Kamis, 29 April 2010

Kaidah Menggapai Kejujuran

Kaidah  Menggapai Kejujuran
ilustrasi

Oleh Muhammad Sulthoni Yusuf MA

Kejujuran menempati kedudukan istimewa dalam ajaran Islam, karena ia merupakan penopang jalan kebaikan bagi manusia. Menurut Al-Qusyairi, kejujuran menempati kedudukan setingkat di bawah kenabian, sebagaimana firman Allah SWT, ''Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dan orang-orang yang menetapi kebenaran.'' (QS An-Nisa [4]: 69).

Alquran memuji orang-orang yang jujur lebih dari lima puluh kali. Salah satunya yang termaktub dalam surah al-Ahzab [33] ayat 24, ''Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang-orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.''

Kejujuran yang bagaimanakah yang dimaksud oleh Alquran itu? Salah satu cirinya adalah jika batin seseorang serasi dengan perbuatan lahirnya. Sebagaimana diriwayatkan Abu Qilabah bahwa Umar bin Khathab RA melarang umat Islam menilai dan melihat puasa atau shalat seseorang, tetapi hendaknya melihat kejujuran ucapan seseorang jika ia berbicara, amanahnya jika ia diberi tanggung jawab, dan kemampuannya meninggalkan apa pun yang meragukan jika mendapat kenikmatan dunia.

Sementara itu, Al-Junayd menyatakan bahwa inti kejujuran adalah jika seseorang berkata benar dalam situasi-situasi di mana hanya dusta yang bisa menyelamatkannya. Pernyataan senada juga diutarakan Imam Thabari. Ia menekankan pentingya seseorang berkata dan berbuat jujur dalam kehidupan sehari-hari, walaupun kejujuran itu akan membunuh atau membinasakannya.

Contoh ideal dalam hal ini tentunya Rasulullah SAW. Kejujuran beliau yang mencerminkan ketinggian akhlak dipuji oleh Alquran, ''Dan engkau sungguh mempunyai akhlak yang agung.'' (QS al-Qalam [68]: 4). Berlaku jujur sama halnya membangun keluhuran moral dan mental untuk menciptakan suasana sosial yang lebih harmonis dan tenteram.

Oleh karena itu, kejujuran mesti tertanam dalam jiwa semua orang yang beriman. Berkata bohong, berkomentar kontroversial, justru akan menyebabkan fitnah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selayaknyalah kita sama-sama menjaga kebersamaan dengan menjunjung tinggi kejujuran demi terciptanya bangsa yang bermartabat.


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/01/109190-kaidah-menggapai-kejujuran

Manusia yang Menyukai Neraka

Manusia  yang Menyukai Neraka
ilustrasi

Oleh: Prof Dr Ali Mustafa Yaqub

Ketua sebuah pengajian meminta maaf kepada penceramah karena jamaah yang hadir dalam pengajian tersebut tidak banyak. Ia semula mengharapkan agar jamaah yang datang dapat mencapai ribuan orang, tetapi ternyata hanya ratusan orang. Ia khawatir apabila penceramah kecewa dengan jumlah yang sedikit itu.

Apa komentar penceramah tersebut? Ia justru bersyukur dan tidak merasa kecewa. Katanya, ''Memang calon penghuni surga itu jumlahnya lebih sedikit dibandingkan calon penghuni neraka.'' Ia pernah membaca koran bahwa di Ancol diadakan pagelaran maksiat. Yang hadir dalam pesta kemungkaran itu mencapai 700 ribu orang. Kendati pesta itu dimulai jam delapan malam, pengunjung sudah mulai datang sejak jam satu siang.

Penceramah kemudian bertanya kepada para hadirin, ''Apakah ada pengajian yang dihadiri oleh 700 ribu orang?'' Hadirin pun serentak menjawab, ''Tidak ada.'' Ia kemudian bertanya lagi, ''Apakah ada pengajian yang dimulai jam delapan malam, tetapi jamaahnya sudah datang jam satu siang?'' Hadirin kembali serentak menjawab, ''Tidak ada.'' Penceramah kemudian berkata, ''Itulah maksiat, dan inilah pengajian. Kalau ada pengajian dihadiri oleh ratusan ribu orang, boleh jadi pengajian itu bermasalah.''

Ia juga mencontohkan dakwah Nabi Nuh AS. Beliau berdakwah selama hampir seribu tahun, tetapi pengikut beliau hanya 40 orang. ''Karena itu, kalau yang datang di pengajian ini mencapai ratusan orang, itu sungguh sudah bagus. Dan, begitulah calon-calon penghuni surga,'' tambahnya.

Lebih jauh, ustaz yang masih muda itu menyampaikan sebuah hadis tentang apa yang akan terjadi pada hari kiamat. Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa nanti pada hari kiamat, Nabi Adam AS akan dipanggil oleh Allah SWT. Beliau diperintahkan oleh Allah SWT untuk memisahkan anak-cucunya, mana yang akan masuk surga dan mana yang akan masuk neraka. ''Ternyata,'' kata Nabi Muhammad SAW selanjutnya, ''Dari seribu anak-cucu Adam, 999 (sembilan ratus sembilan puluh sembilan) masuk neraka, dan hanya satu yang masuk surga.''

Ia kemudian mengajak jamaah untuk mengamati perilaku manusia setiap hari. ''Coba kita amati kehidupan manusia sehari-hari. Kita lihat mereka di pasar, pusat perbelanjaan modern atau mal, televisi, dan di mana saja. Ternyata lebih banyak yang senang bermaksiat daripada yang taat kepada Allah SWT. Orang bohong, penipu, ada di mana-mana, sementara yang shalat di masjid sepi-sepi saja. Ternyata manusia itu lebih menyukai neraka daripada surga.''


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/02/109330-manusia-yang-menyukai-neraka

Puncak Pengabdian Seorang Hamba

Puncak  Pengabdian Seorang Hamba
ilustrasi

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Kata mujahadah tidak lebih populer daripada kata jihad atau ijtihad. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ijtihad lebih utama daripada jihad. Rasulullah SAW bersabda, ''Goresan tinta para ulama lebih utama daripada tumpahan darah para syuhada.''

Namun, masih ada yang lebih utama dari ijtihad, yakni mujahadah. Mujahadah ialah perjuangan yang mengandalkan unsur batin atau kalbu. Seusai sebuah peperangan yang amat dahsyat, Rasulullah SAW menyampaikan kepada para sahabatnya, ''Kita baru saja pulang dari peperangan yang kecil ke peperangan yang lebih besar.''

Lalu beliau menjelaskan bahwa peperangan terbesar ialah melawan diri sendiri, yakni melawan hawa nafsu. Dalam buku Ihya Ulum al-Din, Imam Al-Gazali mengungkapkan, mujahadah satu jam lebih utama daripada beribadah (formalitas) setahun. Ini artinya, mujahadah merupakan puncak pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya.

Jihad, ijtihad, dan mujahadah, berasal dari satu akar kata yang sama, yaitu jahada yang berarti bersungguh-sungguh. Jihad adalah perjuangan sungguh-sungguh secara fisik; ijtihad perjuangan sungguh-sungguh melalui pikiran dan logika; dan mujahadah merupakan perjuangan sungguh-sungguh melalui kalbu. Bagi masyarakat awam, jihad itulah ibadah yang paling tinggi. Namun dalam perspektif tasawuf, mujahadah menempati posisi yang lebih utama.

Mujahadah bisa mengantar manusia meraih predikat tertinggi sebagai manusia paripurna (insan kamil). Dan ia merupakan kelanjutan dari jihad dan ijtihad. Seseorang yang mendambakan kualitas hidup paripurna tidak bisa hanya mengandalkan salah satu dari ketiga perjuangan tadi. Tetapi, ketiganya harus sinergi di dalam diri.

Rasulullah SAW adalah contoh yang sempurna. Beliau dikenal sangat terampil dalam perjuangan fisik. Hal itu terbukti dengan keterlibatannya dalam beberapa peperangan. Dan beliau sendiri tampil sebagai panglima perang. Beliau juga seorang yang cerdas pikirannya, dan panjang tahajudnya.

Dalam konteks kekinian, komposisi ketiga unsur perjuangan di atas sebaiknya diatur sesuai dengan kapasitas setiap orang. Hal ini bertujuan untuk mewujudkan masyarakat Muslim terbaik (khaira ummah).

Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik, maka jihad fisik baginya adalah perjuangan yang tepat. Bagi seorang ulama, jihad paling utama baginya ialah menulis secara produktif untuk mencerahkan dan mencerdaskan umat. Namun, untuk mujahadah, sesungguhnya dapat diakses setiap orang dari golongan manapun. Mari memopulerkan mujahadah di samping jihad dan ijtihad dalam masyarakat.


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/04/109394-puncak-pengabdian-seorang-hamba

Gambaran Manajemen Syukur Nikmat

Gambaran  Manajemen Syukur Nikmat
ilustrasi

Oleh : Ustaz Hilmi Aminuddin

''Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan ingkar kepada Allah dan menjatuhkan kaumnya ke negeri kebinasaan?'' (QS Ibrahim: 28).

Setiap anak bangsa, terutama para dai, semestinya menjunjung tinggi idealisme dan cita-cita bagi perbaikan negeri Indonesia ini dengan sesuatu yang bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Kenyataannya, hampir setiap hari, kita disuguhkan dengan peristiwa-peristiwa yang mencoreng negeri ini.

Pertunjukan drama abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan), yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan para penegak hukum, sangat menyesakkan dada. Mulai dari kriminalisasi KPK, kasus Century, makelar kasus dalam penggelapan pajak yang melibatkan aparat penegak hukum, hingga tertangkapnya sejumlah pengacara dan hakim PTUN oleh KPK.

Bangsa ini benar-benar tertinggal dalam persaingan dunia, bahkan oleh negara tetangganya. Kondisi negeri ini sangat memprihatinkan, menghinakan, dan menjadi bahan tertawaan negara-negara tetangga karena korupsi dan kemiskinan.

Kenyataan tersebut seakan mencerminkan firman Allah dalam QS 14:28 di atas, yakni negeri yang terancam menjadi daarul bawaar (negeri yang binasa) karena kesalahan dalam manajemen nikmat (baddallu ni'matallahi kufran).

Bila tak ingin negeri ini menjadi daarul bawar , terpuruk dalam kebinasaan, para dai sebagai kekuatan moral (force of power) harus memiliki peran konstruktif dan mengoreksi langkah-langkah salah para pemimpin negeri ini, temasuk para penegak hukumnya.

Tugas para dai adalah mengajak segenap anak negeri untuk melakukan harakatul inqadz

Rasulullah mengingatkan para dai agar memberikan peringatan kepada para pemimpin yang berada di pusat-pusat kedaulatan, kekuasaan, regulasi, serta perubahan agar rahmatan lil alamin menyebar lebih cepat. Karena, konsep perubahan tidak bisa dilepaskan dari upaya membuka kunci-kunci keberkahan dari Allah SWT untuk membawa masyarakat negeri ini ke arah yang lebih baik. (QS 7:96).

Jika para pemimpin negeri ini yang memiliki tanggung jawab mau bergerak dengan alur kehendak Allah, dukungan-Nya dalam segala aspek pasti akan datang. Selama ini, manajemen kufur nikmat yang dilakukan, telah menyebabkan kekayaan negeri ini digerogoti bangsa lain juga para pemimpinnya yang khianat.

Akibatnya, bangsa ini tidak memiliki izzah karena mengemis dan mengharap belas kasihan bangsa lain untuk mendapatkan kredit atau hibah. Padahal, bila bangsa ini makin bersyukur (QS 14:7), Allah akan melipatgandakan potensi nikmat bagi rakyatnya sehingga dapat menyebarkan kebajikan bagi bangsa lain di muka bumi.
(gerakan penyelamatan), dengan langkah awalnya adalah melakukan perubahan dalam memperlakukan nikmat Allah.



http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/07/109865-gambaran-manajemen-syukur-nikmat

Air Mata yang Diberkahi

Air Mata  yang Diberkahi
ilustrasi

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Air mata yang menitik pelan melintasi kedua pipi kita ternyata tidak semata buliran air yang keluar dari kelopak mata, tapi ada rembesan makna yang penuh hikmah di mata Allah SWT. Bahkan, keluarnya air mata akan menjadi penyebab hidup seseorang dalam keberkahan.

Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah SAW pernah menyampaikan bahwa ada dua tetesan (qatrataani) yang dibanggakan dan kelak akan menjadi saksi di Hari Pengadilan, yaitu tetesan darah syuhada yang wafat karena menegakkan agama Allah dan tetesan air mata karena bertobat. Dalam kesempatan ini, kita akan mengenali ternyata ada banyak air mata yang dapat mengundang keberkahan.

Pertama , air mata karena rasa cinta, takut, dan rindu kepada Allah. Air mata ini keluar disebabkan bercampurnya rasa haru dan bahagia karena telah mampu menemukan makna hakikat cinta sekaligus takut kepada Sang Khalik.

Kedua , kerinduan yang mendalam terhadap Rasulullah SAW, keluarga, dan para sahabat Radiyallahu Anhum . Seseorang yang larut dan terbuai saat bersenandung shalawat, karena berharap dikunjungi Rasulullah SAW dalam setiap mimpinya dan rindu dengan syafaatnya, kemudian air mata menetes maka sungguh air mata ini adalah air mata yang diberkahi. Pada saatnya nanti, air indera penglihatan ini akan ikut bersaksi di hadapan Allah SWT bahwa orang ini adalah benar umat Rasulullah SAW.

Ketiga , air mata bahagia karena bisa menunjukkan baktinya kepada orang tua. Saat mengenang dan menatap wajah orang tua, lalu menyeruak aura kebahagiaan, kemudian tidak terasa membulir air mata maka air mata ini akan turut berbicara, bahkan menjadi saksi di hadapan Allah SWT. Paling tidak, orang ini tercatat sebagai anak berbakti yang mendapatkan rida dari orang tua.

Keempat , air mata tobat, yaitu karena ingat akan dosa-dosa yang telah diperbuat. Baik teringat dengan dosa syirik, membunuh, zina, korupsi, atau ingat kepada orang-orang yang pernah disakiti. Seseorang yang menyesali semua perbuatannya ini lalu berdoa dan mengiba agar diampuni, kemudian dia menangis sejadi-jadinya maka insya Allah air matanya ini termasuk air mata yang diberkahi.

Kelima , air mata karena iba dan keprihatinan. Saat mendengar, melihat, dan menyaksikan mereka yang papa, seperti anak yatim yang ditinggal orang tua yang tak berpunya, orang-orang miskin yang berjuang untuk bertahan hidup, atau orang tua jompo yang ditelantarkan di jalanan oleh anak dan keluarganya, kemudian membuat terenyuh dan menitikkan air mata, insya Allah air mata ini adalah air mata yang diberkahi.

Terakhir, air mata yang diberkahi adalah air mata karena bahagia bisa khusyuk beribadah. Juga, haru dan senang karena bisa berkumpul dengan orang-orang saleh di majelis ilmu dan zikir. Wa Allahu A'lam.


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/11/110542-air-mata-yang-diberkahi

Rahasia untuk Jaya di Usia Senja

Rahasia  untuk Jaya di Usia Senja
ilustrasi

Oleh Wiyanto Suud

Orang yang lanjut usia sering kali dianggap beban bagi keluarga daripada tumpuan. Kita juga sering mendengar dan menyaksikan, baik dari media cetak maupun elektronik --bahkan dalam kehidupan sehari-hari-- ulah dan kenakalan para lansia. Semakin tua, semakin buruk perangainya. Padahal, bagi mereka itu telah banyak kenikmatan yang dikurangi oleh Allah SWT.

Syahdan, suatu ketika Ma'an bin Zaidah mendatangi Al-Makmun. Al-Makmun bertanya, "Bagaimana keadaanmu di usia tua renta ini?" Ia menjawab, "Aku bisa jatuh hanya karena tersandung kotoran unta, dan cukup diikat hanya dengan sehelai rambut."

Al-Makmun bertanya lagi, "Bagaimana tanggapanmu terhadap makanan, minuman, dan tidurmu?" Ia menjawab, "Bila lapar, aku marah; dan bila makan, aku merasa jengkel; bila berada di antara orang-orang, aku mengantuk; dan bila di atas kasur, aku terjaga."

"Bagaimana pendapatmu tentang para wanita?" Ia menjawab, "Kalau wanita yang buruk rupa, aku tidak menginginkan mereka; sedangkan para wanita yang cantik, mereka tidak menginginkanku." Al-Makmun berkata, "Kalau begitu, tidak pantas orang sepertimu dianggap muda."

Sungguh amat keterlaluan bagi orang-orang yang sudah lanjut usia, tapi masih juga melakukan maksiat. Rasulullah SAW bersabda, "Allah SWT tidak akan menerima dalih seseorang sesudah Dia memanjangkan usianya hingga 60 tahun." (HR Bukhari).

Oleh karena itu, Allah memberi pujian kepada mereka yang berusia senja, tapi masih tetap menjaga keimanannya. Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah menyampaikan firman Allah SWT, "Demi kemuliaan-Ku, keagungan-Ku, dan kebutuhan hamba-Ku kepada-Ku, sesungguhnya Aku merasa malu menyiksa hamba-Ku, baik laki-laki maupun perempuan, yang telah beruban karena tua dalam keadaan Muslim."

Tua dalam keadaan Muslim yang dimaksud dalam hadis Qudsi di atas adalah orang yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya. Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik orang di antara kalian ialah yang panjang umurnya dan baik pula amalannya." (HR Tirmidzi).

Dengan demikian, kebahagiaan di akhirat harus dicapai dengan bekal pahala yang banyak dari amal saleh yang sebanyak-banyaknya. Rasulullah telah memberikan resep tentang amal yang pahalanya akan terus mengalir meskipun kita sudah meninggal dunia.

Rasul SAW bersabda, "Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang senantiasa mendoakan orang tuanya." (HR Muslim). Inilah rahasia keberkahan usia yang terus bertambah, dan tetap mengalir pahala kebaikannya. Ibarat sebuah aset, kita tinggal menikmati keuntungan dan kejayaan kita.


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/15/111249-rahasia-untuk-jaya-di-usia-senja

Menajamkan Naluri Kasih Sayang

Menajamkan Naluri Kasih Sayang
ilustrasi

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Peristiwa bentrokan berdarah yang terjadi antara sebagian masyarakat dengan anggota Satpol PP di Koja Tanjung Priok Rabu (14/4) lalu merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Betapa tidak, setiap kelompok yang terlibat berlomba-lomba mencederai lawannya, tanpa sedikit pun terlihat rasa malu dan belas kasihan. Sebaliknya, justru tampak amarah dan kebencian yang sangat mendalam. Padahal, rakyat negeri ini merupakan masyarakat religius dan mayoritas beragama Islam.

Inti ajaran Islam adalah menebarkan kedamaian dan kasih sayang. Rasulullah SAW menyatakan, salah satu kunci untuk masuk ke dalam surga adalah menebarkan salam (kedamaian dan keselamatan). Dari Ibn Thabari dari Ibn Umar, Rasul SAW bersabda, ''Seutama-utamanya keimanan dan keislaman seseorang adalah apabila Muslim yang lain terselamatkan dari caci-maki lisannya dan kekerasan serta kekasaran tangannya.''

Rasulullah SAW juga menyatakan, kalau kita ingin meraih kasih sayang Allah SWT dan para malaikat-Nya, maka tebarkan kasih sayang dan kecintaan kepada seluruh umat manusia dan makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini (irhamu man fil ardi, yarhamkum man fissamaa`).

Dari keterangan tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa tidak ada iman, Islam, dan agama tanpa menebarkan kasih sayang, cinta dan kedamaian kepada sesama. Karena itu, upaya untuk menajamkan naluri kasih sayang dan kecintaan ini harus dilakukan terus-menerus. Pertama, komunikasi, dialog, dan musyawarah harus menjadi acuan utama dalam memecahkan berbagai macam persoalan, sehingga tidak terjadi miskomunikasi antarberbagai pihak yang sedang memiliki masalah.

Rasul SAW menyatakan, ''Tidak akan merugi orang suka istikharah (meminta yang terbaik kepada Allah SWT) dan tidak akan pernah bersedih orang yang mengedepankan musyawarah.'' Kedua, Penyelesaian dilakukan secara adil (islah) atas dasar hukum dan undang-undang yang berlaku yang disertai dengan petunjuk dari Alquran dan sunah Rasul SAW (lihat QS Al-Hujurat: 8-9).

Ketiga, jauhkan sikap arogansi kekuasaan dan fanatisme kelompok yang melahirkan kekerasan tanpa dilandasi pemikiran-pemikiran yang jernih dan rasional. Keempat, semua pihak yang bersengketa harus mengedepankan kejujuran dan keadilan dalam menyelesaikan berbagai macam masalah.

Di samping itu, bimbingan dan suri teladan dari para pejabat, para tokoh, dan pemimpin umat menjadi suatu keharusan, sekaligus suatu keniscayaan. Mudah-mudahan tragedi kemanusiaan seperti di Koja, Tanjung Priok, tidak akan berulang kembali dalam sejarah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang religius. Wa Allahu a'lam.



http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/21/112178-menajamkan-naluri-kasih-sayang

Sembilan Langkah Menjadi Pemimpin Orang Beriman

Sembilan  Langkah Menjadi Pemimpin Orang Beriman
ilustrasi

Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham

Menjadi pemimpin bukan semata-mata kemenangan karena terpilih, tapi lebih dari itu, sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Banyak hal yang harus diejawantah sebagai pemimpin orang beriman.

Pertama, teladan dalam ketakwaan dan paham kitabullah dan sunah (QS 65: 2). Sangat sulit disebut pemimpin jika tidak ada keteladanan dalam pencarian ridha Allah. Abu Bakar ash-Shiddiq menyeru ketika dilantik jadi khalifah, ''Jika kepemimpinanku benar menurut Alquran dan as-sunnah , maka ikuti aku. Tapi jika salah, tinggalkan aku.''

Kedua, wara' (berhati-hati dengan hukum Allah) dan istikamah. Tidak ada niat melabrak hukum Allah, bahkan konsisten dengan keimanan dan istikamah di jalan-Nya. (QS 41: 30-33).

Ketiga, sehat, kuat, cerdas, dan visioner. Seorang pemimpin harus punya visi dalam membangun dan menyejahterakan rakyat (QS 59: 18). Karena itu, daya tunjang kesehatan, fisik yang kuat dan kemampuan mengeksplorasi kecerdasan menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. (QS 2: 247).

Keempat, ahli ibadah, zikir, tadabbur Quran, berjamaah di masjid, puasa sunah, dan ahli tahajjud. Memimpin butuh efektivitas dan kearifan. Hal ini akan didapatkan jika pemimpin itu ahli ibadah, gemar berzikir, suka membaca Alquran, kaki dibawa ke masjid, berlapar-lapar dengan puasa sunah, serta mau menyingkap selimut di waktu malam untuk bertahajud menghadap Allah. (QS 17: 79).

Kelima, tsiqah (bisa dipercaya), adil, jujur, amanah, tepat janji, tegas, dan berani. ''Sesungguhnya Allah memerintahkanmu memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Jika hendak menetapkan hukum di antara manusia, berilah hukuman dengan adil ....'' (QS 4: 58).

Keenam, rendah hati, merakyat, tulus mencintai rakyatnya, serta dekat dengan anak yatim piatu dan fakir miskin (QS 4: 10). ''Hendaklah rendahkan hatimu kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu ....'' (QS 26: 215).

Ketujuh, jabatan menjadi washilah dakwah (QS 41: 34). Kedudukannya sebagai pemimpin bukan sebagai kehormatan, tetapi untuk kepentingan dakwah, yaitu mengajak umat dan rakyat makin dekat dengan Allah.

Kedelapan, sangat mendengar nasihat ulama, siap dikritik, terus belajar, dan tidak mudah tersinggung apalagi marah (QS 11: 88).

Terakhir, selalu berdoa untuk rakyatnya disertai tawakkal yang kuat. Indah sekali jika ada pemimpin, di siang hari ia berjibaku melayani rakyat, sedangkan malamnya ia tahajjud lalu mengangkat tangan dan berserah diri kepada-Nya. ''Maka jika kamu telah bertekad mengerjakan sesuatu (setelah berusaha) maka serahkan kepada Allah ....'' (QS 3: 159). Wa Allahu a'lam.


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/23/112568-sembilan-langkah-menjadi-pemimpin-orang-beriman

Jadilah Kitab Walau Tanpa Judul

Jadilah  Kitab Walau Tanpa Judul
ilustrasi

KH Hilmi Aminuddin

Kun kitaaban mufiidan bila 'unwaanan, wa laa takun 'unwaanan bila kitaaban. Jadilah kitab yang bermanfaat walaupun tanpa judul. Namun, jangan menjadi judul tanpa kitab.

Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.

Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki "judul", baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.

Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, "Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku." Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.

Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, "Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima." Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot "judul"-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat "kitab" dan membantu menorehkan kemenangan.

Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah 'alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan. Semoga.


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/26/113032-jadilah-kitab-walau-tanpa-judul

Siapa Pemilik Cinta Kasih

Siapa  Pemilik Cinta Kasih
ilustrasi

Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Kata ummah berasal dari bahasa Hebrew dari akar kata alef dan mim, berarti cinta kasih. Ibu, bahasa arabnya ummun karena pemilik cinta kasih yang tulus.

