Minggu, 13 Desember 2009

Wukuf

Wukuf

Oleh Soetjipto Wirosardjono

Tanggal 9 Zulhijah 1417 H, yang di Saudi jatuh hari Rabu, saudara kita yang menunaikan ibadah haji sedang melaksanakan puncak dan rangkaian amalan yang diwajibkan dalam memenuhi syari'at pelaksanaan rukun Islam kelima ini. Yaitu melaksanakan wukuf di Padang Arafah. Bahkan, seluruh ibadah haji pun hanya dinyatakan sah oleh hukum Islam apabila acara wukuf seraya *bertafakur' di Padang Arafah itu dilaksanakan dengan khusuk tepat pada waktunya. Ada yang mengatakan ibadah haji itu hanya sah ya kalau wukuf tepat waktunya. Mereka inilah yang memandang amalan pelaksanaan perintah hukum hukum agama serba dengan kacamata harfiah.

Bukankah ulama dan fuqaha sudah sepakat bahwa haji yang sah, ya yang melaksanakan seluruh rangkaian amalan yang diwajibkan menurut rukun haji. "Tetapi, saya sempat khawatir Iho, Mas. Gara-gara kyai saya bertanya waktu saya wukuf di Padang Arafah itu, 'kok kamu tidak menangis?" cerita seorang teman.

"Memangnya kenapa kyai? Wong saya senang dan bahagia Alhamdulillah diberi kekuatan kuat pergi haji kok malah menangis, jadi ya tidak kepingin nangis!" dia men­jelaskan pada kyainya kenapa dia tidak menangis.

"Kamu lihat enggak tuh teman-teman kamu yang sedang ada di padang arafah itu kan banyak yang pada menangis, bahkan ada yang meraung-raung!" kata kyai "Lihat sih lihat. Tetapi saya kan tidak tahu kenapa mereka menangis? Barangkali saja isteri atau anaknya yang ditinggal dirumah sedang sakit. atau sangunya waktu sedang belanja dipasar seng tercecer! " sahut teman itu, tanpa maksud bercanda. "Ini beneran. Apa kamu tidak merasa terharu berada di Padang Arafah bersama sekian banyak umat Islam sedunia semuanya dengan hanya satu tujuan yaitu untuk menjalankan rukun Islam kelima!" desak kyai seolah berharap teman itu supaya bisa menitikkan air mata.

"Terharu sih terharu. Tetapi wong saya tidak biasa menangis ketika terharu. Terus terang perasaan suka cita saya wajar saja, seperti ketika saya bisa menyelesaikan tugas dengan seksama saja!" sahutnya datar tetapi jujur.

"Tugas melaksanakan perintah agama kan lain! Kamu ini kok seperti tabularasa"

"Justru sebaliknya kyai, karena saya jujur pada diri sendiri dan jujur pada Allah saya tidak mau mengelabuhi siapa siapa. Wong tidak kepingin menangis kok disuruh menangis!"

"Sudah dah sang wudhu!" seru kyai seolah kurang berkenan ketika teman saya tidak juga bisa menitikkan airmata.

Memang teman saya serba sulit, rasanya banyak hal ghoib yang diharapkan orang ketika melaksanakan rangkaian amalan ibadah haji! Papdahal, teman saya merasa wajar ar wajar ar saja seperti halnya ketika dia menjalankan ibadah sholat wajib atau membayar zakat dan berpuasa." Tetapi dasar kyai maka ia bisa saja menghibur santrinya.

"Tak apa, yang ghoib itu memang tidak semua orang diberi kesempatan oleh Allah melihatnya. Barangkali malaikat tahu, kau akan malah akan menjadi ingkar pada sunatullah, kalau diberi kesempatan tahu pada hal, hal yang ghoib" Memang, teman saya itu, seorang mubaliqh kota yang cerdas dan pandai oleh fikir disamping rajin berzikir!

"Ketika saya dulu sedang berada di Masjidil Haram seorang tua dengan dandanan dusun dan berwajah ceria, menanyakan asal usul saya. Dengan terbata-bata tangan orang tua itu saya cium, semata-mata karena wajahnya yang bening mengingatkan saya pada orang yang sangat saya hormati, pakde Modin" saya berusaha menghiburnya. Supaya dia tak lagi cemas lantaran 'tidak ketemu yang ghoib'.

"Saat itu saya tidak menitikkan air mata, cuma batin saya tidak berhenti bertanya­-tanya siapa gerangan orang tua yang baik hati dan peduli itu!"

"Malaikat itu mas! Anda pasti dapat barokahnya itu!" seru teman itu. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar