Minggu, 13 Desember 2009

ILIR-ILIR

ILIR-ILIR

Olen Soetjipto Wirosardjono


Dulu, ada satu tembang Jawa yang sangat dianjurkan oleh Pakde Modin digunakan untuk berdakwah. Konon, tembang itu diciptakan ketika sembilan wall (WalI Sanga) giat melak­sanakan dakwah Islam di Pulau Jawa.


Lir-ilir, Lir-ilir

tandure wis sumilir

Yo royo royo

tak sengguh temanten anyar

Cah angon, can angon

penekno blimbing kuwi

lunyu-lunyu, yo peneken

kanggo ngumbah dodot-tro

Dodot-iro, dodot-iro

kumitir bedah ing pinggir

dondomono jlumat-ono

kanggo sebo mengko sore!

Mumpung padang rembulane

Mumpung jembar kalangane

Yo sorako sorak: Horee!


Tembang sederhana itu sangat populer di kalangan anak-anak pedesaan di Jawa, zaman dulu, mudah-mudahan sampai sekarang.

Tidak banyak yang peduli makna harfiah kata-kata yang tersusun dalam beberapa ka­limat samar-samar itu. Tetapi, kenyataan itu tidak mengurangi populaftas tembang dolanan anak-anak yang syair maupun lagunya sa­ngat sederhana itu.

Kalau diterjemahkan secara harfiah, saya khawatir bahkan banyak orang Jawa sendiri tidak paham maksud kalimat-kalimat yang dilafalkan dalam syair tembang itu.

Yang jelas, bahasa Jawa yang dipakai sangat bercorak pedesaan dan diungkap dalam konteks kul­tural petani atau rakyat kecil. Dengarkan saduran bebas saya berikut ini;


"Tidakkah Anda rasakan tiupan sepoi angin segar ini?"

"Pasangan baru yang sedang berbulan madu. "

"Hai, para penggembala (pendakwah), bil lisan, bil kalam maupun bil hal. "

"Panjatlah pohon blimbing yang buahnya baik buat bahan pencuci itu. "

"Biar pun licin batang pohonnya, tetap panjatlah, karena kita perlu buahnya untuk membasuh busana dan demi penampilan kalian. "

"(Tidakkah kalian rasakan), kain yang kalian kenakan itu sudah sobek dan tampak compang-camping garis batas pinggimya?"

"Tisik, dan peliharalah busana itu, agar siap, untuk menghadap sang Khalik, sore ini juga! Mumpung bulan sedang bersinar terang, mumpung luas peluang diberikan bagi kita dan ruang untuk “turut beraudiensi' sedang dibuka lebar".


Seperti umumnya pesan ajaran agama, di samping sejuk dan enak didengar, juga bisa ditafsirkan macam-macam, tergantung hidayah yang sudah bisa ditangkap oleh muslim sejati yang selalu mengaku sebagai al Fakir!

Bagi mereka yang mengajinya masih ter­halang oleh nafsu duniawi, pesan tembang Ilir-ilir, yang di Madura dikenal sebagai tembang Lir-ilir, itu akan ditafsirkan secara harfiah terutama mengambil makna yang mengarah pada nafsu seks dan kedudukan, bukannya untuk ber-amar makruf nahi munkar.

Karena itu, ketika sementara orang mempersoalkan Adi Sasono, Watik Pratiknya, Dawarn Rahardjo, dan Jimly Assidiqi, yang tak tercantum dalam daftar calon anggota MPR; sebaliknya saya justru tetap yakin bahwa sahabat-sahabat saya itu akan mengemba­likan makna tembang Lir-ilir tersebut pada tafsir hakikinya seperti diajarkan guru-guru mengaji mereka.

Makna itu adalah mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane, yakni Iklim dan peluang yang luas untuk ber-amar makruf nahi munkar, bukannya untuk mencari kedudukan. Begitulah, seperti diajarkan oleh Eyang Ki Samanhudi, Mbah Moh. Room, dan Kyai Mukti Ali. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar