Jumat, 24 Desember 2010

AR Rahman Sekeluarga Masuk Islam Setelah Sang Adik Tersembuhkan

AR Rahman Sekeluarga Masuk Islam Setelah Sang Adik Tersembuhkan
AR Rahman
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI--Di dunia musik, sebelum film Slumdog Millionaire dirilis, nama AR Rahman mungkin tidak pernah ada yang mengenalnya. Padahal laki-laki kelahiran Chennai, Tamil Nadu, India tanggal 6 Januari 1966 ini telah menjual lebih dari 100 juta rekaman. Rahman yang dijuluki "Mozart of Madras" oleh majalah Time itu setidaknya telah menjadi pengarah musik lebih dari 50 film produksi Bollywood.

Dan, ketika sutradara Slumdog Millionaire, Danny Boyle menyodori posisi penata musik, ia tidak berpikir dua kali. Dia mulai merencanakan musik itu beberapa bulan dan akhirnya film itu benar-benar meledak.

Seperti mayoritas penduduk India yang menganut agama Hindu, Rahman sejak lahir sudah memeluk Hindu. Nama pemberian orang tuanya adalah AS Dileep Kumar. Ia tumbuh dan dibesarkan di tengah-tengah keluarga pemusik kaya raya. Ayahnya, RK Shekhar, dikenal luas sebagai komposer dan konduktor musik untuk film-film India berbahasa Malayalam.

Ketika usianya menginjak 9 tahun, sang ayah meninggal dunia dan peran sebagai kepala keluarga dipegang oleh ibunya Kareema (Kashturi). Sejak saat itu, kebutuhan hidup Rahman dan saudara-saudaranya ditutupi dari hasil menyewakan alat-alat musik peninggalan sang ayah. Kerasnya kehidupan yang harus ia lalui sepeninggal sang ayah telah membuatnya menjadi seorang atheis.    

Berkat kecermelangannya dalam bermusik, ia pun mendapat tawaran beasiswa dari sebuah sekolah musik di Greewich, Inggris, Trinity College of Music. Rahman berhasil menyelesaikan pendidikan musiknya di sana dan lulus dengan gelar dalam bidang musik klasik Barat.

Persentuhan awal Rahman dengan agama Islam terbilang unik. Ketika itu sang adik tiba-tiba jatuh sakit. Berbagai upaya telah ditempuh dan dilakukan oleh keluarganya demi kesembuhan sang adik. Namun kesembuhan yang diharapkan tak kunjung tiba.

Di tengah keputusasaan yang melanda keluarga Rahman, salah seorang teman keluarganya, memberi saran agar mereka memanjatkan doa di sebuah masjid dan bersumpah untuk masuk Islam jika sang adik diberi kesembuhan kelak. Jadilah keluarga Rahman menjalankan saran tersebut.

Tak lama berselang sang adik pun diberi kesembuhan. Dan sesuai dengan sumpah yang telah mereka ucapkan, Rahman beserta seluruh anggota keluarganya menyatakan masuk Islam. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1989, saat usia Rahman baru menginjak 23 tahun. Sejak saat itu, dia pun mengubah namanya dari AS Dileep Kumar menjadi Allah Rakha (AR) Rahman.

Kepada majalah Time, suami dari Saira Banu ini mengungkapkan dirinya tertarik untuk memeluk Islam setelah mempelajari sufisme Islam. Mengenai identitas keislamannya ini ia tidak malu untuk menunjukkannya di hadapan publik.

Hal ini terlihat jelas manakala ia memberikan sambutan pada malam penganugerahan Academy Awards ke-81. Di hadapan para pelaku industri film dunia ia mengawali kata sambutannya dengan sebuah kalimat Tamil "Ella pughazhum iraivanukke", yang secara harfiah berarti "Semua pujian didedikasikan untuk Allah".

Kendati telah memeluk Islam, hal tersebut tidak membuat Rahman berhenti dari dunia seni musik. Dalam sebuah wawancara khusus dengan Majalah The Rolling Stone edisi 16 November 2008, Rahman mengungkapkan, pada tahun-tahun pertamanya menjadi seorang Muslim, bersama lima orang teman masa kecilnya ia membentuk sebuah band yang mereka beri nama Roots. Dalam band tersebut, ia ditempatkan sebagai pemain keyboard dan penggubah lagu.

Setelah band tersebut bubar, Rahman kemudian mendirikan sebuah grup musik beraliran rock. Band barunya ini ia beri nama Nemesis Avenue. Di Nemesis Avenue, ia memainkan beberapa alat musik, mulai dari keyboard, piano, synthesizer, harmonika hingga gitar. Namun dari kesemua perangkat alat musik ini, menurut Rahman, ia lebih tertarik dengan synthesizer. ''Alat ini merupakan kombinasi yang ideal antara musik dan teknologi,'' ungkap ayah dari Khadijah, Rahima dan Aameen ini kepada TFM Page Magazine edisi Januari 2006.

Karir profesionalnya di industri film baru mulai dirintis di tahun 1992, ketika ia mendirikan studio rekaman sendiri di rumahnya di Chennai. Studio musiknya yang diberinya nama Panchathan Record Inn tersebut saat ini bisa dibilang sebagai salah satu studio musik yang paling canggih dan memiliki teknologi tinggi di Asia.

Sepanjang karirnya sebagai musisi, Rahman telah memenangkan berbagai penghargaan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Antara lain empat belas piala Filmfare Awards, sebelas piala Filmfare Awards South, empat piala National Film Awards, dua piala Academy Awards, dua Grammy Awards, satu piala BAFTA Award dan satu piala Golden Globe. Atas pencapaian ini, pada tahun 2005 lalu oleh majalah TIME ia pernah dinobatkan sebagai penulis soundtrack film yang paling menonjol di India. Di tahun 2009 lalu, majalah TIME kembali memberi penghargaan kepada Rahman dengan menempatkannya dalam daftar 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia.
Red: Siwi Tri Puji B
Rep: Nidia Zuraya


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/12/25/154371-ar-rahman-sekeluarga-masuk-islam-setelah-sang-adik-sembuh

Air Mata

Hikmah Pagi: Air Mata
Menangis. Ilustrasi
Oleh: Umi Nurtri Ratih (Guru SMPN Bojongsari, Purbalingga) ****



 “Dan mereka munyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (QS Al Israa[17]:109)



Seringkali, ketika sesuatu terjadi di luar rencana, harapan dan keinginan lewat tak tertangkap barulah manusia mengingat Dia. Sadar dirinya tak mampu berbuat apa-apa, jika Allah sudah berkehendak. Saat itu biasanya manusia menangis atau berkeinginan untuk menangis. Namun, tak lama bila ada harapan dan keinginan yang terwujud, maka tertawalah ia dan lupa lagi kepada Sang Pemberi Harapan.


Amat biasa, manusia menangis, melelehkan airmatanya, ketika merasa hancur, tujuannya gagal, harapannya kabur, dan cita-citanya berantakan. Atau, apabila yang telah diupayakannya mengalami kebuntuan.

Menangis adalah cara Allah menunjukkan kekuasaan dan kemahabesaranNya. Air mata itu mungkin saja diciptakan untuk menyadarkan manujsia agar senantiasa mengingatNya. Titik-titik air bening dari kelopak mata itu bisa jadi adalah teguran Allah terhadap riak kenistaan yang kerap mewarnai kehidupan ini.

Seperti Allah menurunkan hujan dari gumpalan awan untuk membahasahi bumi dari kekeringan hingga tumbuh sayur segar dan buah yang ranum. Seperti itulah barangkali tangis manusia akan membahasahi kekeringan hati dan melelehkan kerak kegersangan agar menghadirkan kembali wajah Dia yang mengiringi setiap langkah selanjutnya.

Semestinya, tangisan meluluhkan bongkah bongkah keangkuhan dalam dada, hingga timbul kesadaran hanya Dia yang berhak berlaku sombong. Air mata itu akan melelahkan pandangan mata dari m tangis manusia akan membahasahi kekeringan hati dan melelehkan kerak kegersangan agar menghadirkan kembali wajah Dia yang mengiringi setiap langkah selanjutnya.

Semestinya, tangisan meluluhkan bongkah bongkah keangkuhan dalam dada, hingga timbul kesadaran hanya Dia yang berhak berlaku sombong. Air mata itu akan melelahkan pandangan mata dari meremehkan orang lain dan semakin menjernihkan kacamata untuk lebih bias melihat kemahabesaran dan kekuasaan Alah. Titik titik bening itu akan membersihkan debu debu pengingkaran yang menyesaki kelopak mata yang menjadikan seringkali lupa bersyukur atas nikmat pemberianNya.

Semestinya pula, melelehkan air mata membuat hati tetap basah oleh ke tawadluan, qana’ah, dan juga cinta terhadap sesame. Air mata menjadi penyadar bahwa apa pun yang kita upayakan semua tergantung padaNya. Tak ada yang patut disombongkan pada diri di hadapan sesame apalagi di hadapan Dia. Air mata akan mengantarkan kita pada kekhusyukan.

Bersyukurlah bila masih bias meneteskan air mata. Namun, air mata menjadi tak ada atinya jika setelah tetes terakhir, tak ada perubahan apapun dalam langkah kita. Tak akan ada hikmahnya, bila kesombongan masih menjadi baju utama kita. Wallahu a’lam bish-shawab.
Red: Siwi Tri Puji B

http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/12/25/154361-hikmah-pagi-air-mata

Rabu, 22 Desember 2010

Batal Minum-minum, Spontan, Rustam Sarachev Malah Kunjungi Masjid

Batal Minum-minum, Spontan, Rustam Sarachev Malah Kunjungi Masjid
Rustam Sarachev, 21 tahun, tengah beribadah di masjid agung di Volga, Rusia
REPUBLIKA.CO.ID, ALMETYEVSK, RUSSIA--Pada saat menginjakkan kaki pertama kali di masjid agung di kota itu, Rustam Sarachev seharusnya bersenang-senang. Ia ingin menghadiri hingar-bingar pesta di sebuah klub malam, namun alih-alih ia malah mengirimkan dirinya ke jalan menuju Islam.

Awalnya seorang teman mengolok-olok karena ia berpikir tentang mengunjungi masjid. Marah, Rustam pun meninggalkan teman-temannya dan mereka berangkat minum-minum tanpa dirinya.

Begitu menyesali pikirannya yang 'jernih', dengan 500 rubel--yang seharusnya digunakan untuk membeli vodka--masih utuh di dompet, ia melangkah menuju sebuah masjid berwarna jingga salmon. Warna itu mendominasi satu sudut timur di sebuah kota minyak kecil, Volga. Saat itu akhir September 2006, awal bulan Ramadan.
Dibangun pada 1990-an dengan dukungan dana Arab Saudi, masjid itu menghadirkan pernyataan kuat di lingkungan setempat. Di dalam Sarachev menjumpai interior dengan aksen pahatan kayu memesona, paduan karpet warna merah dan hijau terlihat  kontras saat disandingkan dengan ubin biru bermotif mosaik.

Pada hari libur para jamaah tetap membuka layanan. Selama ibadah sore, ashar menjelang maghrib, dengan arah bangunan menuju barat daya, Mekah, sebuah jendela di sisi kanan memasukan sekilas pemandangan langit megah berwarna merah muda, seperti dunia lain. Bahkan terlihat sorotan sinar menerpa lima kubah emas gereja Ortodok di seberang jalan.

"Saya sungguh terkejut," kenang Sarachev. "Saya tidak bisa memahami di mana saya berada. Saat itu didalam hanya ada orang-orang muda. Mereka memperlakukan saya begitu baik. Saya tidak pernah sebelumnya disambut seperti itu," tutur Sarachev.

Dalam aula masjid ia melihat wajah yang akrab. Seorang teman, Almas Tikhonov, yang selama ini dikenal tukang pesta berkepribadian kasar. Ia di sana, sedang berdoa. Ia terkesan dengan cara Almas melihat, ada ketenangan menarik dalam dirinya.

Hari-hari berikut, gambaran-gambaran itu terus berkutat  dan tak bisa lepas di pikiran Sarachev. Ia pun memutuskan kembali ke masjid, lagi, lagi dan lagi. Ia harus menanggung cibiran teman-teman lamanya--dan ia akui itu berat--namun sekaligus, yang membuat tekadnya kian kuat.

Lama-kelamaan ia mulai melihat kawan-kawannya dengan cara pandang baru dan cahaya baru. Itu membuat ia mudah meninggalkan minum-minuman, pesta dan nongkrong di sudut-sudut jalan, atau mengendap-endap di sebuah desa di mana mereka dapat berpesta semalaman penuh, jauh dari pantauan orang tua.
Ketika ia menoleh kembali ke belakang, ia sendiri tak yakin apa yang membuat ia mendatangi masjid dan apa yang ia harapkan dari kunjungan itu. Berusia 17 tahun, kala itu ia merasa kehilangan diri. Sarachev melabeli dirinya holigan, pembuat onar dengn kepribadian yang dikeraskan oleh kehidupan. Namun, ia juga mengingat sangat rapuh dengan hinaan dan merasa sakit ketika menemui dirinya sebagai pemuda tanpa masa depan.

Mata Sarachev terbuka. Ia akhirnya menyadari bahwa dunia penuh dengan kejahatan. Tugas seorang Muslim yang baik adalah mengatasi dan mengalahkan semua kejahatan itu. Dan sesuatu di sana, ia tahu, meski ia mengaku masih memproses dalam pikirannya, terletak pengertian Jihad. "Itu adalah perjuangan terhadap mereka yang tidak meyakini," ujarnya "Itu bukan sekedar ujian. Jihad adalah perang." (bersambung)




Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: The Washington Post

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/12/22/153860-batal-minumminum-spontan-rustam-sarachev-malah-kunjungi-masjid

Selasa, 21 Desember 2010

Tina Styliandou: Dulu Aku Diajari untuk Membenci Islam

Tina Styliandou: Dulu  Aku Diajari untuk Membenci Islam
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, Saya lahir di Athena, Yunani, dari orang tua penganut Kristen Ortodok Yunani. Keluarga ayah saya tinggal di Istanbul, Turki, hampir di seluruh hidup mereka. Ayah pun lahir dan besar di sana. Mereka keluarga sejahtera, berpendidikan baik dan seperti sebagian besar Kristen Ortodok yang tinggal di negara Islam, mereka sangat berpegang teguh dengan ajaran agama.

Tiba masa ketika pemerintah Turki memutuskan menendang mayoritas keturunan Yunani keluar dari negara itu dan menyita kekayaan, rumah serta bisnis mereka. Kondisi itu memaksa keluarga ayah saya kembali ke Yunani dengan tangan kosong. Ini yang dilakukan Muslim Turki dan itu yang mengesahkan, menurut mereka, untuk membenci Islam.

Keluarga Ibu saya tinggal di sebuah pulau Yunani di perbatasan antara Yunani dan Turki. Selama serangan Turki berlangsung, Turki menguasai pulau tersebut, membakar rumah-rumah. Demi keselamatan, penduduk pulau pun melarikan diri di daratan utama Yunani. Lebih banyak alasan lagi untuk membenci Muslim Turki.

Yunani, lebih dari 400 tahun dikuasai Turki. Akhirnya kami, kaum muda Yunani diajarkan untuk meyakini bahwa setiap kejahatan yang dilakukan terhadap Yunani, adalah tanggung jawab Islam. Jadi, selama beratus tahun kami diajari, dalam buku-buku sejarah dan agama, untuk membenci dan mengolok-olok agama Islam.

Dalam buku kami, Islam bukanlah sebuah agama dan Rasul Muhammad saw. bukanlah nabi. Ia hanyalah seorang pemimpin dan politisi sangat cerdas yang mengumpulkan aturan dan hukum dari kitab Yahudi dan Kristen. Lalu ia menambahi dengan ide-idenya sendiri dan menguasai dunia.

Di sekolah, kami bahkan diajari untuk mengolok-olok dia, istrinya serta sahabat-sahabatny. Semua 'karikatur' dan lelucon kasar terhadapnya--yang dipublikasikan di banyak media saat ini--adalah bagian dari pelajaran kelas dan ujian kami!.

Alhamdulillah, Allah melindungi hati saya dan kebencian terhadap Islam tak pernah memasuki kalbu. Bantuan terbesar bagi saya mungkin dari dua orang tua yang bukanlah sosok relegius. Mereka jarang mempraktekkan ritual keagamaan dan hanya datang ke gereja saat ada pernikahan dan pemakaman.

Alasan yang membuat ayah saya menarik diri dari agamanya ialah korupsi yang ia saksikan dilakukan para pendeta setiap hari. Bagaimana mungkin orang-orang ini berkotbah tentang Tuhan dan kebaikan tapi pada saat bersamaan mencuri dari dana gereja, membeli vila dan memiliki mobil Mercedes serta menyebarkan gagasan homoseksual di kalangan mereka sendiri?

Apakah ini perwakilan yang benar dari agama yang akan memandu kami, mengoreksi kami dan mendekatkan kami kepada Tuhan. Ayah saya muak dengan mereka dan itulah yang membuat ia menjadi atheis. Gereja-gereja pun mulai kehilangan jemaat, paling tidak di negara saya, karena aksi para pendeta.
Tak Puas dengan Keyakinan Awal

Sebagai remaja, saya mencintai buku dan membaca banyak. Saya sendiri tidak pernah benar-benar puas dengan Kristen yang saya peluk. Saya mempercayai Tuhan, rasa takut dan cinta kepadanya, namun yang lain sungguh membingungkan saya.

Saya mulau mencari namun saya tak pernah mencari dan memelajari Islam. Mungkin karena latar belakang pendidikan saya bertentangan dengan ajaran ini.

Namun alhamdulillah, Ia mengasihi jiwa saya dan memandu saya kepada cahaya. Ia mengirimkan ke hidup saya seorang suami, lelaki Muslim yang menumbuhkan cinta ke dalam hati saya. Kami saat  itu menikah tanpa memedulikan perbedaan agama.

Suami saya selalu bersedia menjawab pertanyaan apa pun yang terkait agamanya, tanpa merendahkan keyakinan saya--bagaimanapun salahnya mereka. Ia tak pernah menekan atau bahkan meminta saya untuk berpindah agama.

Setelah tiga tahun menikah, memiliki kesempatan mengenal Islam lebih jauh dan membaca Al Qur'an langsung, dan juga buku-buku agama lain, saya pun meyakini tak ada sesuatu yang bersifat trinitas. Muslim meyakini hanya Satu Tuhan yang tak bisa disandingkan dengan apa pun. Tidak memiliki anak, pasangan dan tidak ada sesuatu di muka bumi yang berhak disembah selain Dia. Tidak ada satupun yang berbagi keesaannya dengan-Nya dan juga sifat-sifat-Nya.
Menjadi Muslim
Saya pun memeluk Islam. Namun saya menyembunyikan agama baru dari orang tua, teman-teman selama bertahun-tahun. Kami tinggal bersama di Yunani tanpa pernah meninggalkan ajaran Islam dan sungguh luar biasa sulit, hampir mustahil.

Di kampung halaman saya tidak ada masjid, tidak ada akses ke studi Islam, tidak ada orang berdoa atau berpuasa, atau seseorang mengenakan jilbab.

Ada beberapa imigran Muslim yang datang ke Yunani untuk masa depan keuangan lebih cerah. Mereka membiarkan kehidupan Barat menarik dan mengorupsi mereka. Hasilnya, mereka tak mengikuti ajaran agama dan mereka sepenuhnya tersesat.

Suami dan saya harus shalat dan berpuasa mengikut kalender. Tidak ada Adzhan dan tidak ada komunitas Islam untuk mendukung kami. Kami merasa setiah hari mengalami kemunduran. Keyakinan kami melemah dan gelombang menyeret kami.

Ketika putri kami lahir, kami memutuskan--demi menyelamatkan jiwa kami dan putri kami--bermigrasi ke negara Islam. Kami tidak ingin membesarkan dia dalam lingkungan Barat yang bebas di mana ia harus berjuang keras menjaga identitas dan mungkin berakhir tersesat.

Terimakasih Tuhan, ia telah memandu kami dan membawa kami kesempatan untuk bermigrasi ke negara Islam, di mana kami mendengar kalimat-kalimat merdu Adhzan. Kami pun dapat meningkatkan pengetahuan dan cinta kami pada-Nya serta pada Rasul Muhammad. saw.

Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Reading Islam


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/12/22/153701-tina-styliandou-dulu-aku-diajari-untuk-membenci-islam

Rabu, 15 Desember 2010

Andrian, Tiga Kali Haji Berkat Jadi Pelayan Masjid Rasul


Penjaga air zam-zam di Masjid Nabawi - Madinah
JEDDAH–Di tengah keheningan orang beribadah di Masjid Nabawi Madinah pagi itu, tampak beberapa orang berpakaian serba hijau sibuk merapikan tempat air zam-zam. Satu per satu mereka menata gelas dan sebagian lagi mengecek isi gentong.
Meski pekerjaan mereka terganggu dengan jamaah yang tak sabar meminum zam-zam, namun tak sedikitpun tampak gurat kemarahan. Mereka malah tersenyum dan begitu ikhlas dengan pekerjaannya. Lelaki-lelaki berpakaian serba hijau itu adalah penata air zam-zam. Jumlahnya mencapai puluhan orang dalam satu kali shift.
Yang mengejutkan dari ratusan petugas itu, satu di antaranya terdapat Muhammad Andrian Ibrahim, pemuda asal Purwakarta, Jawa Barat. Andri, demikian dia biasa disapa, sudah lebih dari tiga tahun menjadi petugas di Nabawi.
Pagi itu, Andri dan beberapa rekannya dari Pakistan tengah mengganti gentong-gentong zam-zam. Tiap pergantian shift, gentong dicek dan kemudian diisi ulang. Gentong-gentong ini jumlahnya mencapai ribuan. Satu gentong bisa memuat 65 liter air. Tiap hari rata-rata kebutuhan zam-zam di Nabawi mencapai 25 tangki berisi 10.000 liter. Pada Ramadan, kebutuhan zam-zam mencapai puncaknya, yakni bisa 23.000 gentong. “Tugas utama saya ya memeriksa, membersihkan dan sekaligus mengisi penuh lagi,” ujarnya. Selain menata gentong, Andri juga membersihkan gelas-gelas yang bekas sekaligus mengganti yang baru.
Meski hanya penjaga air zam-zam, pemuda kelahiran Purwakarta, 14 Juni 1985 mengaku sangat menikmati dan mensyukuri pekerjaan ini. Bagi dia, menjadi pelayanan di Masjid Nabawi adalah sebuah kehormatan. Apalagi, sejak menempuh di Pesantren Alhikmatussalafiah, Cibulus, Wanayasa, dia sudah berangan-angan bisa bekerja dan menuntut ilmu di Tanah Suci.
Maka ketika tawaran itu datang, dia pun tak mau melewatkannya. Dia mendapat tawaran ini dari salah satu kerabatnya yang juga lebih dulu bekerja di Masjid Nabawi. Karena sudah bertekad kuat itulah, dengan cepat dia melengkapi syarat-syarat agar bisa segera pergi ke Arab Saudi. Tepat pada Agustus 2008, dia mulai bekerja sebagai penjaga air zam-zam di bawah naungan Saudi Bin Ladin Group. Perusahaan ini adalah penguasa di Arab Saudi, termasuk terkenal dalam jasa kontruksi. Tak hanya di Nabawi, petugas-petugas di Masjidiljharam dan Bandara King Abdul Azis Jeddah juga di bawah kendali Bin Laden Group. “Saya memilih di Madinah karena berharap bisa sekolah di sini,” ungkap dia.
Di Masjid Nabawi, petugas masjid dibagi jadi empat kelompok. Selain penjaga air zam-zam, petugas pelayan jamaah adalah penata Alquran, tukang kebersihan dan pembersih halaman masjid. Untuk petugas kebersihan berwarna biru, penata Alquran merah muda, sedang penjaga halaman berwarna cokelat. Mereka bekerja secara bergantian tiap delapan jam sekali.
Karena masih banyak waktu luang itu pulalah, Andri juga bertekad bisa memperdalam ilmu agama di Madinah. Namun sayang, keinginannya belum bisa terkabul. “Ya waktunya saja yang belum pas. Saya sudah mengincar sekolah jurusan bahasa di sini misalnya, tapi waktu belajarnya mengganggu kerja saya di masjid.”
Pendapatan dari profesinya sebagai penjaga air zam-zam, menurut Andri, sebenarnya tidaklah besar. Dalam satu bulan, dia hanya dibayar 529 riyal atau setara dengan Rp1.300 ribu. Dia pun tak berupaya mencari tambahan pendapatan seperti dengan bekerja paruh waktu berdagang atau yang lain. Tambahan uang paling-paling dari kedermawanan para jamaah. Saat Ramadan, jumlah orang yang berderma sangat banyak. “Mereka biasanya memberi usai salat, ada yang 10 riyal, 20 riyal bahkan ada yang lebih besar,” ceritanya.
Sebab bukanlah materi semata yang membuat Andri begitu kerasan menjalankan pekerjaan ini. Sebagai pelayan jamaah di Masjid Nabawi, dia banyak merasakan keberkahan yang didapat selama ini. Kesehatan dan keselamatan, demikianlah dia menceritakan soal keberkahan itu.
Karena bekerja sebagai pelayanan masjid yang dibangun Nabi Muhammad ini pulalah, dia sudah bisa menunaikan ibadah haji tiga kali. Musim haji tahun ini, dia pun bersyukur bisa kembali berhaji sebelum pulang ke Tanah Air empat bulan lagi. Untuk melaksanakan rukun Islam kelima ini, Andri mengaku tak susah. Sebab saat musim haji atau wukuf, dia meminta izin atau berganti libur dengan sesama rekan pekerja. “Alhamdulillah saya di sini ini meski dapat uang sedikit tapi bisa jadi akar untuk modal masa depan,” katanya. 

