Senin, 16 Agustus 2010

PENYU PENYU RAKSASA








Bencana Tsunami

Bencana tsunami Pangandaran telah merenggut segalanya. Nyawa, harta, tempat, dan cinta. Banyak korban bergelimpangan hanya dalam hitungan menit. Harta rusak dan luluh lantak dalam sekejap mata. Para suami, istri, anak, dah orangtua menjadi korban dalam bencana yang mengerikan itu.
Rusmini, seorang wanita tua ikut kehilangan segalanya. Setelah kesepian batin melandanya selama dua puluh tahun, sejak suaminya yang seorang prajurit tewas dalam tugas operasi integrasi Timor-Timor, kini ia harus kembali kehilangan anaknya. Anak semata wayang yang dengan sudah payah dibesarkan tanpa kehadiran seorang ayah.
Cahya, pemuda tegap perkasa yang barn berusia 21 tahun, dimana Rusmini menemukan seluruh potret dan karakter suaminya yang tegas penuh tanggung jawab, kini telah tiada. Keganasan laut telah memaksanya untuk hidup dalam kesendirian. Sunyi. Sebatang kara.
Namun bukan Rusmini kalau tidak tegar menerima semua itu. Istri seorang prajurit sudah terbiasa dengan tempaan suka duka kehidupan. Segala sesuatunya berasal dari Allah. Segalanya pula akan kembali ke Allah. Begitulah seharusnya setiap Muslim bersikap. Namun hati manusia mana yang tidak rapuh? Perasaan siapa yang tidak sedih dengan semua bencana? Toh, Rusmini berusaha tersenyum menghadapi tantangan hidup ke depan. Dia yakin Allah senantiasa berada di sampingnya.
Semula Rusmini sependapat dengan mereka yang menganggap korban-korban tsunami yang belum ditemukan dinyatakan hilang dan meninggal. Selama tujuh hari berturut-­turut diadakan acara tahlilan di rumah yang sangat sederhana. Perumahan dinas prajurit di kawasan Surabaya Utara. Mereka mendoakan arwah Cahya dan semoga Allah mengangkatnya menjadi seorang syuhada.
Tiga bulan sebelumnya, Cahya berangkat ke Pangandaran, Pelabuhan Ratu, setelah mendapat panggilan kerja. la mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta. Praktis sejak itu pulalah Rusmini melihat anaknya untuk terakhir kali.

Tulusnya Doa

Setiap malam Rusmini larut dalam doa dan shalat. Dia pasrahkan diri kepada Allah. Bahkan nyawanya sendiripun ikhlas untuk diambil kembali olah Sang Pencipta. Tapi rupanya Allah berkehendak lain. Yang sangat tidak masuk akal atau mustahil pun akan menjadi wajar dan benar. Sejak Cahya dinyatakan meninggal sebagai korban tsunami, Rusmini selalu inemenuhi dirinya dengan doa-doa demi kelancaran jalan hidup anaknya di akhirat.
Dari doa itulah lahir mimpi-mimpi yang selalu menemani tidur Rusmini. Berulang kali. Dan itu membuat Rusmini mengubah pendiriannya. Dia yakin kalau anaknya memang hilang, tapi tidak mati. Cahya masih hidup dan Rusmini yakin suatu saat mereka akan dipertemukan kembali.
Wanita tua yang menempati rumah dinas sangat sederhana itu bernasib lebih baik dari pada teman-temannya para purnawirawan atau wara kawuri lainnya. la tidak tergusur dari rumah yang sudah ditempati puluhan tahun lamanya. Sementara para purnawirawan lainnya harus adu bentrok dan tergusur. Ironis. Namun sebenarnya itu adalah pelajaran herharga bagi setiap prajurit. Bagaimanapun rumah dinas, milik negara. Boleh ditempati semasa tugas dan harus dlikembalikan begitu tugas usai.
Kenyataan di negeri ini terlalu banyak orang yang berpikiran sempit dan sesaat, tidak ber-orientasi mana depan. Mereka menempati rumah dinas dengan nyaman. Lupa dan tak berpikir untuk mempunyai rumah pribadi. Baru rebut setelah masa pensiun di depan mata dan negara hendak mengambil alih kembali.
Terlepas benar atau salah, tidak menghargai jasa atau apapun alasannya, rumah dinas adalah milik negara. Boleh saja mereka merasa berjasa pada negara, tapi bukan berarti kita boleh menuntut sesuatu yang bukan milik kita, bukan hak kita.
Entah atas dasar apa Rusmini lolos dari target gusuran itu. Bisa jadi karena suaminya tewas di medan tugas. Namun, memang banyak kejadian yang tak bisa dilogikakan, adanya campur 'tangan Tuhan' yang tidak kasat mata.

Pantai Landai

Sebuah semenanjung menjorok ke laut dan dipenuhi hutan lindung. Berbagai ragam flora selalu hadir dalam mimpi-mimpi Rusmini. Keyakinan Rusmini semakin kuat kalau anaknya masih hidup dan berada di sekitar pantai itu. Meski sama sekali asing, pantai apa namanya dan di mana letaknya.
Pantai landai yang mengapit semenanjung itu, bahkan saat laut surut, batas tingginya hanya sebetis, hingga kurang lebih lima ratus meter ke tengah laut. Pantai itu selalu ramai dengan para pengunjung. Apalagi di sebelah barat terhampar pasir putih, sangat cocok untuk berjemur di slang hari.
"Mariani!" desis Rusmini tersentak dari tidurnya. Nafasnya tersengal-sengal.
"Ada apa, Bude?" tanya Mariani, keponakannya yang sengaja menemani Rusmini sejak Cahya dinyatakan hilang dan meninggal. Gadis belia yang baru beranjak remaja itu masih rnenggantung kantuknya.
"Kakakmu, Mas Cahya!" seru Rusmini.
Mariani bingung. "Mas Cahya kenapa, Bude?" "Kakakmu datang."
Mariani menarik napas panjang. Dadanya terenyuh dan haru. Ikut merasakan kesedihan budenya.
"Bude ini ada-ada saja. Itu hanya mimpi. Mas Cahya sudah meninggal. Sudah, lebih baik Bude tidur lagi." seru Mariani berusaha menenangkan budenya.
"Nggak, Mar. Kakakmu Cahya masih hidup. Bude yakin itu!" seru Rusmini bersikeras.
Mariani kembali menghela napas panjang. "Ya, kalau begitu kita berdoa saja agar Mas Cahya segera kembali," kata Mariani akhirnya.
Rusmini semakin larut dalam mimpi-mimpinya. Mimpi yang seolah selalu datang untuk memberikan pertanda. semakin menguat pula keyakinan Rusmini bahwa anaknya masih hidup. Gambaran-gambaran pantai yang mengisyaratkan kalau anaknya berada di sekitar tempat itu semakin sering hadir dalam mimpi-mimpinya.
Deburan ombak mengempas pantai. Lalu air mengisi relung-relung teluk dan memutari karang-karang. Pemandangan dalam mimpinya itu selalu menggelitik keinginan Rusmini untuk mendatangi tempat itu. Dia yakin di sekitar daerah yang masih asing itu, akan menemukan anaknya kembali.
Namun ke mana dan di mana hendak mencari, ia tak tahu. Bayangan yang perlahan masuk tertelan ujung laut yang seakan tak berujung batas, makin tegas menggantung di pelupuk mata Rusmini.
Doa Rusmini semakin bulat dan khusyuk. la memohon kepada Allah agar ditunjukkan tempat itu dan dapat menemukan anaknya kembali. Allah Maha Pemurah. Maha Mendengar. Maha Mengetahui dan Maha Mewujudkan Doa. Begitulah kiranya yang terjadi pada Rusmini.
Jika Allah menghendaki, tidak ada sesuatupun yang sulit. Meski tanpa tujuan pasti, tanpa keraguan Rusmini dengan diantar Mariani berangkat. Rusmini dan Mariani menaiki angkutan sesuai dengan kekuatan nalurinya. seakan ada kekuatan ghaib yang menuntunnya.
Setelah melintasi bentangan perkebunan teh di bilangan Cigaru, disusul hamparan hutan pinus di Kiara Dua, Rusmini istirahat dulu di Kecamatan Jampang Kulon. semakin kuat getaran naluri keibuannya. Aura anaknya serasa semakin kuat dan semakin dekat.

