Senin, 18 Januari 2010

Pak Cipto yang Gelisah Akan Rezekinya

Pernahkah Anda curhat mengenai hal yang sangat pribadi kepada orang yang BARU SAJA Anda kenal? Anda bahkan belum tahu siapa orang itu, bagaimana sifatnya, apakah dia orang baik atau jahat. Anda bahkan belum yakin apakah dia bisa memberikan solusi atas masalah Anda. Pernahkah Anda bertindak seberani itu?

Saya mungkin tak akan berani, tapi Pak Cipto sudah melangkah demikian jauh ketika kami baru berkenalan sekitar LIMA MENIT. Pria berusia 36 tahun ini sebenarnya hanya sesosok manusia sederhana. Perawakannya sedang, rambut ikal, kulit sawo matang, tinggal di Semarang bersama isteri dan seorang anaknya yang masih kecil. Pak Cipto bekerja sebagai staf marketing pada sebuah perusahaan yang memproduksi makanan kecil. Hampir setiap hari, bersama seorang sopir ia mengelilingi beberapa kota di Jawa Tengah dengan mobil box. Mereka membawa banyak makanan kecil untuk didistribusikan ke toko dan warung yang tersebar di penjuru kota.

Di sore hari, saat berada di Solo, mobil box itu singgah di sebuah hotel murah - namun bersih - di daerah Sriwedari. Di tempat inilah saya berkenalan dengan Pak Cipto, awal Juli 2008 lalu. Saat itu, saya ada kegiatan di Solo dan menginap di hotel tersebut.

Pertemuan dengan Pak Cipto berlangsung di lobi hotel, sekitar jam 9 malam. Sebagai awal perkenalan, obrolan kami boleh dibilang sangat standar:

"Dari mana, Pak?"

"Sudah berapa lama menginap di sini?"

"Lagi ada keperluan apa di Solo?"

"Anak sudah berapa?"

Namun lima menit kemudian, tiba-tiba ia menatap saya dan menanyakan sesuatu yang membuat saya terkejut, "Menurut Pak Jonru, apa sebenarnya tujuan hidup ini?"

Saya tertegun, tidak siap oleh pertanyaan yang demikian filosofis. Bila kami sudah akrab sejak lama, saya mungkin bisa memberikan jawaban yang gamblang. Namun saat itu, saya sama sekali belum mengenal Pak Cipto ini. Bila saya misalnya menjawab dari sudut pandang Islam, saya khawatir bila ternyata dia nonmuslim. Intinya, saya ragu harus menjawab apa.

Akhirnya, sambil tersenyum kecil, saya balik bertanya, "Lho, kok bertanya seperti itu, Pak?"

"Begini, Pak, " ujarnya. "Saya ini kan bekerja sebagai staf marketing. Di dunia seperti ini, sudah biasa kalau saya memberikan harga Rp 1.500 ke toko, padahal harga asli dari kantor saya hanya Rp 1.000. Yang Rp 500 tentu masuk ke kantong saya."

"O, begitu, " saya manggut-manggut. "Dan itu membuat Bapak gelisah, ya?"

"Betul. Tapi saya juga bingung. Kalau saya bekerja dengan jujur, teman-teman pasti memusuhi saya. Dianggap tidak solider. Lagipula gaji saya kan kecil. Kalau tidak berbuat seperti itu, mana cukup buat menghidupi keluarga?"

Saya tertegun, mulai memahami permasalahannya. Intinya, Pak Cipto ini sedang gelisah akan rezeki yang dia dapatkan selama ini. Dia tahu bahwa yang dia lakukan keliru, rezekinya pun tidak halal. Namun dia juga bingung bagaimana cara mengakhiri "lingkaran setan" tersebut.

Sejujurnya, saya merasa amat surprise ketika Pak Cipto meminta nasehat seperti itu pada saya, sebab pada dasarnya saya bukan seorang ustadz yang fasih berbicara soal agama. Karena itu, saya mencoba memberikan masukan yang sederhana saja, berdasarkan pengalaman pribadi.

"Maaf, sebelumnya saya tanya dulu. Pak Cipto ini muslim atau bukan?"

"Iya, saya Islam."

"Oke. Kalau begitu, tentu Pak Cipta paham mengenai tujuan hidup seorang Muslim, kan? Hidup kita di dunia ini bukan untuk mencari kekayaan, namun beribadah. Dan rezeki setiap orang sudah diatur oleh Tuhan. Selama kita meyakini hal ini, disertai dengan ikhtiar dan doa tentu saja, maka Insya Allah kita tak akan pernah kekurangan rezeki."

Saya pun menceritakan pengalaman saya ketika nyaris tak punya uang. Namun karena saya yakin akan rezeki dariNya, maka secara ajaib rezeki itu pun datang. Subhanallah....

"Coba perbanyak saja ibadah, Pak. Semakin dengan dengan Allah, insya Allah kita bisa lebih mudah dalam mengatasi seperti ini, " ujar saya.

Pak Cipto manggut-manggut. Sementara saya hari itu mendapat pelajaran yang amat berharga. "Kesadaran" adalah kunci utama menuju hidayah. Orang yang tak pernah merasa bersalah atas maksiat-maksiat yang ia lakukan, biasanya akan sulit menemukan pencerahan dalam hidupnya.

Saya bersyukur, Pak Cipto ini termasuk orang yang sudah sadar. Jiwanya gelisah, ada semacam keinginan untuk berubah. Saya percaya, orang-orang seperti inilah yang hidupnya dengat dengan kebenaran.

Wallahualam


Nama dan Lokasi Hanya Rekaan Belaka.


"Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang Berkilau di pandang orang, Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi Janganlah seperti asap yang mengangkat diri tinggi di langit padahal dirinya rendah-hina"


sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?p=156673058

Tidak ada komentar:

Posting Komentar