mch /Riyanto

http://www.jurnalhaji.com/2010/12/15/andrian-tiga-kali-haji-berkat-jadi-pelayan-masjid-rasul/



Selasa, 14 Desember 2010

Kisah Joanne Bailey Memilih Islam

Kisah Joanne Bailey Memilih Islam
Dari kiri ke kanan: Sukina Douglas, Catherine Heseltine, Aqeela Lindsay Wheeler, Catherine Huntley and Joanne Bailey
REPUBLIKA.CO.ID, Muda. berkulit putih kelahiran Inggris. Perempuan. Dan....memutuskan menjadi Muslim. Inilah fenomena yang kini tengah menggejala di Inggris. Para mualaf itu umumnya adalah kaum muda terpelajar.

Jumlah mualaf wanita di Inggris memang terus meningkat. Di Masjid London Tengah di Regent's Park, perempuan meliputi dua pertiga dari keseluruhan mualaf dan kebanyakan dari mereka berada di bawah usia 30.

Tak ada catatan jumlah mualaf di Inggris. Data terakhir adalah berdasar sensus tahun 2001 yang menyebut 30 ribu warga Inggris berpindah agama menjadi Muslim.

Menurut Kevin Brice, dari Pusat Penelitian Kebijakan Migrasi di Swansea University, jumlah ini mungkin sekarang mendekati 50 ribu - dan mayoritas adalah perempuan. "Dasar analisis menunjukkan bahwa peningkatan jumlah perempuan muda berpendidikan cukup signifikan," kata  Brice.

Republika Online menurunkan serial lima perempuan muda Inggris yang memutuskan menjadi mualaf.



LONDON--"Pertama kali saya mengenakan jilbab ke kantor, saya begitu gugup, saya berdiri di luar dan bertanya pada teman saya melalui telepon, 'Apa kata dunia melihat saya berjilbab sekarang," kata Joanne Bailey, seorang pengacara.

Menjadi Muslim adalah keputusan terbaiknya, begitu dia mengaku. Namun, karena alasan pekerjaan, ia memilih menyimpan keyakinan barunya. Sampai akhirnya timbul keberanian untuk memproklamirkan keimanannya dengan mengenakan jilbab.

"Di luar dugaan, teman-teman menyalami. Beberapa berkata, 'Aku sungguh tak tahu kalau kau seorang Muslim," Bailey mengisahkan kembali.

Bailey bukan latah menukar kepercayaan. Sebagai perempuan berpendidikan dan tumbuh di lingkungan kelas menengah, dia merasa nyaman ada di antara warga South Yorkshire. "Aku bahkan hampir tidak melihat seorang Muslim sebelum aku pergi ke universitas," ujarnya.

begitu mulai bekerja, ia merasakan kekosongan jiwa. "Dalam pekerjaan pertama saya di firma hukum di Barnsley, saya ingat saya sangat putus asa  memainkan peran sebagai wanita  muda yang masih lajang dan berkarir: melakukan diet obsesif  belanja dan pergi ke bar - tetapi saya tidak pernah merasa benar-benar nyaman," ujarnya.

Lalu suatu sore pada tahun 2004 segalanya berubah.Obrolan dengan seorang teman Muslim, berubah menjadi diskusi keyakinan. "Apakah kau percaya pada Tuhan?" dia bertanya. ia mengaku, walau saat itu ia mengenakan kalung salib emas, ia mengaku itu hanya bagian fashion saja, tak lebih.

Sang teman mengangguk, dan mulai berkisah tentang agamanya. Ia menyimak. "Beberapa hari kemudian, saya menemukan diri saya memesan salinan Quran di internet," akunya.

Kemudian, ia memberanikan diri datang ke acara-acara diskusi keislaman. "Butuh waktu untuk mengumpulkan keberanian datang ke acara Leeds New Muslims. Aku ingat berdiri di luar pintu berpikir, "Apa yang saya lakukan di sini?" ujarnya.

Ia membayangkan, di ruangan itu penuh dengan perempuan berjubah hitam, menunduk -- karena mereka wanita lemah yang tersubordinasi dalam keluarga dan karenanya tidak pe-de -- serta dari mulutnya keluar doa-doa. "Apa kata mereka melihat gadis 25 tahun berambut pirang ada di antara mereka?" tambahnya.

Ketika dia akhirnya masuk, semua sungguh di luar dugaan. Mereka yang berada dalam ruangan itu adalah Muslimah, tapi jauh dari apa yang dia gambarkan. "Mereka dokter, guru, psikiater. Dan diskusinya sungguh sangat brilian," ujarnya.

Setelah empat tahun, tepatnya pada Maret 2008, dia bulat tekad menjadi Muslim. Ia bersyahadat di rumah seorang teman. "Memulai menjadi Muslim, tak seberat yang saya bayangkan. Sama seperti pindah pekerjaan dan memulainya," tambahnya.

Beberapa bulan dia menyembunyikan identitas keyakinan barunya. Namun kemudian ia mempunyai keberanian untuk mendeklarasikan. "Orang pertama yang saya beri tahu adalah keluarga. Ibu saya menangis, bahkan sebelum saya bilang saya telah menjadi Muslim," ujarnya.

Dalam bayangan ibunya, menjadi Muslimah hidupnya terkungkung dan di bawah "kekuasaan" suaminya. Juga, akan diam di rumah karena Islam tak memperbolehkan wanita bekerja.  "Saya membuktikan pada orang tua, apa yang mereka bayangkan tentang menjadi Muslimah tidak benar."

Menurutnya, Islam sungguh memuliakan perempuan.  "Bertentangan dengan apa yang dipikirkan kebanyakan orang, Islam tidak menekan saya, Saya tetaplah saya yang dulu, bedanya batin saya lebih tenang, saya lebih paham makna bersyukur, dan ...beberapa bulan yang lalu, saya bertunangan dengan seorang pengacara Muslim yang saya temui di suatu kursus pelatihan," ujarnya tersenyum.

Dia mengaku, calon suaminya adalah Muslim yang mengayomi dan seide dengannya. "Dia sama sekali tidak ada masalah dengan karir saya, tapi saya setuju dengan perspektif Islam pada peran untuk pria dan wanita. Saya ingin menjaga suami saya dan anak-anak, tapi saya juga menginginkan kemerdekaan saya. Saya bangga menjadi warga Inggris dan saya bangga menjadi Muslim - dan saya tidak melihat Inggris-Islam sebagai dua hal yang bertentangan dengan cara apapun," katanya.
Red: Siwi Tri Puji B


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/10/12/15/152465-siapa-bilang-islam-rendahkan-perempuan-kisah-joanne-bailey-memilih-islam