Syaikh Sihamuddin juga menukilkan kisah dari ayah, dari kakeknya bahwa Husain Ali Mirza (hakim saat itu) yang ditemani anjingnya, ingin berenang di sungai. Lalu, dia melepas bajunya. Ketika akan masuk ke air, anjing itu segera mencegahnya. Namun dia tak hirau dan mencebur ke air.
Saat dia akan masuk ke sungai dan si anjing merasa tak bisa mencegahnya, anjing itu pun menceburkan diri ke sisi lain sungai tersebut sehingga dia dimangsa oleh hewan besar yang ada di sungai tersebut. Si hakim lantas mengerti mengapa anjing itu mencegah dirinya dan kemudian mengorbankan diri demi keselamatan tuannya. Si hakim pun tersentuh dengan apa yang dilakukan anjingnya itu dan dia pun menangisinya.
Dalam kitabnya,
"Kesetiaan dan Pengorbanan Seekor Anjing kepada Tuannya."
Dalam kesempatan ini, karena kita sedang membahas tentang rasa malu dan kesetiaan seekor anjing, serta membandingkannya dengan manusia yang kurang memiliki rasa malu maupun kesetiaan, maka saya memandang perlu apabila kita kutip di sini sebuah kisah yang dinukil oleh Syaikh al-Bahai dalam Kasykulnya, jilid pertama halaman 40:
Di sebuah pegunungan Libanon, hiduplah seorang ahli ibadah yang menyendiri di gua. Pada siang harinya, dia selalu berpuasa. Namun jika malam tiba, seseorang membawakan sepotong roti; separuhnya untuk berbuka dan separuh lainnya untuk makan sahurnya. Kehidupan semacam itu telah berlangsung lama dan dia tak pernah turun sama sekali dari gunung itu.
Suatu malam, orang-orang sepakat untuk tidak mengantarkan roti. Maka, rasa laparnya pun semakin bertambah. Dia lalu shalat maghrib dan isya, dan kemudian tidur sembari menunggu sesuatu yang dapat - mengobati rasa laparnya. Akan tetapi, dia tak mendapatkan apapun.
Di bawah gunung tersebut terdapat desa yang dihuni oleh kaum Nasrani. Dia lalu turun ke desa tersebut untuk meminta makanan dari salah seorang di antara mereka. Seseorang tua kemudian memberinya dua potong rod terbuat dari gandum. Dia pun mengambilnya dan membawanya ke atas gunung.
Di rumah orang tua itu hidup seekor anjing yang kurus dan terkena penyakit kulit. Anjing itu kemudian mengikuti si ahli ibadah tersebut dan meminta makanan darinya. Si santri pun melemparkan sepotong rotinya dan anjing itu pun memakannya. Lalu, si anjing kembali kepada si santri untuk yang kedua kalinya dengan tujuan yang sama. Si santri pun memberinya lagi sepotong roti dan anjing itu pun memakannya lagi. Namun, si anjing itu kembali untuk yang ketiga kalinya sambil menggonggong dan merobek baju si santri.
Si santri pun berkata, "Subhanallah, aku tak pernah melihat anjing yang tak punya malu sepertimu. Tuanmu hanya memberiku dua potong roti ini saja dan semuanya telah kau ambil dariku. Lantas apalagi yang kau minta dengan melolong dan merobek bajuku ini?"
Allah Swt menjadikan anjing tersebut dapat berbicara, "Aku bukannya tak punya malu, ketahuilah bahwa aku bekerja dirumah orang Nasrani itu untuk menjaga kambing dan rumahnya, dan aku puas dengan upah roti atau tulang yang diberikannya padaku. Tak mungkin dia lupa, sehingga membiarkanku beberapa hari ini tanpa makan, bahkan telah berhari-hari dia tak beroleh sesuatu pun untuk dirinya, apalagi untukku. Meski begitu, aku tak meninggalkan rumahnya, karena aku tahu diri untuk ku berpaling ke rumah orang lain. Apabila aku mendapat sesuatu, maka bersyukur, dan jika tidak, aku pun bersabar. Sementara engkau, hanya lantaran pemberian roti terhenti semalam saja, sudah tak dapat sabar dan sangat tersiksa, sehingga engkau berpaling dari pintu Sang beri rezeki kepada para hamba dan ke pintu seorang Nasrani. Engkau telah tinggalkan Sang Kekasih menuju musuh-Nya! Lantas, siapakah di antara kita yang kurang rasa malunya, aku atau engkau?"
Mendengar ucapan anjing itu, dia pun memukulkan kedua tangannya kepala dan lalu terjatuh pingsan.
Sumber : Buku KISAH-KISAH AJAIB oleh Abdul Husain Dasteghib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar