Masyarakat penggemar film bisa menikmati sajian cerita tentang haji dengan teknologi layar lebar paling mutakhir. Gabungan produser film Arab dan Inggris yang telah bekerja sejak empat tahun berhasil mempersembahkan sebuah film paling indah di abad ini.
Menurut Kantor Berita Reuter edisi 23 Januari, film ini akan mengambil setting perjalanan Ibnu Batutah (Rihlah Ibnu Bathuthah) pada abad 14 yang memulai perjalanan dari Tangier, Maroko, hingga ke Arab Saudi.
Film ini nantinya akan menjadi film cerita semi dokumentar dengan tata warna indah dan pengerjaan yang seksama yang tujuannya memberi pemahaman masyarakat tentang haji.
"Empat tahun lalu, ketika kami memulai membuat film, kami ingin membawa cerita seseorang yang sampai di Mekah melalui kanvas raksasa IMAX, bioskop yang paling spektakuler di dunia dengan format ketinggian layar 25 meter," kata Dominic Cunningham-Reid, produsen film ini.
"Kami inginkan campuran drama abad ke-14 dan kontemporer untuk menunjukkan masa lalu dan kini."
"Road to Mecca" (judul yang mirip pada buku karya wartawan Austria Leopold Weiss yang kemudian masuk Islam dengan nama Muhammad Asad) sudah selesai mengambil gambar jarak dekat dengan kamera IMAX dengan mempergunakan helikopter dengan jarak 200 meter dari medan Arafah, Mina, dan Masjidil Haram. "Kami mengetahui bahwa ini langkah pertama yang sulit merekam gambar dengan kamera IMAX," kata Dominic.
Film ini memang akan dijadikan sarana informasi tentang ritual Islam yang sangat berharga dengan masyarakat dunia agar bisa difahami sepenuhnya ajaran tersebut. "Kami hadirkan agama Islam dari jantungnya sendiri," katanya. Dengan cara pendekatan budaya semacam ini akan semakin mendekatkan umat Islam dengan umat lainnya yang menjauh setelah tragedi WTC.
Karya Ibnu Bathuthah dipilih karena karya itu menggambarkan haji sangat dramatik. "Kami telah membaca karya Ibnu Bathuthah itu dan kesan saya yang sangat dramatis untuk divisualkan," kata Taran Davies, CEO Cosmic Picture yang menangani pembuatan film ini. "Ini merupakan persitiwa budaya tentang kemanusiaan dengan pesan yang kuat. Tujuan kami adalah untuk menciptakan kesadaran dan pemahaman kepada generasi berikutnya dan perdamaian dan pemahaman terutama bagi kalangan non-muslim."
Film ini dijadwalkan akan ditayangkan pertama kali di Dearborn, Michigan (AS) dan Paris pada bulan Januari ini dan pada bulan Februari di Toronto. Di Arab Saudi film ini juga akan diputar di satu-satunya bioskop yang ada di negara itu. Menyusul kemudian pemuyaran di semua negara di dunia, terutama negara-negara muslim. "Ini sebenarnya adalah hasil sebuah kolaborasi seniman dari berbagai negara dan agama yang berbeda ," jelas Davies.
Tampil sebagai bintang film ini adalah Chems Eddine Zinoun (Syamsuddin Zainun) yang memerankan Ibnu Bathutah, Hassam Ghancy, Nadim Swalha, dan Nabil Elouabhabi. Sementara bintang tamu aktor terkenal Ben Kingsley.
"Cerita ini adalah elemen penting film, dan bintang besar dapat menjadi selingan," kata Davies. Ironisnya, Zinoun, 28 tahun, sang pemain utama, meninggal pada 12 November 2008 beberapa hari setelah film itu selesai. Sehingga sang bintang tak menikmati filmnya sendiri.
Film ini melibatkan 85 tenaga seniman dan kalangan ahli dari 30 negara, terutama kalangan sejarawan yang piawai menggambarkan setting abad 14 Masehi. Menurut Davies, usai nonton film ini, orang Islam akan rindu untuk menunaikan ibadah haji. Sementara bagi non-muslim akan semakin teguh memperdalam dan mengamalkan agamanya. Dari film ini akan tergambar kebesaran Tuhan dan kebenaran yang dijadikan ajaran-Nya.
SUMBER
SEKILAS TENTANG IBNU BATUTAH
Spoiler for Ibnu Batutah:
Abu Abdullah Muhammad bin Battutah (أبوعبدﷲ محمد إبن بطوطة) atau deja sebagai Ibnu Batutah (24 Februari 1304 - 1368 atau 1377) adalah seorang pengembara Berber Maroko.
Atas dorongan Sultan Maroko, Ibnu Batutah mendiktekan beberapa perjalanan pentingnya kepada seorang sarjana bernama Ibnu Juzay, yang ditemuinya ketika sedang berada di Iberia. Meskipun mengandung beberapa kisah fiksi, Rihlah merupakan catatan perjalanan dunia terlengkap yang berasal dari abad ke-14.
Hampir semua yang diketahui tentang kehidupan Ibnu Batutah datang dari dirinya sendiri. Meskipun dia mengklaim bahwa hal-hal yang diceritakannya adalah apa yang dia lihat atau dia alami, kita tak bisa tahu kebenaran dari cerita tersebut.
Lahir di Tangier, Maroko antara tahun 1304 dan 1307, pada usia sekitar dua puluh tahun Ibnu Batutah berangkat haji -- ziarah ke Mekah. Setelah selesai, dia melanjutkan perjalanannya hingga melintasi 120.000 kilometer sepanjang dunia Muslim (sekitar 44 negara modern).
Perjalanannya ke Mekah melalui jalur darat, menyusuri pantai Afrika Utara hingga tiba di Kairo. Pada titik ini ia masih berada dalam wilayah Mamluk, yang relatif aman. Jalur yang umum digunakan menuju Mekah ada tiga, dan Ibnu Batutah memilih jalur yang paling jarang ditempuh: pengembaraan menuju sungai Nil, dilanjutkan ke arah timur melalui jalur darat menuju dermaga Laut Merah di 'Aydhad. Tetapi, ketika mendekati kota tersebut, ia dipaksa untuk kembali dengan alasan pertikaian lokal.
Kembail ke Kairo, ia menggunakan jalur kedua, ke Damaskus (yang selanjutnya dikuasai Mamluk), dengan alasan keterangan/anjuran seseorang yang ditemuinya di perjalanan pertama, bahwa ia hanya akan sampai di Mekah jika telah melalui Suriah. Keuntungan lain ketika memakai jalur pinggiran adalah ditemuinya tempat-tempat suci sepanjang jalur tersebut -- Hebron, Yerusalem, dan Betlehem, misalnya -- dan bahwa penguasa Mamluk memberikan perhatian khusus untuk mengamankan para peziarah.
Setelah menjalani Ramadhan di Damaskus, Ibnu Batutah bergabung dengan suatu rombongan yang menempuh jarak 800 mil dari Damaskus ke Madinah, tempat dimakamkannya Muhammad. Empat hari kemudian, dia melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Setelah melaksanakan rangkaian ritual haji, sebagai hasil renungannya, dia kemudian memutuskan untuk melanjutkan mengembara. Tujuan selanjutnya adalah Il-Khanate (sekarang Iraq dan Iran.
Dengan cara bergabung dengan suatu rombongan, dia melintasi perbatasan menuju Mesopotamia dan mengunjungi najaf, tempat dimakamkannya khalifah keempat Ali. Dari sana, dia melanjutkan ke Basrah, lalu Isfahan, yang hanya beberapa dekade jaraknya dengan penghancuran oleh Timur. Kemudian Shiraz dan Baghdad (Baghdad belum lama diserang habis-habisan oleh Hulagu Khan).
Di sana ia bertemu Abu Sa'id, pemimpin terakhir Il-Khanate. Ibnu Batutah untuk sementara mengembara bersama rombongan penguasa, kemudian berbelok ke utara menuju Tabriz di Jalur Sutra. Kota ini merupakan gerbang menuju Mongol, yang merupakan pusat perdagangan penting.
Setelah perjalanan ini, Ibnu Batutah kembali ke Mekah untuk haji kedua, dan tinggal selama setahun sebelum kemudian menjalani pengembaraan kedua melalui Laut Merah dan pantai Afrika Timur. Persinggahan pertamanya adalah Aden, dengan tujuan untuk berniaga menuju Semenanjung Arab dari sekitar Samudera Indonesia. Akan tetapi, sebelum itu, ia memutuskan untuk melakukan petualangan terakhir dan mempersiapkan suatu perjalanan sepanjang pantai Afrika.
Menghabiskan sekitar seminggu di setiap daerah tujuannya, Ibnu Batutah berkunjung ke Ethiopia, Mogadishu, Mombasa, Zanzibar, Kilwa, dan beberapa daerah lainnya. Mengikuti perubahan arah angin, dia bersama kapal yang ditumpanginya kembali ke Arab selatan. Setelah menyelesaikan petualangannya, sebelum menetap, ia berkunjung ke Oman dan Selat Hormuz. Setelah selesai, ia berziarah ke Mekah lagi.
Setelah setahun di sana, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan di kesultanan Delhi. Untuk keperluan bahasa, dia mencari penterjemah di Anatolia. Kemudian di bawah kendali Turki Saljuk, ia bergabung dengan sebuah rombongan menuju India. Pelayaran laut dari Damaskus mendaratkannya di Alanya di pantai selatan Turki sekarang. Dari sini ia berkelana ke Konya dan Sinope di pantai Laut Hitam.
Setelah menyeberangi Laut Hitam, ia tiba di Kaffa, di Crimea, dan memasuki tanah Golden Horde. Dari sana ia membeli kereta dan bergabung dengan rombongan Ozbeg, Khan dari Golden Horde, dalam suatu perjalanan menuju Astrakhan di Sungai Volga.
SUMBER
BIOGRAFI SINGKAT PENGARANG
Spoiler for Mohammad Asad (Leopold Weiss):
Muhammad Asad atau Leopold Weiss (Lemberg, Austria-Hongaria, 1900 - Spanyol, 1992) adalah seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir Al Qur'an modern yakni The Message of the Qur'an.
Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, saat itu bagian dari Kekaisaran Austria-Hongaria(sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi (pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara. Pendidikan agama yang ia enyam selama masa kecil hingga mudanya menjadikan ia familiar dengan bahasa Aram, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum.
Pada usia 14 tahun ia lari dari rumah untuk bergabung dengan tentara Austria dalam Perang Dunia Pertama. Pada usia 19 tahun, ia meninggalkan studinya di bidang Filsafat dan Sejarah Seni, kemudian menjadi asisten perintis film, Dr. Murnau, dan genius di bidang teater, Max Reinhardt,di Berlin. Tahun 1922, ia menjadi reporter harian Frankfurter Zeitung (sebuah harian terkemuka di Jerman), dan kemudian menjadi korespondennya untuk negara Timur Dekat.
Tahun 1926, berkat kesan mendalam dari hasil pengembaraannya di negara-negara Islam Timur Tengah (terekam dalam salah satunya bukunya "Road to Mecca") ia memeluk Islam. Ia lantas mengatakan mengenai Islam :" Dalam pandangan saya, Islam terlihat seperti sebuah hasil arsitektur yang sempurna. Semua elemen didalamnya secara harmonis dalam saling melengkapi dan mendukung; tidak ada yang berlebihan dan tidak ada yang kurang; hasilnya adalah sebuah struktur dengan keseimbangan sempurna dan komposisi yang kuat." Ia mengembara dan menyaksikan dengan kepala sendiri beberapa pergerakan pembebasan yang muncul pada awal abad 20 untuk membebaskan daerah Islam dari kaum kolonial. Ia berkunjung ke India di mana ia berjumpa dan bekerjasama dengan Muhammad Iqbal, filsuf dan penyair yang menginspirasikan lahirnya negara Pakistan. Bahkan ia menjadi Duta Besar Pakistan pertama untuk PBB. Mendekati akhir hayatnya ia kemudian pindah ke Spanyol dan hidup disana bersama istri ke-empatnya Paola Hameeda Asad hingga wafatnya.
Asad menulis beberapa buku, salah satu yang terkenal adalah Road To Mecca, di mana ia menceritakan pengembaraannya dalam daerah Islam dan bagaimana ia kemudian memeluk Islam, juga beberapa pemikirannya tentang pergerakan Zionis. Ia juga menulis The Message of the Qur'an, terjemahan yang dia lengkapi dengan tafsir singkat berdasarkan pengetahuannya dalam bahasa arab klasik dan tafsir-tafsir klasik. Tafsir tersebut diakui sebagai salah satu terjemahan terbaik Al Qur'an dalam bahasa Inggris walaupun dikritik oleh beberapa aliran tradisional seperti Mu'tazilah. Ia juga menulis terjemahan dan komentar terhadap kitab Sahih Bukhari, salah satu kitab koleksi hadits terkemuka.
Mohammad Asad : Mengapa Kami Memilih Islam
Mohammad Asad Leopold Weiss dilahirkan di Livow, Austria pada tahun 1900. Pada umur 22 tahun, beliau mengunjungi Timur Tengah dan selanjutnya menjadi wartawan luar negeri dari harian "Frankfurter Zeitung" Setelah masuk Islam, beliau pergi dan bekerja di seluruh dunia Islam, dari mulai Afrika Utara sampai Afganistan di bagian Timur, dan setelah beberapa tahun mempelajari Islam, beliau telah menjadi seorang Muslim terpelajar yang terkemuka di abad kita sekarang. Dan setelah berdirinya negara Pakistan, beliau ditunjuk menjadi Director of the Department of Islamic Reconstruction di Punjab Barat, kemudian diangkat sebagai wakil Pakistan di PBB.
Pada tahun 1922 saya rneninggalkan tanah air saya Austria untuk melakukan perjalanan ke Afrika dan Asia, sebagai wartawan khusus untuk beberapa harian yang besar di Eropa. Sejak itu, hampir seluruh waktu saya habiskan di negeri-negeri Timur-Islam.
Perhatian saya terhadap bangsa-bangsa yang saya kunjungi itu mula-mula adalah sebagai orang luar saja. Saya melihat susunan masyarakat dan pandangan hidup yang pada dasarnya berbeda dengan susunan masyarakat dan pandangan hidup orang-orang Eropa, dan sejak pandangan pertama, dalam hati saya telah tumbuh rasa simpati terhadap pandangan hidup yang tenang, yang boleh saya katakan lebih bersifat kemanusiaan jika dibanding dengan cara hidup Eropa yang serba terburu-buru dan mekanistik. Rasa simpati ini secara perlahan-lahan telah menyebabkan timbulnya keinginan saya untuk menyelidiki sebab adanya perbedaan itu, dan saya menjadi tertarik dengan ajaran-ajaran keagamaan orang Islam. Dengan persoalan ini, saya belum merasa tertarik cukup kuat untuk memeluk agama Islam, akan tetapi telah cukup membuka mata saya terhadap suatu pemandangan baru mengenai masyarakat kemanusiaan yang progresif dan teratur, dengan mengandung hanya sedikit pertentangan, tapi dengan rasa persaudaraan yang sangat besar dan sunguh-sungguh, walaupun kenyataan hidup orang-orang Islam sekarang masih jauh berbeda dengan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diberikan oleh ajaran-ajaran Islam.
Apa saja yang dalam ajaran Islam merupakan gerak dan maju, di kalangan orang Islam telah berubah menjadi kemalasan dan kemandegan. Apa saja yang dalam ajaran Islam merupakan kemurahan hati dan kesiapan berkorban, di kalangan muslimin sekarang telah berubah menjadi kesempitan berpikir dan senang kepada kehidupan yang mudah, sehingga saya benar-benar bingung memikirkannya, keadaan yang sangat bertentangan antara kaum muslimin dahulu dan kaum muslimin yang sekarang.
Hal inilah yang telah mendorong saya untuk lebih mencurahkan perhatian terhadap persoalan yang rumit ini. Lalu saya mencoba menggambarkan seolah-olah saya sungguh-sungguh merupakan salah seorang anggota masyarakat Islam. Hal itu merupakan percobaan ilmiah murni yang telah memberikan kepada saya dalam waktu yang singkat tentang pemecahannya yang tepat.
Saya telah dapat membuktikan bahwa satu-satunya sebab kemunduran sosial dan budaya kaum Muslimin sekarang ialah karena mereka secara berangsur-angsur telah meninggalkan semangat ajaran Islam. Islam masih tetap ada, tapi hanya merupakan badan tanpa jiwa. Unsur utama yang dahulu pernah tegak berdiri sebagai penguat dunia Islam, sekarang justru menjadi sebab kelemahannya. Masyarakat Islam sejak mulai berdirinya telah dibina atas dasar keagamaan saja, dan kelemahan dasar ini tentu saja melemahkan struktur kebudayaan, bahkan mungkin merupakan ancaman terhadap kehancurannya sendiri pada akhirnya.
Semakin saya mengerti bagaimana ketegasan dan kesesuaian ajaran Islam dengan praktek, semakin menjadi-jadilah pertanyaan saya, mengapa orang-orang Islam telah tidak mau menerapkannya dalam kehidupan yang nyata? Tentang ini saya telah bertukar pikiran dengan banyak ahli pikir kaum Muslimin di seluruh negara yang terbentang antara gurun Libia dan pegunungan Parmir di Asia tengah, dan antara Bosporus sampai laut Arab. Suatu soal yang hampir selalu menguasai pikiran saya melebihi pemikiran tentang lain-lain kepentingan dunia Islam. Soal ini tetap menjadi titik berat perhatian saya, sampai akhirnya saya, seorang yang bukan Muslim, berbicara terhadap orang-orang Islam sebagai pembela agama Islam sendiri menghadapi kelalaian dan kemalasan mereka.
Perkembangan ini tidak terasa oleh saya, sampai pada suatu hari musim gugur tahun 1925 di pegunungan Afganistan, seorang Gubernur yang masih muda berkata kepada saya: "Tapi Tuan adalah seorang Muslim, hanya Tuan sendiri tidak menyadarinya." Saya sangat kaget dengan kata-katanya itu dan secara diam-diam saya terus memikirkannya. Sewaktu saya kembali ke Eropa pada tahun 1926, saya pikir satu-satunya konsekwensi logis dari pendirian saya ialah saya harus memeluk agama Islam. Hal itulah yang telah menyebabkan saya menyatakan ke-Islam-an saya, dan sejak itu pulalah datang bertubi-tubi pertanyaan-pertanyaan yang berbunyi: "Mengapa engkau memeluk Islam? Apanya yang telah rnenarik engkau?"
Menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam itu saya akui bahwa saya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan selain keterangan bahwa tidak ada satu ajaran tertentu dalam Islam yang telah merebut hati saya, sebab Islam itu adalah satu keseluruhan yang mengagumkan; satu struktur yang tidak bisa dipisah-pisahkan tentang ajaran moral dan program praktek hidup. Saya tidak bisa mengatakan bagian manakah yang lebih nnenarik perhatian saya.
Dalam pandangan saya, Islam itu adalah laksana sebuah bangunan yang sempurna segala-galanya. Semua bagiannya, satu sama lain merupakan pelengkap dan penguat yang harmonis, tidak ada yang berlebih dan tidak ada yang kurang, sehingga merupakan satu keseimbangan yang mutlak sempurna dan perpaduan yang kuat.
Mungkin kesan saya bahwa segala sesuatu dalam ajaran Islam dan teori-teorinya itu tepat dan sesuai, telah menciptakan kekaguman yang amat kuat pada diri saya. Mungkin memang demikian, mungkin pula ada kesan-kesan lain yang sekarang sulit bagi saya menerangkannya. Akan tetapi bagamanapun juga hal itu adalah merupakan bahan kecintaan saya kepada agama ini, dan kecintaan itu merupakan perpaduan dari berbagai macam sebab; bisa merupakan perpaduan antara keinginan dan kesepian, bisa merupakan perpaduan antara tujuan yang luhur dan kekurangan, dan bisa merupakan perpaduan antara kekuatan dan kelemahan.
Demikianlah Islam telah masuk ke dalam lubuk hati saya, laksana seorang pencuri yang memasuki rumah di tengah malam. Hanya saja Islam telah masuk untuk terus menetap selama-lamanya, tidak seperti seorang pencuri yang masuk rumah untuk kemudian dengan tergesa-gesa keluar lagi. Sejak itu saya telah bersungguh-sungguh mempelajari apa yang dapat saya pelajari tentang Islam. Saya telah mempelajari Al-Qur'an dan Sunnah Rasul s.a.w. Saya pelajari bahasa agama Islam berikut sejarahnya, dan saya pelajari sebahagian besar buku-buku/tulisan-tulisan mengenai ajaran Islam dan juga buku-buku/tulisan-tulisan yang menentangnya. Semua itu saya lakukan dalam waktu lebih dari lima tahun di Hejaz dan Najed, dan lebih banyak lagi di Madinah, sehingga saya bisa mengalami sesuatu dalam lingkungan yang orisinal, di mana agama ini dikembangkan untuk pertama kalinya oleh Nabi yang berbangsa Arab. Sedangkan Hejaz merupakan titik pertemuan kaum Muslimin dari berbagai negara, dimana saya dapat membandingkan beberapa pandangan keagamaan dan kemasyarakatan yang berbeda-beda yang menguasai dunia Islam sekarang.
Semua pelajaran dan perbandingan itu telah menanamkan kepuasan dalam hati saya, bahwa Islam sebagai satu keajaiban rohani dan sosial masih tetap tegak, walaupun ada kemunduran-kemunduran yang ditimbulkan oleh kekurangan-kekurangan kaum Muslimin sendiri. Sebegitu jauh Islam masih tetap merupakan kekuatan terbesar yang pernah dikenal ummat manusia. Dan sejak waktu itu perhatian saya tumpahkan untuk mengembalikan agama ini kepada kejayaannya semula.
Sumber:
Wikipedia
swaramuslim
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1398584
Tidak ada komentar:
Posting Komentar