Senin, 02 Agustus 2010

LAUT PUN BERTASBIH





Memandang Laut, Pikiran Melayang Laut Banda.

Cuaca bulan November sangat  tidak bersahabat. Angin bertiup sangat kencang, berkisar dengan kecepatan 20-40 knots (1 mil laut atau 1852 meter) per jam. Ketinggian gelombang antara 3-5 meter. Pihak Kesyahbandaran sudah melarang kapal-kapal ber tonase di bawah 225 GT untuk melaut. Sudah banyak terjadi kecelakaan laut yang menelan korban, akibat cuaca buruk yang tidak menguntungkan.
Kapal sepanjang 99,90 meter dan lebar 15,25 meter itu tampak terombang-ambing di tengah Laut Banda. Haluan kapal melawan derasnya arus sehingga tampak seperti tidak maju­-maju. Sudah empat hari empat malam kapal ini terus menerus berada di lautan, tidak tampak pulau atau daratan.
Sejauh mata memandang, seluas cakrawala menembus hanya tampak laut dan laut. sepanjang penglihatan yang bisa terjangkau hanya terlihat langit, awan, dan angin yang menderu. Horizon senja kemilau indah yang biasanya memukau di saat matahari hendak ditelan pembatas lautan, kini terasa jadi tak menarik lagi. Pemandangan itu terasa sangat membosankan. Kapal saat ini sedang berlayar dari Halong Ambon menuju Merauke, Papua.
Didit Revolusi, salah satu pelaut yang ada di kapal tersebut. Saat itu ia merasakan perutnya begitu mual. Rasanya seperti diaduk-aduk. Ingin rasanya ia muntah. Mukanya pucat bahkan mulai terasa berkeringat dingin.
Bagi seorang pelaut seperti Didit, hal itu tentu bukan karena mabuk laut yang disebabkan besarnya gelombang dan angin besar, tapi karena tekanan psikologis yang luar biasa berat.
Bayangan kampung halaman, wajah ibu, ayah, adik kakak, serta kerabat dan handai taulan, seakan begitu kuat menggantung di kelopak mata Didit. Ingin dia berenang melintasi lautan agar bisa pulang.
Siapa yang tak ingin pulang saat ini? Siapa yang tak ingin bersama keluarga dan sahabat di saat-saat yang membahagiakan seperti ini?
Benar sekali.
Malam ini adalah malam takbir. Tanggal 30 bulan Ramadhan, hari terakhir pelaksanaan ibadah puasa. Besok akan berganti bulan Syawal, atau biasa disebut Hari Raya Idul Fitri. Siapapun pasti tak ingin melepaskan suka ceria di hari nan fitri bersama keluarga dan kerabat.
Didit yang baru dua tahun berdinas dan langsung aktif di kapal dengan jam layar padat, ternyata masih belum bisa melupakan kenangan indah bersama keluarga dan kerabatnya di kampung halaman. Apalagi kenangan indah di bulan puasa, menjelang waktu berbuka atau ngabuburit.
Hampir semua orang, laki perempuan, tua muda berdiri di pinggir parit kecil belakang perumahan. semua pandangan mengarah ke selatan, ke posisi letak Masjid Jami' kota. Tepat menjelang buka puasa akan selalu ditandai dengan suara dentuman keras mirip meriam, yang diawali dengan kilatan sinar putih yang terlihat hingga radius 5 km.
Lalu orang-orang akan berlarian masuk rumah untuk menyantap makanan yang khusus disiapkan untuk buka puasa. Biasanya didominasi dengan es cao dan bubur nasi bumbu kacang. Bila lebaran tiba, seusai shalat Idul Fitri di masjid, mereka akan berbondong-bondong menuju surau Haji Ilham tempat mereka belajar mengaji. Untuk sungkeman yang sudah menjadi tradisi.
Setelah usai acara sungkeman, mereka beramai-ramai ziarah kubur. Baru setelahnya mereka melaksanakan acara silaturahmi ke semua tetangga, saudara, dan teman. Hampir setiap rumah selalu tersedia makanan khas lebaran, seperti sayur opor ayam dan kue-kue kering. Makanan dan kue yang sengaja dibuat sendiri, khusus menyambut lebaran. Budaya seperti itu masih berjalan sampai saat ini.
"Jangan sedih, Dit!" seru Bapak Joko Subianto, Bintara Utama Kapal mendekat dan menepuk bahu Didit. la tampak berusaha menghibur karena melihat wajah Didit yang begitu murung. Didit masih tak bersuara. la hanya membuang pandangannya ke arah laut lepas sambil berpegangan ringan pada reling(pagar lambung kanan dan kiri kapal yang terbuat dari kawat besi.) lambung kanan.
"Bapak sudah 20 tahun di kapal, Dit. sudah puluhan kali lebaran tidak di rumah, bahkan di tengah laut seperti ini," tambah Pak Joko Subianto.
Didit masih tetap membisu dan tidak man menanggapi. Namun Pak Joko terus mengajaknya bicara agar pikiran Didit tidak kosong dan tidak bertambah sedih.
Ya, pikiran kosong, pikiran yang melayang-layang tak jelas arah adalah hal yang berbahaya ketika berlayar. Dan sudah jadi salah satu kewajiban seorang Bintara Utama seperti Pak Joko untuk selalu memberikan semangat, menumbuhkan rasa cinta laut, dan jiwa juang yang tinggi pada anak buahnya.
Sesuatu yang jarang kita Iihat akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, begitu kata pepatah. Namun sesuatu yang selalu kita hadapi, bisa jadi rutinitas yang menjemukan kalau kita tidak tahu cara menghadapinya. Begitu pula dengan lautan.
Kalau kita belum akrab dengan laut, melihat lautan dan air dari detik ke detik terasa begitu membosankan. Statis. Seolah tidak ada kehidupan dan tidak ada pesona. Di mana-­mana hanya ada air, air, dan air.
Sebagai seorang Bintara Utama dengan jam terbang tinggi, tentunya Pak Joko sudah banyak makan asam garam kehidupan lautan; yang menyenangkan maupun yang menyedihkan. Jadi ia bisa memaklumi apa yang dialami oleh Didit. Dalam perjalanannya mengabdi dan mencintai laut hingga usianya sudah mendekati setengah abad, tentu tak sedikit pengalaman bijak yang menempanya hingga bisa melihat segala sesuatu dengan objektif.
"Saya ingat kampung halaman, Pak!" kata Didit akhirnya, meski ia tak juga memandang ke arah PakJoko yang kini berdiri di sebelahnya.
"Bapak dulu juga begitu. Tapi lama-lama terbiasa, makanya banyak bergaul dan berdoa. Banyak pengalaman itu indah dan kita jadi makin kaya!" seru Pak Joko berusaha memancing perhatian Didit.
Namun Didit tetap saja tak bergeming. Pandangannya tetap lurus ke arah gumpalan-gumpalan ombak yang seakan berkejaran tanpa henti. Seolah dengan mata batinnya ingin menembus lautan dan membawa dirinya pulang ke tengah keluarga dan kerabatnya.
Sayangnya, itu hanyalah hal yang tidak mungkin terjadi saat ini, hari ini. Saat, mungkin, di tempat lain orang begitu ramai mempersiapkan acara bertakbir mengagungkan asma Allah.
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar walillah ilham...

Takbir di Tengah Laut

Hari semakin senja.
Pak Joko mengajak Didit masuk. Sebentar lagi akan diadakan upacara penurunan bendera Merah Putih di geladak buritan atas.
Sementara itu, di geladak utama sedang sibuk dengan persiapan pelaksanaan acara takbiran seusai shalat maghrib. Bukan hal baru lagi buat para ABK (Anak Buah Kapal) yang aktif di kapal itu lebih dari lima tahun. Acara itu selalu dilakukan setiap tahun.
Pelaksanaan takbir dan shalat Idul Fitri di atas kapal tersebut entah sudah ke berapa kalinya. Kegiatan yang dilaksanakan di tengah laut, jauh dari kampung halaman, sanak saudara, dan anak istri. Sesuatu yang berusaha keras untuk dimaklumi dan dijadikan hal yang normal. Bagaimanapun kewajiban dan tugas negara jauh lebih penting.
Bahkan ada di antara mereka yang pernah melaksanakan shalat Idul Adha ketika pas merapat di Sabang. Ada pula yang melaksanakan hari pertama bulan Ramadhan atau shalat itarawih pertama di Timor-Timur. Mereka menganggap peristiwa seperti itu sudah jadi hal yang biasa. Namun bagi anggota yang baru mengalaminya, tentu wajar bila semua itu seakan sebuah siksaan dan sangat menyedihkan.

Orang Jatuh

Suasana semarak persiapan buka puasa dan takbir itu, tiba-­tiba saja dikejutkan oleh teriakan keras dari arah buritan kiri.
"Ada orang jatuh ke laut... Ada orang jatuh ke laut!"
Seketika suasana menjadi heboh. Beberapa orang langsung memerhatikan arah buritan. Dalam keadaan silau oleh pancaran matahari senja di lautan, tampak kepala sebatas leher terbawa arus ke arah matahari. Sesekali tangannya menggapai­-gapai  minta pertolongan.
Sambil mencari tahu siapa yang jatuh, kapal langsung cikal­ (belok dengan tajam karena suatu urgensi) ke kanan searah arus sehingga tidak menimbulkan pusaran kuat. Tujuannya agar tidak membahayakan korban yang jatuh. Kapal terus putar haluan searah arus yang membawa korban.
Sementara itu, korban terlihat semakin jauh dan semakin samar. Kapal terus maju dengan kekuatan penuh. Beberapa orang perwira kapal dan anggota yang berkualifikasi sebagai Tim SAR menurunkan sekoci atau ICVP lambung kanan. Dengan olah gerak dan kecepatan yang lebih lincah dari pada kapal, sekoci dengan panjang 7 meter dan lebar 2,2 meter segera mengejar korban.
"Didit Revolusi yang jatuh!" terdengar seseorang melaporkan identitas korban kepada Perwira Jaga di ruang anjungan.
Perwira Jaga memerintahkan anggota yang ada untuk berkumpul, seseorang memimpin doa bersama demi keselamatan Didit. Saat itu keberadaannya masih terapung­-apung di tengah lautan. Sementara senja semakin memerah. Suasana sekeliling semakin meremang dan beranjak petang. Matahari di batas cakrawala semakin tenggelam dan cahayanya pun kian meredup.
Perlahan tapi pasti, kini malam pekat benar-benar telah menyelimuti alam. Terasa semakin mempersulit usaha pencarian Didit. Pencarian terus dilakukan, meskipun dengan bantuan penerangan seadanya. Nyawa manusia tetap lebih berharga dari keadaan yang mulai gelap gulita.
Area pencarian sampai radius 10 mil memutar dari posisi jatuh. Namun malam kian kelam. Laut semakin menghitam dan langit semakin pekat. Sungguh, kemungkinan Didit ditemukan semakin tipis ditelan oleh kegelapan malam.
Lampu penerangan maupun cahaya rembulan tidak cukup mampu menerangi air lautan yang berlapis-lapis gelombang. Sekoci ditarik kembali naik untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk: meskipun rasanya mereka sangat ingin menemukan dan menyelamatkan Didit saat itu.
Kemudian, lewat radio Marine Band channel Internasional diinformasikan kepada seluruh kapal yang sedang dalam pulayaran khususnya di posisi sekitar jatuhnya korban. Meski saat itu tidak tampak setitik apapun, baik melalui layar radar, apalagi secara visual. Lautan begitu kelam. Langit luas begitu pekat.

Pencarian dan Doa

Seusai shalat magrib berjamaah di geladak utama, seperti yang sudah direncanakan, dilakukan acara takbiran. Dengan penuh kekhusyukan, suara takbir menggema seakan memenuhi alam.
Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar walillah ilham...
Laut Banda yang terdalam seakan turut bergetar dengan kemuliaan asma Allah. Terasa begitu kuat rasa syukur dan hingga di wajah-wajah orang yang bertakbir, setelah selama 30 hari menjalani puasa dengan segala ibadah di dalamnya.
Meski di sisi lain, terasa pula godaan lautan, angin dan gelombang yang menderu, bercampur dengan kerinduan pada anak istri dan kampung halaman. Sedih di hari karena tidak bisa menikmati keindahan dan kebesaran hari penuh kemenangan itu bersama keluarga. Tidak sempat saling bersilaturahmi di hari yang penuh berkah.
Mereka harus merayakan hari besar Islam hanya dengan menu seadanya, bahkan tetap dengan sajian rutin pelayaran. Kesedihan pula karena salah satu kawan mereka yang jatuh belum ditemukan. Entah di mana dan bagaimana nasibnya.
Namun wajah cerah tetap mewarnai wajah-wajah mereka yang seakan sudah terbiasa dengan alam yang penuh tantangan. Sekaligus bentuk kepasrahan kepada Sang Khalik yang memegang hidup dan matinya manusia.
Barang siapa yang' diselamatkan oleh Allah, tidak ada sesuatu pun yang bisa mencelakakannya. Barang siapa yang telah sampai ajal kematiannya, tidak ada sesuatu pun yang bisa menundanya. Barangkali itu juga telah membenam di dalam dada setiap perwira dan pelaut. Wajah mereka tak pernah lagi dihantui kepanikan dan kecemasan di luar batas yang hanya menambah kesedihan.
Di antara agungnya suara takbir memuji kebesaran Allah, mereka juga-berdoa bersama untuk keselamatan Didit. Terlihat mereka begitu khusyuk dan tutus dalam doanya, agar Didit segera ditemukan dan masih bisa lagi berkumpul bersama.
Ya, doa tetaplah satu kekuatan ampuh yang tak terbantahkan ketika semua daya dan upaya telah dikerahkan. Doa yang menegakkan harapan ketika semua sudah berada di luar kekuasaan kita. Meski rasanya begitu pekat mengharap, tapi doa adalah kekuatan. Doa adalah anugerah yang padanya kita bersandar memohon segalanya kepada sang Khalik.
Meskipun dengan kenyataan dan kerasnya alam saat itu, rasanya begitu kecil dan mustahil untuk menemukan Didit. Hanya keajaiban dan mukjizat Allah yang akan membawa Didit kembali. Namun sungguh, pantang bagi pelaut untuk berputus asa. Pantang untuk berhenti berharap pada keagungan dan kebesaran Sang Pencipta.
Allah begitu dekat dengan kita. Allah akan datang jika kita memanggil-Nya. Allah akan mendengarjika kita menyeru­Nya. Allah akan memberi jika kita meminta. Allah akan mengampuni jika kita bertaubat dan memohon ampun. Sungguh Allah Maha luas kasih sayang dan rahmat-Nya.
Gemuruh suara takbir terus melantun bergema monghidupkan malam yang makin kelam. Bunyi kalimat kebesaran Allah itu terasa menggetarkan kalbu, menyeru alam untuk ikut bertakbir bersama.
Takbir terasa ikut menukik tajam, menerobos tanpa jeda ke balik punggung Laut Banda. Lautan pun ikut bertakbir. lautan pun bersujud bersimpuh kepada sang Pencipta dalam alunan takbir dan tasbih. Subhanallah.
Arus gelombang Laut Banda yang semula garang kini perlahan menjadi tenang. Deru angin yang semula begitu kencang seketika menjadi landai. Langit yang keruh kelam seketika menjadi cerah. Bintang-bintang tampak begitu indah memancarkan cahaya. Dibarengi pula oleh dewi malam sang rembulan yangtak malu-malu bersinar terang. Sungguh indah memukau.
Pancarannya di lautan laksana pernik-pernik intan berlian menerpa butiran air laut yang bergerak pelan. Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baik bentuk. Kapal laksana merayap di atas lantai kaca, rata dan licin. Tidak sedikitpun terasa gelombang.
Allah telah begitu cepat mendengar doa dan menjawabnya. Allah laksana langsung, mengabulkan doa mereka. Tetes air mata keikhlasan dan kesadaran seolah meruntuhkan semua kasih sayang Allah kepada mereka. Betapa manusia tak ada artinya di tengah lautan luas yang hanya dikuasai oleh Sang Pencipta.
Begitu khidmat. Begitu khusyuk. Begitu syandu. Gema takbir seolah ingin menjumpai Allah dalam keikhlasan dan kebeningan hati. Mereka memohon agar Didit Revolusi dikembalikan kepada mereka.
Pencarian sudah berjalan hampir lima jam meski tanpa harapan pasti. Rasanya hanya bisa mengharap kuasa Allah jika menemukan Didit dalam keadaan hidup. Namun apapun keadaannya, mereka bertekad untuk terus mencari dan menemukan Didit.

Sepasang Lumba-lumba

Waktu berlalu. Malam semakin larut. Sinar bulan semakin benderang menyinari bentangan air yang beriak tenang. Membentangkan pancaran keperakan sekaligus keemasan di kejauhan.
Dari arah lambung kanan, di kejauhan tampak riak-riak air seperti ada gerakan-gerakan ringan. Setiap riak air yang naik memantulkan sinar rembulan. Semakin dekat. Semakin jelas.
Tampaklah dua sosok hitam yang sedang berenang mendekat. Apa itu? Subhanallah. Sepasang lumba-lumba
Seketika perhatian seluruh ABK tertuju ke arah dua ekor himba-lumba yang beriringan rapat mendekat. Bahkan ada ABK yang bersiul dan bertepuk tangan, yang dianggap sebagai suara-suara pemancing agar mamalia laut itu muncul ke permukaan. Dua ekor ikan penolong itu semakin dekat dan tampak nyata di antara mereka ada sesuatu. Mereka mendorong-dorong sesuatu di antara sirip-siripnya.
"Itu Didit!" teriak seseorang.
Seseorang lainnya segera mengambil alat teropong untuk       memastikan.
"Betul, itu Didit!" serunya.
Sepasang ikan lumba-lumba itu berhenti dengan jarak 10 meter dari lambung kanan kapal. Dari atas segera diterjunkan dua orang penyelam lengkap dengan pelampung dan tali pengaman.
Sebelum dua orang penyelam itu mencapai tubuh Didit, sepasang lumba-lumba beratraksi dengan meloncat-loncat lalu tenggelarn dan muncul lagi, sebanyak tiga kali. Setelah itu keduanya tidak muncul-muncul lagi, seakan mereka berpamitan dan yakin kalau benda yang mereka bawa sudah mendapat pertolongan dan terjamin keamanannya.
Begitu dua orang penyelam berhasil memegang tubuh Didit yang sudah lemas dan tidak sadarkan diri, tali segera ditarik. Dalam beberapa menit, tubuh Didit berhasil diangkat ke atas geladak.
Subhanallah! Semua menitikkan air mata. Semua sujud syukur. Semua memuji kebesaran Allah! Allah-lah yang menggerakkan sepasang lumba-lumba untuk mengantar tubuh Didit dan menyelamatkannya. Didit masih bernapas dan segera dirawat di ruang kesehatan.
Sementara sepasang lumba-lumba itu telah pergi, tanpa mengharap terima kasih. Gema suara takbir semakin menggemuruh memenuhi alam dan lautan yang semakin tenang. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Cerita Didit

Menjelang fajar, saat akan dilaksanakan shalat Idul Fitri, Didit sadar. Bahkan kembali pulih seperti sedia kala. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Hanya ada luka kecil di kening kirinya. Didit juga mengikuti shalat Idul Fitri bersama-sama teman-temannya.
Sungguh Maha Besar Allah. Tidak bisa diukur dengan daya pikir kita dan rumus logika manapun. Setelah lebih dari lima jam terbawa arus dan terombang-ambing di laut, di malam gelap, tanpa sepotong alat apapun untuk bertahan, ternyata Didit masih selamat bahkan kembali pulih dalam waktu sekejap. Tentu saja merupakan kisah yang sangat menarik dan sulit dipercaya.
Sedangkan Didit sendiri ketika telah pulih, mengatakan hahwa dirinya tidak merasa kalau dia jatuh ke laut. Padahal semua orang melihatnya jatuh ke laut. Didit hanya merasa ada seseorang mengajaknya jalan-jalan. Lalu Didit ikut orang  tersebut dan melambai-lambaikan tangannya kepada teman­temannya di kapal. Menurutnya saat itu, semua orang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Itulah kenyataan yang ada dan sekaligus misteri yang sering ditemukan di laut yang masih sarat teka-teki alam. Barangkali itulah kenapa ketika berada di lautan dilarang kosong pikiran atau melayang-layang memikirkan sesuatu yang tidak jelas. Harus selalu berdoa, berzikir, bertasbih, dan mengagungkan asma Allah. Tidak boleh melamun.

Lautan Hikmah

Setelah diuji dengan keadaan Didit yang jatuh dan sempat membuat semua orang begitu sedih, ternyata datang hikmah yang luar biasa. Ada berita bagus pun telah membuat wajah para ABK berbinar-binar. Cerah. Senyumnya mengurai. Memang, sering kali Allah menurunkan hikmah tidak selalu diawali dengan proses yang menyenangkan, kadang sangat tidak menyenangkan, bahkan mengerikan.
Datang berita bahwa kapal diizinkan kembali ke pangkalan. Rencana melanjutkan perjalanan ke Merauke yang masih jauh itu batal. Pujian dan ucap syukur terus mengalir dari mulut-­mulut mereka di antara lantunan takbir yang terus menggema.
Mercusuar Mandalika sudah tampak di depan mata seakan melambai-lambai dan mengucapkan selamat datang. Para ABK semakin tidak sabar untuk segera sampai.
Serasa laju kapal seakan malah makin lambat dan lama. Terbayang wajah anak-anak dan istri bagi yang sudah berkeluarga. Ternyata Allah masih memberi mereka kesempatan untuk melaksanakan Idul Fitri bersama sanak keluarga meski agak sedikit terlambat. Terbayang pula wajah­wajah para kekasih bagi anggota yang masih bujangan.
Terasa sebuah kalimat menyembul di wajah-wajah mereka, “Lautku .... apapun yang terjadi aku tetap mencintaimu, meski dengan segala hal yang penuh misteri dan teka-teki. Ya Allah, lindungilah aku dalam perjalananku di lautan-Mu yang Maha Iuas. Amin."



Sumber :
Buku “LAUTAN CINTA” Kisah-kisah Kebesaran ALLAH di Tengah Samudera
Oleh : Kinoysan & Hartono
Penerbit : PT. Lingkar Pena Kreativa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar