. Sasaran utamanya komunitas warga kulit hitam Amerika.
Ketika melakukan interaksi dengan komunitas inilah ia menemukan kenyataan bahwa banyak di antara para pemuka gereja yang menggunakan Injil untuk kepentingan politis, yakni untuk mendukung posisi mereka pada isu-isu tertentu. Kemudian, Jenkins memutuskan untuk pindah ke Texas. Di kota ini ia sempat bergabung dengan dua gereja Pantekosta yang berbeda. Namun, lagi-lagi ia mendapatkan kenyataan bahwa para pendeta di kedua gereja ini melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi norma aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi gereja.

Ia mendapatkan fakta di lapangan bahwa sejumlah pemimpin gereja melakukan perbuatan menyimpang tanpa tersentuh oleh hukum. Mendapati kenyataan seperti ini, dalam diri Jenkins mulai timbul berbagai pertanyaan atas keyakinan yang ia anut. ''Saat itu saya mulai berpikir untuk mencari sebuah perubahan,'' ujarnya.

Perubahan yang diinginkan Jenkins datang ketika ia mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan di Arab Saudi. Setibanya di Arab Saudi, ia menemukan perbedaan yang mencolok dalam gaya hidup orang-orang Muslim di negara Timur Tengah tersebut. Dari sana kemudian timbul keinginan dalam diri pendeta ini untuk mempelajari lebih jauh agama yang dianut oleh masyarakat Muslim di Arab Saudi.

Perlahan, dia mulai mengagumi kehidupan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul yang diutus untuk membawa Islam. Dan dia pun ingin tahu lebih banyak lagi mengenainya. Untuk menjawab rasa ingin tahunya itu, Jenkins pun memutuskan untuk meminjam buku-buku mengenai Islam melalui salah seorang kerabatnya yang ia ketahui sangat dekat dengan komunitas Muslim. Buku-buku tersebut ia baca satu per satu. Dan, di antara buku-buku yang ia pinjam tersebut terdapat terjemahan Alquran. Ia menamatkan bacaan terjemahan Alquran ini dalam waktu empat bulan.

Berbagai pertanyaan seputar Islam yang ia lontarkan kepada teman-teman Muslimnya mendapatkan jawaban yang sangat memuaskan. Jika teman Muslimnya ini tidak bisa memberikan jawaban yang memadai, mereka akan menanyakan hal tersebut kepada seseorang yang lebih paham. Dan pada hari berikutnya, baru jawaban dari orang tersebut disampaikan kepadanya.

Rasa persaudaraan dan sikap rendah hati yang ditunjukkan oleh para teman Muslimnya ini, diakui Jenkins, membuatnya tertarik untuk mempelajari Islam lebih dalam. Rasa kekaguman Jenkins juga ditujukan kepada kaum Muslimah yang ia jumpai selama bermukim di Arab Saudi. Agama Islam yang baru dikenal olehnya, menurut Jenkins, juga tidak mengenal adanya perbedaan status sosial. Semua hal yang ia saksikan selama tinggal di Arab Saudi menurutnya merupakan sesuatu yang indah.

Kendati demikian, diakui Jenkins, saat itu dalam dirinya masih terdapat keragu-raguan antara Islam dengan keyakinan yang sudah dianutnya sejak masa kanak-kanak. Namun, semua keraguan tersebut terjawab manakala salah seorang teman Muslimnya memberikan dia sebuah kaset video yang berisi perdebatan antara Syekh Ahmed Deedat dan Pendeta Jimmy Swaggart. Setelah menonton perdebatan tersebut, Pendeta Gereja Pantekosta ini kemudian memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.  Kemudian oleh salah seorang kawan, Jenkins diajak menemui seorang ulama setempat, Syekh Abdullah bin Abdulaziz bin Baz. Di hadapan sang ulama, Jenkins pun secara resmi menerima Islam sebagai keyakinan barunya.

Tak butuh waktu lama, kabar mengenai masuk Islamnya Jenkins, telah sampai ke telinga para rekan-rekannya sesama pendeta dan aktivis gereja. Karena itu, setibanya di Amerika Serikat, berbagai hujatan dan kritikan bertubi-tubi datang kepadanya. Tak hanya itu, Jenkins juga dicap dengan berbagai label, mulai dari orang murtad hingga tercela. Ia juga dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya.

Namun, semua itu tidak membuatnya gentar dan berpaling dari Islam. ''Islam membuat saya seperti terlahir kembali, dari kegelapan menjadi terang. Saya tidak merasa terusik dengan semua itu, karena saya merasa sangat bahagia bahwa Allah Mahakuasa yang telah memberi kan saya petunjuk,'' tuturnya.

Ingin Jadi Pendakwah

Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Al-Madinah, Jenkins mengungkapkan keinginannya untuk menjadi seorang pendakwah. Dia tak akan menghentikan aktivitasnya sebagai seorang juru dakwah, sebagaimana yang pernah ia lakukan saat masih memeluk Kristen Pantekosta. ''Saat ini, tujuan saya adalah belajar bahasa Arab dan terus belajar untuk mendapatkan pengetahuan lebih dalam tentang Islam, selain itu saya sekarang bergerak di bidang dakwah, terutama kepada non-Muslim,'' ujarnya.

Mantan pendeta ini juga berharap bisa membuat sebuah karya tulis mengenai perbandingan agama. Karena, menurutnya, adalah tugas umat Islam di seluruh dunia untuk menyebarkan ajaran Islam. ''Sebagai orang yang telah menghabiskan waktu yang lama sebagai penginjil, saya merasa memiliki kewajiban untuk mendidik masyarakat tentang kesalahan dan kontradiksi dari kisah-kisah di dalam Kitab Injil yang selama ini diyakini oleh jutaan orang,'' ungkapnya.
Red: Budi Raharjo
Rep: Berbagai sumber



http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/08/09/128984-mantan-pendeta-yang-merasa-terlahir-kembali-dalam-islam

Kamis, 19 Agustus 2010

Wahyu Soeparno Putro: Adzan Subuh Pengganggu Tidurnya

Wahyu Soeparno Putro: Adzan Subuh Pengganggu Tidurnya
Wahyu Soeparno Putro
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wajahnya kerap muncul di televisi di Indonesia. Dia terbilang sukses membawakan sebuah acara bertemakan religi. Selama ini dia lebih dikenal dengan nama 'Indonesia'-nya, Wahyu Soeparno Putro.

Tak banyak yang mengetahui siapa nama asli, pria kelahiran Skotlandia pada 28 Juli 1963 ini. Meski terlahir di tanah Skotlandia, dia mengaku sejak kecil telah menjadi penganut Budha. Orangtuanya memberi nama, Dale Andrew Collins-Smith. Menghabiskan kulian di tanah Australia, Dale mengawali kisah hidupnya di Indonesia ketika bekerja di sebuah perusahaan kerajinan di Yogyakarta pada 1999.

Sebagai seorang yang terbiasa mandiri karena pada usia 20 tahun telah menjadi yatim-piatu, Dale harus menghadapi kehidupan dengan tradisi yang jauh berbeda dengan asal-usulnya. Seperti ketika dia harus mendengarkan suara adzan yang berkumandan setiap hari dari masjid yang letaknya berdekatan dengan tempat tinggalnya di kota gudeg itu.

Awalnya, dia begitu terganggu dengan suara adzan, khususnya Adzan Subuh. Seakan tak mau terganggu, adzan itu begitu mengusik kenyamanan tidurnya. Adzan itu seperti menggedor-gedor gendang telinganya. Selama tinggal di Skotlandia dan Australia, dia tak pernah mendapatkan situasi seperti itu.

Dale tinggal di rumah seorang warga Yogya bernama Soeparno. Ayah beranak lima yang bekerja sebagai satpam itu sudah menganggap Dale sebagai anaknya sehingga dibebaskan untuk tinggal dirumahnya. Karena setiap hari mendengarkan suara adzan Subuh itu, Dale kemudian menjadi terbiasa mendengarkannya. Bahkan, karena itu dia berubah menjadi kerap terbangun di pagi hari.

Tak hanya itu, setelah menetap cukup lama di rumah itu, Dale terbiasa bangun 5-10 menit lebih awal dari adzan Subuh. ''Ini yang membuat saya heran,'' katanya. ''Padahal sejak kecil saya tak pernah bisa bangun pagi, tapi di sana (Yogyakarta) saya mampu merubah pola hidup saya untuk bangun pagi.''

Suara adzan itu tampaknya menjad awal pertemuannya dengan Islam. Perlahan hidayah itu merasuk ke dalam jiwanya. Dia pun mulai bertanya-tanya tentang Islam. Diawali dengan pertanyaan sederhana seperti mengenai sholat dan puasa. Tanpa malu, dia menanyakan itu kepada teman-teman Muslim-nya. Di saat Ramadhan, Dale mulai ikut-ikutan berpuasa. ''Awalnya saya cuma ingin mengetahui saja seperti apa sih rasanya puasa,'' tuturnya. ''Tetapi setelah tahun ke dua atau ketiga di sana, puasa saya ternyata bisa full.

Rutinas bangun pagi sebelum sholat Subuh dan puasa Ramdhan yang mulai terbangun dalam dirinya ternyata memberikan perasaan tenang bagi dia. Perasaan itu menjalar terus dalam dirinya. ''Saat itu saya merasa seperti sudah sangat dekat saja dengan orang-orang di sekitar saya,'' katanya sambil mengaku pada fase tersebut dia sudah semakin fasih berbicara Indonesia.

Tak merasa cukup terjawab tentang Islam pada rekan sepergaulan, Dale kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada ketua pengurus masjid dekat tempatnya tinggal. Tapi sekali lagi, hasratnya untuk mengetahui Islam masih belum terpuaskan. Maka pada suatu ketika, bertemulah dia dengan seorang ustadz bernama Sigit. Ustadz ini masih berada satu kampung dengan tempat tinggalnya di kediaman Soeparno. ''Waktu saya ceritakan tentang pengalaman saya, dia malah berkata kepada saya,'Sepertinya malaikat mulai dekat dengan kamu','' kata Dale menirukan ucapan Pak Sigit.

Mendengar ucapan itu, Dale merasakan seperti ada yang meledak-ledak di dalam dirinya. ''Semuanya seperti jatuh ke tempatnya,'' kata dia menggambarkan situasi emosional dirinya ketika itu. ''Saat itu saya juga sudah bisa menangkap secara akal sehat tentang Islam,'' tambahnya. Ledakan yang ada di dalam diri itu kemudian membawa Dale terus menjalin hubungan dengan Pak Sigit. Dari sosok ustadz itu, dia mengaku mendapatkan sebuah buku tentang Islam dan muallaf. Dan pada saat itu pula, niatnya untuk mempelajari sholat kian menggelora.

Di saat dirinya merasa semakin menuju Islam, pria yang begitu berharap bisa menjadi warga negara Indonesia ini kemudian bertanya pada Soeparno. ''Saya merasa lucu karena sudah seperti merasa Muslim,'' kata dia kepada ayah angkatnya itu. ''Tetapi bagaimana caranya,'' sambung dia. Mendengar ucapan pria bule, Soeparno sangat terkejut. Lantas lelaki ini menyarankan agar Dale masuk Islam saja melalui bantuan Pak Sigit.

Tidak membutuhkan waktu lama, medio 1999, Dale Andrew Collins-Smith kemudian mengucapkan syahadat sekaligus berganti nama menjadi Wahyu Soeparno Putro. Prosesi 'hijrah' itu dilakukannya di masjid yang mengumandangkan adzan Subuh dekat rumahnya, yang dulu dianggap telah mengganggu tidurnya.
Red: Budi Raharjo

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/08/20/131023-wahyu-soeparno-putro-adzan-subuh-pengganggu-tidurnya

Senin, 16 Agustus 2010

PENYU PENYU RAKSASA








Bencana Tsunami

Bencana tsunami Pangandaran telah merenggut segalanya. Nyawa, harta, tempat, dan cinta. Banyak korban bergelimpangan hanya dalam hitungan menit. Harta rusak dan luluh lantak dalam sekejap mata. Para suami, istri, anak, dah orangtua menjadi korban dalam bencana yang mengerikan itu.
Rusmini, seorang wanita tua ikut kehilangan segalanya. Setelah kesepian batin melandanya selama dua puluh tahun, sejak suaminya yang seorang prajurit tewas dalam tugas operasi integrasi Timor-Timor, kini ia harus kembali kehilangan anaknya. Anak semata wayang yang dengan sudah payah dibesarkan tanpa kehadiran seorang ayah.
Cahya, pemuda tegap perkasa yang barn berusia 21 tahun, dimana Rusmini menemukan seluruh potret dan karakter suaminya yang tegas penuh tanggung jawab, kini telah tiada. Keganasan laut telah memaksanya untuk hidup dalam kesendirian. Sunyi. Sebatang kara.
Namun bukan Rusmini kalau tidak tegar menerima semua itu. Istri seorang prajurit sudah terbiasa dengan tempaan suka duka kehidupan. Segala sesuatunya berasal dari Allah. Segalanya pula akan kembali ke Allah. Begitulah seharusnya setiap Muslim bersikap. Namun hati manusia mana yang tidak rapuh? Perasaan siapa yang tidak sedih dengan semua bencana? Toh, Rusmini berusaha tersenyum menghadapi tantangan hidup ke depan. Dia yakin Allah senantiasa berada di sampingnya.
Semula Rusmini sependapat dengan mereka yang menganggap korban-korban tsunami yang belum ditemukan dinyatakan hilang dan meninggal. Selama tujuh hari berturut-­turut diadakan acara tahlilan di rumah yang sangat sederhana. Perumahan dinas prajurit di kawasan Surabaya Utara. Mereka mendoakan arwah Cahya dan semoga Allah mengangkatnya menjadi seorang syuhada.
Tiga bulan sebelumnya, Cahya berangkat ke Pangandaran, Pelabuhan Ratu, setelah mendapat panggilan kerja. la mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta. Praktis sejak itu pulalah Rusmini melihat anaknya untuk terakhir kali.

Tulusnya Doa

Setiap malam Rusmini larut dalam doa dan shalat. Dia pasrahkan diri kepada Allah. Bahkan nyawanya sendiripun ikhlas untuk diambil kembali olah Sang Pencipta. Tapi rupanya Allah berkehendak lain. Yang sangat tidak masuk akal atau mustahil pun akan menjadi wajar dan benar. Sejak Cahya dinyatakan meninggal sebagai korban tsunami, Rusmini selalu inemenuhi dirinya dengan doa-doa demi kelancaran jalan hidup anaknya di akhirat.
Dari doa itulah lahir mimpi-mimpi yang selalu menemani tidur Rusmini. Berulang kali. Dan itu membuat Rusmini mengubah pendiriannya. Dia yakin kalau anaknya memang hilang, tapi tidak mati. Cahya masih hidup dan Rusmini yakin suatu saat mereka akan dipertemukan kembali.
Wanita tua yang menempati rumah dinas sangat sederhana itu bernasib lebih baik dari pada teman-temannya para purnawirawan atau wara kawuri lainnya. la tidak tergusur dari rumah yang sudah ditempati puluhan tahun lamanya. Sementara para purnawirawan lainnya harus adu bentrok dan tergusur. Ironis. Namun sebenarnya itu adalah pelajaran herharga bagi setiap prajurit. Bagaimanapun rumah dinas, milik negara. Boleh ditempati semasa tugas dan harus dlikembalikan begitu tugas usai.
Kenyataan di negeri ini terlalu banyak orang yang berpikiran sempit dan sesaat, tidak ber-orientasi mana depan. Mereka menempati rumah dinas dengan nyaman. Lupa dan tak berpikir untuk mempunyai rumah pribadi. Baru rebut setelah masa pensiun di depan mata dan negara hendak mengambil alih kembali.
Terlepas benar atau salah, tidak menghargai jasa atau apapun alasannya, rumah dinas adalah milik negara. Boleh saja mereka merasa berjasa pada negara, tapi bukan berarti kita boleh menuntut sesuatu yang bukan milik kita, bukan hak kita.
Entah atas dasar apa Rusmini lolos dari target gusuran itu. Bisa jadi karena suaminya tewas di medan tugas. Namun, memang banyak kejadian yang tak bisa dilogikakan, adanya campur 'tangan Tuhan' yang tidak kasat mata.

Pantai Landai

Sebuah semenanjung menjorok ke laut dan dipenuhi hutan lindung. Berbagai ragam flora selalu hadir dalam mimpi-mimpi Rusmini. Keyakinan Rusmini semakin kuat kalau anaknya masih hidup dan berada di sekitar pantai itu. Meski sama sekali asing, pantai apa namanya dan di mana letaknya.
Pantai landai yang mengapit semenanjung itu, bahkan saat laut surut, batas tingginya hanya sebetis, hingga kurang lebih lima ratus meter ke tengah laut. Pantai itu selalu ramai dengan para pengunjung. Apalagi di sebelah barat terhampar pasir putih, sangat cocok untuk berjemur di slang hari.
"Mariani!" desis Rusmini tersentak dari tidurnya. Nafasnya tersengal-sengal.
"Ada apa, Bude?" tanya Mariani, keponakannya yang sengaja menemani Rusmini sejak Cahya dinyatakan hilang dan meninggal. Gadis belia yang baru beranjak remaja itu masih rnenggantung kantuknya.
"Kakakmu, Mas Cahya!" seru Rusmini.
Mariani bingung. "Mas Cahya kenapa, Bude?" "Kakakmu datang."
Mariani menarik napas panjang. Dadanya terenyuh dan haru. Ikut merasakan kesedihan budenya.
"Bude ini ada-ada saja. Itu hanya mimpi. Mas Cahya sudah meninggal. Sudah, lebih baik Bude tidur lagi." seru Mariani berusaha menenangkan budenya.
"Nggak, Mar. Kakakmu Cahya masih hidup. Bude yakin itu!" seru Rusmini bersikeras.
Mariani kembali menghela napas panjang. "Ya, kalau begitu kita berdoa saja agar Mas Cahya segera kembali," kata Mariani akhirnya.
Rusmini semakin larut dalam mimpi-mimpinya. Mimpi yang seolah selalu datang untuk memberikan pertanda. semakin menguat pula keyakinan Rusmini bahwa anaknya masih hidup. Gambaran-gambaran pantai yang mengisyaratkan kalau anaknya berada di sekitar tempat itu semakin sering hadir dalam mimpi-mimpinya.
Deburan ombak mengempas pantai. Lalu air mengisi relung-relung teluk dan memutari karang-karang. Pemandangan dalam mimpinya itu selalu menggelitik keinginan Rusmini untuk mendatangi tempat itu. Dia yakin di sekitar daerah yang masih asing itu, akan menemukan anaknya kembali.
Namun ke mana dan di mana hendak mencari, ia tak tahu. Bayangan yang perlahan masuk tertelan ujung laut yang seakan tak berujung batas, makin tegas menggantung di pelupuk mata Rusmini.
Doa Rusmini semakin bulat dan khusyuk. la memohon kepada Allah agar ditunjukkan tempat itu dan dapat menemukan anaknya kembali. Allah Maha Pemurah. Maha Mendengar. Maha Mengetahui dan Maha Mewujudkan Doa. Begitulah kiranya yang terjadi pada Rusmini.
Jika Allah menghendaki, tidak ada sesuatupun yang sulit. Meski tanpa tujuan pasti, tanpa keraguan Rusmini dengan diantar Mariani berangkat. Rusmini dan Mariani menaiki angkutan sesuai dengan kekuatan nalurinya. seakan ada kekuatan ghaib yang menuntunnya.
Setelah melintasi bentangan perkebunan teh di bilangan Cigaru, disusul hamparan hutan pinus di Kiara Dua, Rusmini istirahat dulu di Kecamatan Jampang Kulon. semakin kuat getaran naluri keibuannya. Aura anaknya serasa semakin kuat dan semakin dekat.

Pantai Pangumbahan

Setelah berdoa, taktahu harus menuju ke mana lagi, tiba-­tiba seseorang yang sama sekali belum pernah dikenalnya mengajaknya ke Pantai Ujung Genteng. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 km, mereka sampai di Pantai Ujung Genteng yang berpasir putih. Seketika tubuh Rusmini gemetar dan berkeringat dingin.
"Kenapa, Bude?" tanya Mariani dengan cemas karena melihat perubahan drastis di wajah Rusmini.
"Persis seperti yang datang dalam mimpi Bude, Mar!" desah Rusmini. Lalu dia bersimpuh menghaturkan sujud. Allah Maha Segalanya. Dia telah menghadirkan gambaran pantai ke dalam mimpinya sama persis seperti layar proyeksi. Subhanallah!
"Tapi di mana Mas Cahya, Bude?" Mariani tampak ragu.
"Pasti ada di sekitar sini. Kita pasti akan menemukannya!" jawab Rusmini optimis.
Malam keburu turun mendekap malam. "Sudah malam, bude. Kita menginap di mana?" Mariani tambah cemas.
"Tenanglah. Allah pasti akan senantiasa memberi kita petunjuk. Mari kita shalat maghrib!"
"Di sini?"
"Ya, justru di sini kita lebih menyatu dengan dam. Jauh dari kebingaran dan semakin mendekatkan kita pada Allah.",
Di atas pasir putih itu, Setelah hampir satu jam mereka mengitari pantai, bahkan sempat menjumpai bekas kamp tentara Jepang, akhirnya mereka shalat maghrib berjamaah. Bersatu dalam hening. Larut dalam sunyi. Luruh dalam khusyuk dan pasrah.
Gelap semakin mendominasi. Suasana menjadi hitam. Rusmini masih larut dalam doanya. Dia konsentrasikan batinnya seakan mengajak langsung berdialog dengan Allah.
Seusai wirid dan melipat sajadah, tiba-tiba seseorang sudah berada di dekat mereka. Mereka tak tahu kapan, siapa, dan dari mana laki-laki tua itu muncul.
Rusmini mencoba menyapanya dengan beruluk salam. Ternyata laki-laki tua itu menjawab dengan ramah. Dalam sekejap terjadi dialog penuh keakraban dan kekeluargaan. Dari laki-laki tua itu Rusmini dan Mariani tahu kalau nama pantai tersebut Pantai Pangumbahan. Terletak di semenanjung Ujung Genteng, Pajampangan Selatan, kabupaten Sukabumi. Lalu Rusmini mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya ke daerah itu.
Orangtua itu sejenak merenung. Lalu menengadah ke langit kelam. Tanpa sebutir bintang pun, apalagi tembias sinar bulan.
"Sebentar lagi penyu-penyu hijau akan keluar dan bertelur," gumamnya seakan pada dirinya sendiri.
"Apa hubungannya dengan anak saya?" tanya Rusmini penasaran.
"Semoga Allah akan mempertemukan kalian, bersabarlah!"
Rusmini dan Mariani saling berpandangan. Namun betapa terkejutnya begitu kembali memalingkan muka, laki-laki tua yang sempat mengajaknya bicara telah lenyap tanpa bekas. Entah ke mana.
"Bude!" cemas Mariani, wajahnya seketika pucat pasi.
"Nggak apa-apa. Dia bukan setan atau hantu, tapi penunggu tempat ini. Insya Allah dia akan membantu kita."

Penyu Hijau

Dalam waktu berangsur tak terlalu lama, dari arah laut terdengar gemuruh. Lalu muncul berpuluh-puluh penyu hijau menuju darat. Mendekati Rusmini dan Mariani yang takjub melihatnya. Penyu-penyu itu terdiri dari bermacam-macam ukuran. Bahkan ada yang sampai mencapai diameter dua meter lebih.
Sementara Rusmini dan Mariani mengabaikan dulu keinginan untuk menemukan Cahya. Dengan penuh kekaguman mereka menunggu penyu-penyu itu menuju pantai, meski membutuhkan waktu sampai satu jam.
Tujuan penyu-penyu hijau itu mendarat hanya untuk bertelur. Rusmini semakin larut dalam kekaguman akan kebesaran Allah. Suatu pemandangan indah yang belum pernah Rusmini lihat sebelumnya. Meski proses bertelur dari penyu-penyu itu sampai dua jam, tapi cukup mengasyikkan. Mereka lebih kagum lagi ketika penyu-penyu bertelur dalam -sekali proses dengan jumlah yang sangat fantastic. Sampai mencapai 100 butir dari seekor penyu.
Rusmini dan Mariani dengan sabar menunggu. Peristiwa mengesankan terjadi lagi saat penyu-penyu itu selesai bertelur dan akan kembali ke laut. Tiba-tiba seorang anak muda datang. Dengan asyik dia bercanda ria dengan penyu-penyu itu. Bahkan kelihatan senang hati dan ringan saja menaiki punggung penyu yang sampai selebar meja.
"Cahya!" desis Rusmini ragu, tapi nalurinya kuat bahwa dia adalah Cahya anaknya.
" Bude !” Mariani memandang budenya dengan ragu.
"Dia kakakmu, Mariani!"
Namun anak laki-laki itu tak perduli. Dia terus menaiki punggung penyu menuju laut. Sambil bersiul- siul.
"Cahya...!" panggil Rusmini.
Namun anak muda•itu tetap tak bergeming. Rusmini jadi ragu, tapi nalurinya tetap menuntut untuk mengejar dan mendekat. Dengan rasa penasaran, Rusmini berlari mendekati laki-laki muda yang masih asyik menunggangi punggung penyu. Mariani mengikuti dari belakang.
Rusmini semakin gemetar dan histeris begitu jarak mereka hanya sekitar dua meter. Laki-laki muda itu benar-benar Cahya. Ya, Cahya anaknya.
"Cahya... ini Ibu, Nak!" sapa Rusmini dengan suara gemetar dan ingin rasanya mendekap tubuh anaknya.
Namun keraguan masih menyergap Rusmini, betulkah dia Cahya? Anaknya? Laki- laki muda itu memandangi Rusmini. Namun jelas kalau ia tidak mengenali ibunya, apalagi Mariani, saudara sepupunya.
"Mas Cahya!" sapa Mariani, sebab batinnya yakin kalau dia saudaranya.
Cahya diam saja meskipun ia mendengar panggilan Mariani. Sosok itu terlihat asing dengan dua perempuan yang ada di hadapannya. Sepertinya Cahya kehilangan ingatan. Tidak ingat apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Seperti orang amnesia. Dalam gelap, tampak kilatan mata Cahya yang
kosong.
Rusmini sangat sedih. la prihatin dengan keadaan anaknya. Kebahagiaan beberapa saat sebelumnya, seperti tengah diuji kini. la telah menemukan anaknya yang hilang, tapi anaknya tak juga kembali. Anaknya tak lagi mengenalinya. Kesedihan macam apa pula yang harus ditanggung seorang ibu, selain seperti yang dialami oleh Rusmini?
Hatinya nyeri. Ingin rasanya ia menangis dan memeluk erat-erat sosok pemuda di hadapannya. Lalu dengan sebisa kata yang ingin dibenamkan, ingin rasanya Rusmini menjelaskan kalau ia adalah ibunya. lbu kandung yang melahirkan dan membesarkannya dengan susah payah. Titik­-titik air mata terasa memenuhi pelupuk bening wanita lewat paruh baya itu.
Lalu seperti ada yang membisiki telinga Rusmini untuk berusaha mengembalikan ingatan Cahya. la melantunkan doa dan shalawat seperti yang sering diucapkan oleh Cahya.

Shalawat Jadi Mukjizat

Allahumma shalli 'ala Muhammad, ya Rabbi shalli wasallim. Rabbana ya rabbana, dzalamna anfussana wa inlam taghfirlana wa tarhamna lana kunanna minal khasirin.
Allahumma shalli 'ala Muhammad ya Rabbi shalli 'alaihi wasallim. Rabbana ya rabbana, dzalamna anfussana wa inlam taghfirlana wa tarhamna lana kunanna minal khasirin.
Rusmini mengulangnya berkali-kali dengan suara yang sebening mungkin. Mariani lalu mengikuti apa yang dilakukan oleh budenya. Keduanya benar-benar membawa hati dan ketulusan dalam shalawat tersebut. Semakin lama keduanya semakin khusyuk dan khidmat membaca shalawat. Mereka seolah terbawa pada dunia yang lebih bening dengan keteguhan shalawat.
Penyu-penyu hijau itu pun berhenti. Mereka seakan turut larut dalam samudera shalawat dan doa. Benarlah firman Allah, bahwa segala sestratu yang ada di muka bumi ini semuanya bertasbih, mengagungkan asma Allah. Hanya saja kita sebagai manusia tidak mengetahui bahasa tasbih mereka.
Penyu-penyu hijau dengan berbagai ukuran itu benar­-benar ikut khidmat dalam doa. Sepertinya mereka juga tunduk ikut mengucapkan shalawat mengikuti Rusmini dan Mariani. Laut pun saat itu begitu tenang dan patuh. Nyaris tak ada gerakan yang berarti.
Entah sampai berapa lama Rusmini dan Mariani larut dalam doa. Begitu pula dengan penyu-penyu hijau. Mungkin saja lautan dan segala yang ada di sekitar tempat itu ikut bershalawat seperti yang dilakukan Rusmini dan Mariani. Mereka benar-benar khusyuk hingga tak menyadari lagi apa yang akan terjadi pada Cahya. Mereka seolah menyerahkan semua keputusan pada Sang Pemberi Keputusan Terbaik, Allah Tuhan Yang Esa.
Lalu, perlahan tetapi pasti... perubahan besar sedang terjadi. Bumi tempat kaki Rusmini dan Mariani berpijak serasa bergerak-gerak. Keajaiban lain sedang terjadi. Laki-laki muda  di atas punggung penyu besar itu turun. Wajahnya berubah total.
"lbuuu ... !" desisnya seolah ada sentakan hebat yang membuatnya tersadar akan siapa yang ada di hadapannya.
Alam seperti terhenti mendengar teriakan Cahya. Lantunan shalawat berhenti jeda dengan sendirinya. Cahya yang sudah turun dari punggung penyu besar itu berjalan setengah berlari menghampiri Rusmini yang masih terpaku. Menunggu mukjizat dan keajaiban datang.
"lbuuu ... !" Sekali lagi Cahya memanggil Rusmini. Pekat, dalam, dan penuh keharuan.
Spontan Rusmini merentangkan kedua tangannya. Air mata menitik perlahan di wajahnya. Air mata kebahagiaan dan keharuan yang menyesaki seluruh rongga kalbunya.
"Cahya, anakku! Kamu sudah sadar, Nak!" seru Rusmini. Keduanya berpelukan dengan sangat lama.
"Mas Cahya!" seru Mariani setelah beberapa saat membiarkan Bude dan kakak sepupunya itu larut dalam keharuan.
Cahya menatap pada Mariani dan tersenyum. "Makasih kamu mau nemenin ibu, Mar," kata Cahya pelan.
Lalu Cahya segera kembali menatap ke arah penyu-penyu hijau yang sepertinya masih menanti. Dengan cepat Cahya menggerakkan tangan seperti isyarat agar mereka kembali ke tempat semula. Dan seperti diperintah, barisan penyu-penyu hijau raksasa itu segera kembali ke lautan. Begitu patuh dan taat. Seolah mereka datang hanya untuk mengantarkan Cahya dengan selamat. Rusmini dan Mariani hanya bisa melihat semua itu dengan kagum dan takjub.
Sungguh Maha Besar Allah yang mencipta segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan selalu memiliki rasa kasih sayang. Penyu-penyu hijau raksasa itu adalah binatang dan tidak punya perasaan maupun pikiran. Namun mereka adalah makhluk yang diliputi oleh kasih sayang.

Kisah Cahya

Beberapa waktu setelah kondisinya benar-benar pulih, Cahya baru menceritakan kisah hidupnya. Badai tsunami telah memorak-porandakan segalanya. la pun terseret gelombang yang membuatnya tak ingat apa-apa lagi. Benar-benar tidak tahu di mana dirinya berada.
Sepanjang waktu yang kemudian diketahuinya ia berada di lautan. Bersama dengan penyu-penyu hijau raksasa yang tidak diketahui berasal dari mana. Berhari-hari ia hidup bersama mereka. la juga melanglang dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan cara yang mudah, naik di atas punggung penyu-penyu raksasa itu. Dan entah kenapa, penyu-­penyu hijau raksasa itu sepertinya selalu menurut saja atas perintahnya.
Setiap kali pula penyu-penyu hijau itu pergi ke darat untuk bertelur, lalu kembali ke lautan. Sementara telur-telur penyu yang ada di daratan dibiarkan sendiri menetas karena panasnya pasir pantai. Lalu anak-anak penyu akan hidup dan beradaptasi dengan sendirinya.
Cahya tak ingat berapa lama ia ada bersama mereka. la juga tak pernah merasa kelaparan saat bersama mereka. Tak tahu juga bagaimana seolah ia sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan laut, meski sebelumnya ia tak pernah memelajarinya.
Lalu tiba-tiba saja di saat penyu-penyu hijau raksasa itu ke darat, ia kembali mengikutinya dan bertemu dengan ibunya. Namun ia tak ingat sama sekali siapa mereka. la baru tersadar setelah mereka mengucapkan doa dan shalawat.
Doa dan shalawat itulah yang serasa membangunkan jati diri aslinya. Perlahan, Samar, akhirnya ia ingat siapa sebenarnya dirinya. Lalu perlahan tapi pasti pula ia mulai mengingat segala kejadian yang mengerikan. Namun, sungguh Allah-lah yang telah menjaganya selama ini. Dan ia tak bisa menceritakan sekaligus tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

Lautan Hikmah

Ketajaman nurani dan kekuatan doa seorang ibu, akhirnya mempersatukan antara ibu dan anak. Orang yang sudah dinyatakan meninggal dan selama dua tahun hilang akibat bencana tsunami, ternyata masih segar bugar dan -sehat wal afiat.
Meskipun kondisi kejiwaan Cahya sempat mengalami goncangan, tapi Allah telah menunjukkan kekuasaan-Nya melalui doa dan ketulusan cinta ibu. Cahya bisa kembali inampu mengingat masa lalunya. Kembali normal seperti sedia kala setelah Rusmini mengumandangkan kalimat-kalimat Air seperti yang sering dibacakan Cahya setiap saat menjelang shalat. Subhanallah, Sungguh Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Sumber :
Buku “LAUTAN CINTA” Kisah-kisah Kebesaran ALLAH di Tengah Samudera
Oleh : Kinoysan & Hartono
Penerbit : PT. Lingkar Pena Kreativa