Seorang jamaah haji Indonesia menitikan air mata ketika berdoa usai melontar jumroh Nafar Awal di Jamarat, Mekkah, Arab Saudi, Kamis (18/11).
REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH--Akibat cerita hal-hal buruk, membuat banyak orang takut berangkat ke Tanah Suci. "Ada teman yang mengakui dirinya sebagai istri yang bawel terhadap suami. Karenanya, ia mengaku tak berani ke Tanah Suci, takut ditampar malaikat karena kebawelannya itu," ujar Mulyadi, jamaah asal Semarang yang tergabung di kloter 66 Surakarta.
Mulyadi mengaku hanya pensiunan pegawai rendahan. Ia pensiun tiga tahun lalu dengan golongan terakhir IIB. "Dalam ibadah haji, tak ada itu sebenarnya istilah panggilan.Yang penting adalah niat karena Allah," ujar dia.
Untuk bisa berangkat haji, Mulyadi mengaku harus menunggu berpuluh tahun hingga tabungannya mencukupi. Ia menabung mulai dari Rp 1.000, ketika masih menjadi pegawai negeri dengan golangan I. Semua itu ia lakukan karena niat berhaji.
Mulyadi menyebut ada temannya yang kaya, tapi belum berani berangkat ke Tanah Suci dengan alasan belum mendapat panggilan. "Panggilan itu hanya untuk dua hal. Panggilan untuk shalat dan panggilan meninggal. Kalau berangkat haji itu urusan niat, niat karena Allah," ujar Mulyadi.
Karena niat itu, Mulyadi yang pensiunan golongan IIB itu bertahun-tahun menabung. "Mulai dari nabung hanya Rp 1.000," ujar Mulyadi, petugas kebersihan di Dinas Pengairan di Semarang. Tahun ini ia bisa berangkat setelah tiga tahun pensiun. Teman-temannya yang kya itu bersedia menyokong dana untuk uang saku Mulyadi selama di Tanah Suci.
Dengan meluruskan niat, Mulyadi bersyukur akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci. Butuh keikhlasan dan kerendahhatian untuk bisa melaksanakan ibadah haji dengan melampaui dunia apa pun dalam diri. Hasrat kepada materi harus disingkirkan. Dimatikan.
Karena dunia yang belum dimatikan di dalam dirinya, seorang jamaah dari Banten, setiap tawaf selalu melambaikan tangan ke Kabah dengan ucapan, "Hai Kabah." Di putaran terakhir tawaf ia melambaikan tangan ke Kabah dengan mengucap, "Selamat tinggal Kabah."
Pulang ke Tanah Air ia berjanji akan menceritakan kisah-kisah baik tentang perjalanan hajinya. Hal-hal buruk adalah masalah pribadi dengan Sang Khalik. Ia mencoba ingin memenuhi nasihat gurunya, tentang hal itu.
Ia mencoba menjadi jamaah yang memakai hati dan akal dalam melihat sesuatu. "Tak ada itu malaikat diperintah Allah untuk menampar jamaah," kata dia. "Tak ada itu istilah panggilan untuk berhaji. Yang perlu niat. Panggilan hanya untuk dua hal, panggilan untuk shalat dan panggilan untuk mati," ujar dia.
Maka, saran dia, ketika kita berangkat ke Tanah Suci, hendaknya lupakan kehidupan masa lalu. Kita telah membuka lembar baru, memperbaiki hubungan dengan Allah.
Mulyadi mengaku hanya pensiunan pegawai rendahan. Ia pensiun tiga tahun lalu dengan golongan terakhir IIB. "Dalam ibadah haji, tak ada itu sebenarnya istilah panggilan.Yang penting adalah niat karena Allah," ujar dia.
Untuk bisa berangkat haji, Mulyadi mengaku harus menunggu berpuluh tahun hingga tabungannya mencukupi. Ia menabung mulai dari Rp 1.000, ketika masih menjadi pegawai negeri dengan golangan I. Semua itu ia lakukan karena niat berhaji.
Mulyadi menyebut ada temannya yang kaya, tapi belum berani berangkat ke Tanah Suci dengan alasan belum mendapat panggilan. "Panggilan itu hanya untuk dua hal. Panggilan untuk shalat dan panggilan meninggal. Kalau berangkat haji itu urusan niat, niat karena Allah," ujar Mulyadi.
Karena niat itu, Mulyadi yang pensiunan golongan IIB itu bertahun-tahun menabung. "Mulai dari nabung hanya Rp 1.000," ujar Mulyadi, petugas kebersihan di Dinas Pengairan di Semarang. Tahun ini ia bisa berangkat setelah tiga tahun pensiun. Teman-temannya yang kya itu bersedia menyokong dana untuk uang saku Mulyadi selama di Tanah Suci.
Dengan meluruskan niat, Mulyadi bersyukur akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci. Butuh keikhlasan dan kerendahhatian untuk bisa melaksanakan ibadah haji dengan melampaui dunia apa pun dalam diri. Hasrat kepada materi harus disingkirkan. Dimatikan.
Karena dunia yang belum dimatikan di dalam dirinya, seorang jamaah dari Banten, setiap tawaf selalu melambaikan tangan ke Kabah dengan ucapan, "Hai Kabah." Di putaran terakhir tawaf ia melambaikan tangan ke Kabah dengan mengucap, "Selamat tinggal Kabah."
Pulang ke Tanah Air ia berjanji akan menceritakan kisah-kisah baik tentang perjalanan hajinya. Hal-hal buruk adalah masalah pribadi dengan Sang Khalik. Ia mencoba ingin memenuhi nasihat gurunya, tentang hal itu.
Ia mencoba menjadi jamaah yang memakai hati dan akal dalam melihat sesuatu. "Tak ada itu malaikat diperintah Allah untuk menampar jamaah," kata dia. "Tak ada itu istilah panggilan untuk berhaji. Yang perlu niat. Panggilan hanya untuk dua hal, panggilan untuk shalat dan panggilan untuk mati," ujar dia.
Maka, saran dia, ketika kita berangkat ke Tanah Suci, hendaknya lupakan kehidupan masa lalu. Kita telah membuka lembar baru, memperbaiki hubungan dengan Allah.
Red: Siwi Tri Puji B
Rep: Priyantono Oemar dari Makkah
Rep: Priyantono Oemar dari Makkah
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/umroh-haji/10/11/30/149732-bermodal-tekad-kuat-pensiunan-pns-golongan-ii-b-pun-bisa-berhaji