Dari akar kata yang sama membentuk: Amam (di depan), imam (imam shalat/pemimpin), ma'mum (makmum/rakyat yang dipimpin), imamah (konsep yang mengatur antara pemimpin dan rakyat), dan ummah ialah komunitas yang diikat oleh suatu aturan dan tali cinta kasih sebagai sesama hamba Tuhan dengan pemimpin yang disegani, rakyat yang santun tapi kritis, tetapi pemimpin itu tidak otoriter karena rakyat laki-laki atau perempuan diberi kewenangan untuk menegur.

Jika dalam shalat imam melakukan kekeliruan, makmun laki-laki menegur dengan membaca subhanallah dan untuk perempuan menegur dengan menepuk anggota badan sehingga kedengaran oleh sang imam. Analoginya, jika menjadi pemimpin, rakyat berhak memberikan peringatan dan teguran pada sang pemimpin agar menjadi benar. Jika demikian, arti ummah, maka tidak otomatis setiap komunitas Muslim disebut ummah.

Alquran menyebut sejumlah konsep komunitas. Antara lain, sya'bun (komunitas yang dihimpun oleh hubungan genetik sebagai suatu marga); qabilah (komunitas oleh ikatan primordialisme hubungan genetik, kedaerahan, dan persamaan tradisi); qaum, komunitas kepentingan sosial dan ekonomi dengan visi dan misi yang sama; khizbun, komunitas yang dipersatukan oleh persamaan sejarah dan kepentingan politik (ideologi).

Ummah lebih dari sekadar sya'bun, qabilah, qaum, atau khizbun. Yang paling menonjol dari ummah ialah ikatan spiritual keagamaan sebagai sesama hamba Tuhan dan umat Nabi Muhammad SAW. Ummah melintasi batas-batas geografis, menembus lapis budaya, dan menerobos sekat-sekat politik dan ideologi. Ummah bentuk final dari segala bentuk komunitas.

Tujuan atau misi utama Nabi Muhammad SAW adalah menghijrahkan umat manusia dari masyarakat sya'bun, qabilah, qaum, dan khizbun menjadi masyarakat ummah. Dalam masyarakat qabilah atau sya'b, promosi karier hanya bergulir di kalangan laki-laki. Perempuan jangan bermimpi untuk menjadi pemimpin. Dan istilah pemimpin perempuan saja tidak ada dalam kamus bahasa Arab. Kata imamah digunakan dalam arti kepemimpinan, dan kata khalifah, digunakan untuk pemimpin laki-laki.

Dalam masyarakat qabilah dan sya'b diwarnai dengan struktur dan stratifikasi sosial yang berlapis-lapis. Kalangan masyarakat bawah, apalagi budak, tidak boleh bermimpi menjadi raja atau pemimpin. Karena raja atau pemimpin sudah monopoli kalangan bangsawan. Sedangkan dalam konsep ummah, siapa pun dan dari kelas manapun sama-sama berhak untuk menjadi imam atau pemimpin, asal memenuhi beberapa syarat yang diajukan masyarakat. Apakah komunitas Islam di Indonesia sudah layak disebut ummah?


http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/24/112781-siapa-pemilik-cinta-kasih

Resep Mudah Melipatkan Nikmat

Resep  Mudah Melipatkan Nikmat
ilustrasi

Oleh: Mukhyar Imran Lc

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'." (QS Ibrahim [14]: 7).

Sudah seharusnya kita sebagai hamba bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Mulai dalam kandungan ibu sampai menjadi manusia yang bisa berpikir hingga kembali pada-Nya adalah nikmat Allah yang tidak terhingga. Mulai dari kesenangan hidup, rezeki, dan kasih sayangnya yang tak pernah putus.

Akankah kita mengingkari, menentang, melanggar, dan tidak mau mengabdikan diri kepada-Nya? Dari ayat di atas, kita dapat menarik hikmah bahwa bersyukur adalah sebuah jalan untuk mencari keridhaan-Nya. Sebaliknya, bila manusia mengingkari nikmat-Nya, bersiaplah menerima azab yang sangat pedih.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita harus senantiasa bersyukur atas segala nikmat dan anugerah yang diberikan Allah. Kita mesti bersyukur saat memperoleh kesenangan dan bersabar saat tertimpa musibah.

Rasulullah SAW bersabda, "Perkara orang Mukmin itu mengagumkan. Sesungguhnya, semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang Mukmin. Bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya. Bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya." (HR Muslim No 5318).

Sesungguhnya, nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita sangat banyak jumlahnya dan tak terhingga. Semua yang diberikan itu, sekiranya suatu saat Allah menagihnya, kita tidak akan sanggup untuk membayarnya. Sebab, nikmat itu diberikannya setiap saat dan tak pernah berhenti, mulai dari bangun tidur hingga kita tertidur lagi. Alangkah pengasih dan penyayangnya Allah kepada kita, umat manusia.

Allah SWT berfirman, "Dan, Dia telah memberikanmu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan, jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)." (QS Ibrahim [14]: 34).

Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk bersyukur kepada manusia. Karena, syukur kepada manusia merupakan salah satu bentuk tanda syukur kepada Allah SWT.

"Siapa yang tidak pandai bersyukur (berterima kasih) kepada manusia, berarti ia belum bersyukur kepada Allah." Abu Isa berkata, "Ini adalah hadis hasan sahih." (HR Tirmidzi No 1877). Dengan memperbanyak syukur, manusia akan menyadari segala kelemahan dan kekurangannya di hadapan Allah. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang pandai bersyukur.



http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/20/112037-resep-mudah-melipatkan-nikmat

Tanda-tanda Allah SWT Menyapa

Tanda-tanda Allah SWT Menyapa
ilustrasi

Oleh Nur Faizin M Lc MA


"Lalu, ke manapun kamu menghadap, maka di situlah 'wajah' Allah." (QS Al-Baqarah: 115). Allah ada di manapun manusia berada, namun manusia sering kali lupa dan tidak mampu merasakan kehadirannya serta tidak bisa melihat tanda-tanda kekuasaannya yang terdapat di seluruh alam semesta.

Allah SWT menyapa manusia melalui media ayat-ayat alam semesta ( kauniyyah) dan ayat-ayat Alquran (qauliyyah ). Agar manusia menyadari sapaan Allah, manusia yang melihat ayat-ayat tersebut harus memahami fungsi alam semesta sekaligus mampu mengelaborasikannya dengan Alquran.

Begitu juga ketika membaca Alquran, seharusnya kita mampu memahaminya sesuai dengan fungsi-fungsi dan tujuan Allah menciptakan alam semesta. Yaitu, untuk kemaslahatan dan memberi manfaat kepada seluruh anak manusia.

Secara tegas, Allah sangat sering menyapa manusia dengan sapaan yang penuh makna; "Ya ayyuhal ladzina Aamanu" (wahai orang-orang yang beriman), "Ya Ayyuhan Naasu" (wahai manusia), Ya 'ibaadi (hai hamba-hambaku), dan lain sebagainya.

Seruan-seruan Allah yang banyak kita temukan di permulaan ayat-ayat Alquran itu, seharusnya mampu menggugah pribadi seorang mukmin untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Bukankah kita percaya bahwa ayat-ayat Alquran adalah firman Allah, namun mengapa keyakinan itu hanya sebatas pada tataran pikiran dan kemantapan hati belaka? Kepercayaan atau keimanan dalam pandangan Islam adalah ibarat mesin yang menggerakkan jasad untuk melakukan perbuatan baik dan amal saleh sebagai bentuk implementasi.

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya `Ulumud Din menyebutkan tiga tingkatan manusia yang membaca ayat-ayat Alquran: Pertama, merasa sedang membacanya di hadapan Allah sehingga khusyuk dan berusaha untuk membacanya dengan benar. Kedua, merasa bahwa Allah sedang berkata dan menyapa kepadanya sehingga dia akan berusaha untuk memahami ayat-ayat Alquran, lalu melaksanakannya. Ketiga, merasa bahwa Allah sedang hadir dan berdialog bersamanya sehingga ketika ada ayat perintah ia merasa Allah langsung memerintahkan padanya. Dan ketika ada larangan, dia sadar bahwa Allah sedang hadir melarangnya.

Al-Ghazali tidak menyebutkan tingkatan keempat yang lebih baik dalam membaca ayat-ayat Alquran, yaitu membaca ayat-ayat Alquran dengan mengombinasikan dan mengelaborasikan kandungannya ke dalam pembacaan terhadap ayat-ayat alam semesta raya ( kauniyyah ).

Dengan demikian, ayat-ayat Alquran dapat menyatu dan menghiasi semua perilaku manusia pada saat ia diberikan kesempatan mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam semesta ini. Hanya dengan cara seperti itulah, ayat-ayat Alquran dapat memberikan perannya bagi ekosistem dan iklim alam. Wallahu a`lam.



http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/28/113277-tandatanda-allah-swt-menyapa

Perilaku yang Menghapus Pahala

Perilaku  yang Menghapus Pahala
ilustrasi

Oleh Juman Rofarif

Termasuk etika dalam bersahabat dan lebih luas lagi dalam bermasyarakat, adalah menjaga perasaan. Bahkan, Rasulullah SAW menjadikan itu sebagai salah satu prasyarat Muslim sejati. Rasul SAW mengatakan bahwa yang disebut Muslim adalah orang yang mulut dan tangannya membuat orang lain merasa damai. Kata-katanya tidak menyakiti, perilakunya tidak melukai. Dua-duanya menjadi satu-kesatuan utuh untuk membentuk karakter Muslim sejati.

Kata-kata bijak seseorang akan menjadi omong kosong jika perilakunya meresahkan. Dan, perilaku mulia seseorang akan menjadi percuma jika kata-katanya menyakitkan. Sebab itulah Allah mengingatkan, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.'' (QS Al-Baqarah [2]: 264).

Karena itu, Muslim sejati adalah orang yang membawa rasa aman dengan apa pun yang ada pada dirinya dan bagi siapa pun yang ada di sekelilingnya. Abu Qasim al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah, menulis kisah menarik tentang etika.

Suatu ketika, seorang ulama terkemuka bernama Hatim didatangi seorang perempuan yang hendak berkonsultasi tentang suatu hal. Berbarengan dengan saat bertanya, perempuan itu kelepasan (maaf) kentut. Hatim lalu berkata, ''Maaf, Anda bertanya apa? Mohon, angkat sedikit suara Anda agar saya dapat mendengarnya dengan baik.''

Perempuan itu berpikir, Hatim ini sepertinya memiliki pendengaran yang kurang baik dan pasti tidak mendengar kentut barusan. Maka, ia pun menyampaikan maksudnya. Selesai urusan, perempuan itu pun pulang dengan perasaan lega dan barangkali tak perlu malu kepada dirinya sendiri dan kepada Hatim, sebab telah kelepasan kentut di hadapan seorang ulama.

Sejak peristiwa itu, tersebar kabar bahwa Hatim adalah orang yang pendengarannya kurang baik. Dan bukan hanya kabar angin, orang-orang pun mengetahui sendiri bahwa Hatim memang demikian. Lalu, orang-orang menjuluki Hatim dengan al-asham atau si tuli. Sampai kemudian perempuan itu meninggal dunia.

Hatim lalu menceritakan keadaan diri bahwa sesungguhnya ia tidak benar-benar tuli. Apa yang ia lakukan hanya kepura-puraan. Saat perempuan itu kentut di hadapannya, ia pura-pura tidak mendengar. Dan, ia berjanji, kepura-puraan itu akan ia jaga selama si perempuan masih hidup, semata-mata karena tidak ingin membuat perempuan itu malu. Hatim ingin menjaga harga diri dan perasaan perempuan itu.

Meski demikian, sebutan al-Asham telah telanjur melekat pada diri Hatim. Sehingga, sampai saat ini, nama Hatim dalam karya-karya klasik selalu ditulis Hatim al-Asham atau 'Hatim Si Tuli.' Wa Allahu a'lam.



http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/04/29/113480-perilaku-yang-menghapus-pahala

Minggu, 25 April 2010

Salt and Pepper


Quote:
Di meja restoran, atau mungkin di rumah kamu, kadang terdapat tempat garam dan tempat merica. Kedua tempat itu biasanya sama, serupa. Kamu tinggal menaburkan isinya jika kamu kebetulan ingin menambah garam atau merica kedalam makanan kamu. Dapatkah kamu membedakan mana wadah yang berisi garam, atau merica?, mengingat biasanya tidak ada tulisan pada wadahnya. Terlebih kadang juga wadah itu tidak transparan, sehingga kamu sulit melihat isinya. Bagaimana cara membedakannya? Yang membedakan tempat merica dan garam adalah lubang yang terdapat di "kepala" wadah tersebut. Wadah yang memiliki lubang lebih sedikit adalah tempat merica, sedangkan yang lubangnya lebih banyak adalah tempat garam. Benarkah selalu demikian?
Coba kaskuser cek mana yang tempat garam & mana yang merica


--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


☺ Creative and Stylish Salt and Pepper Sets ☺





• Henning Koppel Castors Salt & Pepper
Spoiler for :
Quote:



• Nambè Hug Salt and Pepper Shaker Set
Spoiler for :
Quote:



• Hugs Salt and Pepper Shakers
Spoiler for :
Quote:



• Nambè Circco Salt & Pepper
Spoiler for :
Quote:



• Salt & Pepper Set
Spoiler for :
Quote:



• Lladro Gallus Shakers
Spoiler for :
Quote:



• Twist Salt & Pepper Mill
Spoiler for :
Quote:



• Crazy Bulbs Salt & Pepper
Spoiler for :
Quote:



• Rockers Mini Salt & Pepper
Spoiler for :
Quote:



• Keyboard Salt and Pepper Shakers
Spoiler for :
Quote:



• Rubik's Cube Salt and Pepper Shaker
Spoiler for :
Quote:



• Good Chemistry Salt and Pepper Shakers
Spoiler for :
Quote:



• Ants Salt & Pepper Shakers
Spoiler for :
Quote:



• Two-in-One Stainless Steel Salt & Pepper Set
Spoiler for :
Quote:



• G’rabbit Grinders
Spoiler for :
Quote:



• Spices Salt & Pepper
Spoiler for :
Quote:



• Chef’n Mini Magnetic Set
Spoiler for :
Quote:



• Salt & Pepper Cell
Spoiler for :
Quote:



• Salt and Pepper Sterling Crown Mills
Spoiler for :
Quote:

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Quote:
Setidaknya ada tiga alasan mengenai lubang wadah garam dan merica. Pertama adalah asumsi bahwa merica lebih mahal daripada garam, sehingga dengan menempatkannya pada wadah yang memiliki lubang lebih sedikit, akan menghemat penggunaan merica. Alasan Kedua, adalah alasan "pengaliran", yaitu karena garam dan merica memiliki butiran yang berbeda, maka butiran yang lebih "halus" akan menempati wadah dengan lubang yang lebih banyak, maksudnya adalah supaya lebih "cepat keluar" (atau sama-sama bisa "cepat" keluar dengan wadah satunya lagi). Nah tergantung jenis garam dan merica yang digunakan, jika kebatulan butir garam yang digunakan lebih halus dari butir merica, maka garam ditempatkan pada wadah yang memiliki lubang lebih banyak. Alasan ketiga, adalah alasan "cita rasa", yaitu biasanya orang lebih banyak menggunakan garam daripada merica, sehingga garam diletakkan pada wadah dengan lubang yang lebih banyak.


http://www.kaskus.us/showthread.php?t=3853087

plesetan logo-logo, kocak dan unik banget













































http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2540110