Pantai Pangumbahan

Setelah berdoa, taktahu harus menuju ke mana lagi, tiba-­tiba seseorang yang sama sekali belum pernah dikenalnya mengajaknya ke Pantai Ujung Genteng. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 km, mereka sampai di Pantai Ujung Genteng yang berpasir putih. Seketika tubuh Rusmini gemetar dan berkeringat dingin.
"Kenapa, Bude?" tanya Mariani dengan cemas karena melihat perubahan drastis di wajah Rusmini.
"Persis seperti yang datang dalam mimpi Bude, Mar!" desah Rusmini. Lalu dia bersimpuh menghaturkan sujud. Allah Maha Segalanya. Dia telah menghadirkan gambaran pantai ke dalam mimpinya sama persis seperti layar proyeksi. Subhanallah!
"Tapi di mana Mas Cahya, Bude?" Mariani tampak ragu.
"Pasti ada di sekitar sini. Kita pasti akan menemukannya!" jawab Rusmini optimis.
Malam keburu turun mendekap malam. "Sudah malam, bude. Kita menginap di mana?" Mariani tambah cemas.
"Tenanglah. Allah pasti akan senantiasa memberi kita petunjuk. Mari kita shalat maghrib!"
"Di sini?"
"Ya, justru di sini kita lebih menyatu dengan dam. Jauh dari kebingaran dan semakin mendekatkan kita pada Allah.",
Di atas pasir putih itu, Setelah hampir satu jam mereka mengitari pantai, bahkan sempat menjumpai bekas kamp tentara Jepang, akhirnya mereka shalat maghrib berjamaah. Bersatu dalam hening. Larut dalam sunyi. Luruh dalam khusyuk dan pasrah.
Gelap semakin mendominasi. Suasana menjadi hitam. Rusmini masih larut dalam doanya. Dia konsentrasikan batinnya seakan mengajak langsung berdialog dengan Allah.
Seusai wirid dan melipat sajadah, tiba-tiba seseorang sudah berada di dekat mereka. Mereka tak tahu kapan, siapa, dan dari mana laki-laki tua itu muncul.
Rusmini mencoba menyapanya dengan beruluk salam. Ternyata laki-laki tua itu menjawab dengan ramah. Dalam sekejap terjadi dialog penuh keakraban dan kekeluargaan. Dari laki-laki tua itu Rusmini dan Mariani tahu kalau nama pantai tersebut Pantai Pangumbahan. Terletak di semenanjung Ujung Genteng, Pajampangan Selatan, kabupaten Sukabumi. Lalu Rusmini mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya ke daerah itu.
Orangtua itu sejenak merenung. Lalu menengadah ke langit kelam. Tanpa sebutir bintang pun, apalagi tembias sinar bulan.
"Sebentar lagi penyu-penyu hijau akan keluar dan bertelur," gumamnya seakan pada dirinya sendiri.
"Apa hubungannya dengan anak saya?" tanya Rusmini penasaran.
"Semoga Allah akan mempertemukan kalian, bersabarlah!"
Rusmini dan Mariani saling berpandangan. Namun betapa terkejutnya begitu kembali memalingkan muka, laki-laki tua yang sempat mengajaknya bicara telah lenyap tanpa bekas. Entah ke mana.
"Bude!" cemas Mariani, wajahnya seketika pucat pasi.
"Nggak apa-apa. Dia bukan setan atau hantu, tapi penunggu tempat ini. Insya Allah dia akan membantu kita."

Penyu Hijau

Dalam waktu berangsur tak terlalu lama, dari arah laut terdengar gemuruh. Lalu muncul berpuluh-puluh penyu hijau menuju darat. Mendekati Rusmini dan Mariani yang takjub melihatnya. Penyu-penyu itu terdiri dari bermacam-macam ukuran. Bahkan ada yang sampai mencapai diameter dua meter lebih.
Sementara Rusmini dan Mariani mengabaikan dulu keinginan untuk menemukan Cahya. Dengan penuh kekaguman mereka menunggu penyu-penyu itu menuju pantai, meski membutuhkan waktu sampai satu jam.
Tujuan penyu-penyu hijau itu mendarat hanya untuk bertelur. Rusmini semakin larut dalam kekaguman akan kebesaran Allah. Suatu pemandangan indah yang belum pernah Rusmini lihat sebelumnya. Meski proses bertelur dari penyu-penyu itu sampai dua jam, tapi cukup mengasyikkan. Mereka lebih kagum lagi ketika penyu-penyu bertelur dalam -sekali proses dengan jumlah yang sangat fantastic. Sampai mencapai 100 butir dari seekor penyu.
Rusmini dan Mariani dengan sabar menunggu. Peristiwa mengesankan terjadi lagi saat penyu-penyu itu selesai bertelur dan akan kembali ke laut. Tiba-tiba seorang anak muda datang. Dengan asyik dia bercanda ria dengan penyu-penyu itu. Bahkan kelihatan senang hati dan ringan saja menaiki punggung penyu yang sampai selebar meja.
"Cahya!" desis Rusmini ragu, tapi nalurinya kuat bahwa dia adalah Cahya anaknya.
" Bude !” Mariani memandang budenya dengan ragu.
"Dia kakakmu, Mariani!"
Namun anak laki-laki itu tak perduli. Dia terus menaiki punggung penyu menuju laut. Sambil bersiul- siul.
"Cahya...!" panggil Rusmini.
Namun anak muda•itu tetap tak bergeming. Rusmini jadi ragu, tapi nalurinya tetap menuntut untuk mengejar dan mendekat. Dengan rasa penasaran, Rusmini berlari mendekati laki-laki muda yang masih asyik menunggangi punggung penyu. Mariani mengikuti dari belakang.
Rusmini semakin gemetar dan histeris begitu jarak mereka hanya sekitar dua meter. Laki-laki muda itu benar-benar Cahya. Ya, Cahya anaknya.
"Cahya... ini Ibu, Nak!" sapa Rusmini dengan suara gemetar dan ingin rasanya mendekap tubuh anaknya.
Namun keraguan masih menyergap Rusmini, betulkah dia Cahya? Anaknya? Laki- laki muda itu memandangi Rusmini. Namun jelas kalau ia tidak mengenali ibunya, apalagi Mariani, saudara sepupunya.
"Mas Cahya!" sapa Mariani, sebab batinnya yakin kalau dia saudaranya.
Cahya diam saja meskipun ia mendengar panggilan Mariani. Sosok itu terlihat asing dengan dua perempuan yang ada di hadapannya. Sepertinya Cahya kehilangan ingatan. Tidak ingat apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Seperti orang amnesia. Dalam gelap, tampak kilatan mata Cahya yang
kosong.
Rusmini sangat sedih. la prihatin dengan keadaan anaknya. Kebahagiaan beberapa saat sebelumnya, seperti tengah diuji kini. la telah menemukan anaknya yang hilang, tapi anaknya tak juga kembali. Anaknya tak lagi mengenalinya. Kesedihan macam apa pula yang harus ditanggung seorang ibu, selain seperti yang dialami oleh Rusmini?
Hatinya nyeri. Ingin rasanya ia menangis dan memeluk erat-erat sosok pemuda di hadapannya. Lalu dengan sebisa kata yang ingin dibenamkan, ingin rasanya Rusmini menjelaskan kalau ia adalah ibunya. lbu kandung yang melahirkan dan membesarkannya dengan susah payah. Titik­-titik air mata terasa memenuhi pelupuk bening wanita lewat paruh baya itu.
Lalu seperti ada yang membisiki telinga Rusmini untuk berusaha mengembalikan ingatan Cahya. la melantunkan doa dan shalawat seperti yang sering diucapkan oleh Cahya.

Shalawat Jadi Mukjizat

Allahumma shalli 'ala Muhammad, ya Rabbi shalli wasallim. Rabbana ya rabbana, dzalamna anfussana wa inlam taghfirlana wa tarhamna lana kunanna minal khasirin.
Allahumma shalli 'ala Muhammad ya Rabbi shalli 'alaihi wasallim. Rabbana ya rabbana, dzalamna anfussana wa inlam taghfirlana wa tarhamna lana kunanna minal khasirin.
Rusmini mengulangnya berkali-kali dengan suara yang sebening mungkin. Mariani lalu mengikuti apa yang dilakukan oleh budenya. Keduanya benar-benar membawa hati dan ketulusan dalam shalawat tersebut. Semakin lama keduanya semakin khusyuk dan khidmat membaca shalawat. Mereka seolah terbawa pada dunia yang lebih bening dengan keteguhan shalawat.
Penyu-penyu hijau itu pun berhenti. Mereka seakan turut larut dalam samudera shalawat dan doa. Benarlah firman Allah, bahwa segala sestratu yang ada di muka bumi ini semuanya bertasbih, mengagungkan asma Allah. Hanya saja kita sebagai manusia tidak mengetahui bahasa tasbih mereka.
Penyu-penyu hijau dengan berbagai ukuran itu benar­-benar ikut khidmat dalam doa. Sepertinya mereka juga tunduk ikut mengucapkan shalawat mengikuti Rusmini dan Mariani. Laut pun saat itu begitu tenang dan patuh. Nyaris tak ada gerakan yang berarti.
Entah sampai berapa lama Rusmini dan Mariani larut dalam doa. Begitu pula dengan penyu-penyu hijau. Mungkin saja lautan dan segala yang ada di sekitar tempat itu ikut bershalawat seperti yang dilakukan Rusmini dan Mariani. Mereka benar-benar khusyuk hingga tak menyadari lagi apa yang akan terjadi pada Cahya. Mereka seolah menyerahkan semua keputusan pada Sang Pemberi Keputusan Terbaik, Allah Tuhan Yang Esa.
Lalu, perlahan tetapi pasti... perubahan besar sedang terjadi. Bumi tempat kaki Rusmini dan Mariani berpijak serasa bergerak-gerak. Keajaiban lain sedang terjadi. Laki-laki muda  di atas punggung penyu besar itu turun. Wajahnya berubah total.
"lbuuu ... !" desisnya seolah ada sentakan hebat yang membuatnya tersadar akan siapa yang ada di hadapannya.
Alam seperti terhenti mendengar teriakan Cahya. Lantunan shalawat berhenti jeda dengan sendirinya. Cahya yang sudah turun dari punggung penyu besar itu berjalan setengah berlari menghampiri Rusmini yang masih terpaku. Menunggu mukjizat dan keajaiban datang.
"lbuuu ... !" Sekali lagi Cahya memanggil Rusmini. Pekat, dalam, dan penuh keharuan.
Spontan Rusmini merentangkan kedua tangannya. Air mata menitik perlahan di wajahnya. Air mata kebahagiaan dan keharuan yang menyesaki seluruh rongga kalbunya.
"Cahya, anakku! Kamu sudah sadar, Nak!" seru Rusmini. Keduanya berpelukan dengan sangat lama.
"Mas Cahya!" seru Mariani setelah beberapa saat membiarkan Bude dan kakak sepupunya itu larut dalam keharuan.
Cahya menatap pada Mariani dan tersenyum. "Makasih kamu mau nemenin ibu, Mar," kata Cahya pelan.
Lalu Cahya segera kembali menatap ke arah penyu-penyu hijau yang sepertinya masih menanti. Dengan cepat Cahya menggerakkan tangan seperti isyarat agar mereka kembali ke tempat semula. Dan seperti diperintah, barisan penyu-penyu hijau raksasa itu segera kembali ke lautan. Begitu patuh dan taat. Seolah mereka datang hanya untuk mengantarkan Cahya dengan selamat. Rusmini dan Mariani hanya bisa melihat semua itu dengan kagum dan takjub.
Sungguh Maha Besar Allah yang mencipta segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan selalu memiliki rasa kasih sayang. Penyu-penyu hijau raksasa itu adalah binatang dan tidak punya perasaan maupun pikiran. Namun mereka adalah makhluk yang diliputi oleh kasih sayang.

Kisah Cahya

Beberapa waktu setelah kondisinya benar-benar pulih, Cahya baru menceritakan kisah hidupnya. Badai tsunami telah memorak-porandakan segalanya. la pun terseret gelombang yang membuatnya tak ingat apa-apa lagi. Benar-benar tidak tahu di mana dirinya berada.
Sepanjang waktu yang kemudian diketahuinya ia berada di lautan. Bersama dengan penyu-penyu hijau raksasa yang tidak diketahui berasal dari mana. Berhari-hari ia hidup bersama mereka. la juga melanglang dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan cara yang mudah, naik di atas punggung penyu-penyu raksasa itu. Dan entah kenapa, penyu-­penyu hijau raksasa itu sepertinya selalu menurut saja atas perintahnya.
Setiap kali pula penyu-penyu hijau itu pergi ke darat untuk bertelur, lalu kembali ke lautan. Sementara telur-telur penyu yang ada di daratan dibiarkan sendiri menetas karena panasnya pasir pantai. Lalu anak-anak penyu akan hidup dan beradaptasi dengan sendirinya.
Cahya tak ingat berapa lama ia ada bersama mereka. la juga tak pernah merasa kelaparan saat bersama mereka. Tak tahu juga bagaimana seolah ia sudah bisa beradaptasi dengan kehidupan laut, meski sebelumnya ia tak pernah memelajarinya.
Lalu tiba-tiba saja di saat penyu-penyu hijau raksasa itu ke darat, ia kembali mengikutinya dan bertemu dengan ibunya. Namun ia tak ingat sama sekali siapa mereka. la baru tersadar setelah mereka mengucapkan doa dan shalawat.
Doa dan shalawat itulah yang serasa membangunkan jati diri aslinya. Perlahan, Samar, akhirnya ia ingat siapa sebenarnya dirinya. Lalu perlahan tapi pasti pula ia mulai mengingat segala kejadian yang mengerikan. Namun, sungguh Allah-lah yang telah menjaganya selama ini. Dan ia tak bisa menceritakan sekaligus tak tahu bagaimana hal itu bisa terjadi.

Lautan Hikmah

Ketajaman nurani dan kekuatan doa seorang ibu, akhirnya mempersatukan antara ibu dan anak. Orang yang sudah dinyatakan meninggal dan selama dua tahun hilang akibat bencana tsunami, ternyata masih segar bugar dan -sehat wal afiat.
Meskipun kondisi kejiwaan Cahya sempat mengalami goncangan, tapi Allah telah menunjukkan kekuasaan-Nya melalui doa dan ketulusan cinta ibu. Cahya bisa kembali inampu mengingat masa lalunya. Kembali normal seperti sedia kala setelah Rusmini mengumandangkan kalimat-kalimat Air seperti yang sering dibacakan Cahya setiap saat menjelang shalat. Subhanallah, Sungguh Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.

Sumber :
Buku “LAUTAN CINTA” Kisah-kisah Kebesaran ALLAH di Tengah Samudera
Oleh : Kinoysan & Hartono
Penerbit : PT. Lingkar Pena Kreativa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar