Rabu, 04 Agustus 2010

MUALLAF DAN SETALAM EMAS


Pada masa Malik bin Dinar; hidup dua orang bersaudara beragama Majusi. Salah seorang telah menyembah api selama tujuh puluh tahun. Sementara satunya lagi tiga puluh tahun.
Sang adik berkata kepada kakaknya, "Mari kita lakukan uji coba terhadap api yang telah sekian lama kita sembah. Apakah api itu memuliakan kita atau justru membakar kita, sebagaimana ia telah membakar orang yang tidak mau menyembahnya. Jika me­muliakan kita, maka kita harus menyembah­nya. Namun jika tidak, tak perlu lagi kita me­nyembahnya."
Sang kakak setuju dengan usul adiknya. Keduanya lalu menyalakan api. Sang adik berkata kepada kakaknya, "Siapa yang lebih dulu memasukkan tangan ke dalam api ini?"
Sang kakak menjawab, "Engkau saja dulu."
Sang adik kemudian memasukkan ta­ngannya ke dalam api. Ternyata api itu mem­bakar jemarinya. la berkata, "Kakak, tidak perlu lagi kita menyembahnya dan magi kita menyembah Tuhan yang Esa. Semoga Dia tetap mengainpuni dosa-dosa kita yang se­kian lama meninggalkan-Nya."
Sang kakak menyetujui apa yang dika­takan adiknya, 'Jika demikian mari kita men­cari orang yang dapat membimbing kita pada jalan lurus tentang agama Islam."
Akhirnya mereka sepakat pergi kepada Malik bin Dinar agar bersedia mengajarinya tentang Islam. Keduanya menemukan Malik bin Dinar sedang duduk di tengah-tengah jamaah memberikan pelajaran.
Saudara tertua berkata kepada adiknya, "Aku ragu. Aku tidak jadi masuk Islam. Se­bagian besar usiaku telah aku habiskan untuk menyembah api. Seandainya aku jadi masuk Islam, tentu teman-teman dan saudaraku menghinaku."
Sang adik berusaha membujuk kakaknya agar tak berubah pendirian. Namun akalnya tetap keras kepala dan tetap akan pada aga­manya. Akhirnya, sang adik dengan keluarga­nya menemui Malik bin Dinar.
Mereka duduk tenang sampai Malik se­lesai memberikan pelajarannya. Pemuda ini bangkit menghadap Malik dan mencerita­kan semua yang dialami dengan kakaknya. Ia meminta kepada Malik untuk mengajarinya tentang Islam pada diri dan keluarganya.
Malik bin Dinar pun mengajari mereka hal ihwal ajaran Islam. Sementara jamaah yang menyaksikan mereka larut dalam dan mengalirlah air mata mereka. Ketika pemuda itu memohon diri pulang, Malik berkata, "Tunggulah sebentar, biar aku kumpulkan sedikit uang."
Namun pemuda ini menolak dengan berkata, 'Aku tidak menjual agama dengan uang.
Kemudian dia dan keluarganya menuju hutan. Mereka menemukan sebuah bangun­an rumah jelek yang tidak berpenghuni. Maka mereka tinggal di rumah itu.
Menjelang pagi, istrinya berkata, "Pergi­lah ke pasar dan carilah pekerjaan. Bila eng­kau telah dapat uang, belilah apa yang dapat kita makan."
Pemuda ini pun pergi ke pasar Namun tidak seorang pun yang mempekerjakannya, hingga ia tidak mendapatkan pekerjaan. Pemuda ini pun tidak mendapatkan uang sedikit pun.
Ia berkata dalam hati, “Jika begini, lebih baik aku bekerja kepada Allah saja."
Ia pun kemudian masuk ke dalam mas­jid, shalat di dalamnya sampai malam tiba. Ketika larut malam, la pun pulang ke rumah­nya dengan tiada membawa sedikit pun ma­kanan.
Istrinya bertanya, 'Apa tidak kau dapat­kan apa pun hari ini?"
Dia menjawab, “Aku telah bekerja pada Sang Raja (Allah). Tetapi Dia belum memberikan sesuatu, semoga saja besok Dia berkenan mengupahku."
Mereka melewati malam itu dalam ke­adaan lapar.
Menjelang pagi, kembali ia pergi ke pasar. Sama seperti kemarin, ia pun tak mendapat­kan pekerjaan. Kembali dia putuskan untuk beribadah pada Sang Raja. Ia shalat di dalam masjid sampai malam. Setelah itu pulang dengan tak membawa apa pun.
Melihat suaminya pulang dengan tidak membawa apa pun, istrinya kembali bertanya, Apakah hari ini engkau tak membawa apa pun ?"
Sang suami berusaha menghibur istrinya dengan mengatakan semoga Sang Raja akan memberikan upah padanya.
Hari jum'at tiba. Ia pun seperti hari-hari sebelumnya, pergi ke pasar. Sama seperti hari-hari yang lalu, ia pun tak mendapat pe­kerjaan. Ia pun memutuskan kembali masuk ke dalam masjid.
Setelah shalat dua rakaat, ditengadah­kannya kedua tangannya ke langit dan


berkata, "Ya Allah, engkau Pelindung, Maha Pemurah lagi Malia Penyayang. Engkau muliakan aku dengan Islam. Maka dengan kemuliaan agama yang Engkau berikan kepadaku, yang memiliki kedudukan yang agung di sisi-Mu yaitu hari jum'at. Aku mohon ke­pada-Mu, angkat dan hilangkanlah kesibuk­an urusan nafkahku dari ruang hatiku. Anugerahkanlah kesibukan urusan nafkahku dari ruang hatiku. Anugerahkanlah rizki kami dari arah yang tak terduga. Ya Allah, aku malu pada keluargaku, aku khawatir pendirian mereka akan berubah. Sebab mereka baru saja masuk Islam."
Setelah itu ia berdiri melanjutkan shalat dengan khusyuknya, tawadhu hingga tiba waktu shalat jum'at.
Sementara istri dan anaknya di rumah menderita kelaparan yang demikian sangat. Pada saat itu seorang lelaki mengetuk pintu rumah. Sang istri menemuinya dan dilihatnya seorang pemuda rupawan di depan pintu. Di tangannya, talam penuh dengan emas yang ditutupi sapu tangan. Orang ini berkata, "Terimalah ini! Sampaikan kepada sua­mimu ini adalah upah pekerjaannya selama dua hari, pesankanlah agar la lebih keras lagi bekerja, maka Sang Raja akan melipatkan upah baginya."
Wanita ini terpaku, tak percaya. Diterima juga talam itu ternyata berisi uang seribu dinar.
Wanita itu langsung mengambil satu dinar dan membawa kepada tukang emas, seorang Nasrani. Ditimbangnya emas itu yang ternyata bertambah dari satu mitsqal menjadi dun mitsqal.
Ketika sang suami selesai mengerjakan shalat jum'at di masjid tersebut, dia bermak­sud akan kembali ke rumah. Dibukanya sapu tangan dan diisinya dengan tanah. “Andai­kan istriku nanti bertanya, akan kukatakan bahwa ini adalah makanan," demikian ba­tinnya.
Betapa terkejutnya ketika ia sampai di rumah melihat hamparan permadani meng­hias rumahnya. Di tambah lagi dengan bau makanan yang membangkitkan nafsu makannya. Ia letakkan sapu tangan berisi tanah tersebut di samping pintu. Kemudian ia temui istrinya dan menanyakan mengenai se­mua itu.
Sang istri menceritakan seluruh yang dialami. Sang suami lantas bersujud penuh syukur kepada Allah SWT.
Sang istri bertanya, 'Apa yang kau bawa tadi?"
Sang suami menjawab, 'Aku tidak mem­bawa apa-apa."
Sang istri yang sudah tahu sebelumnya, segera menuju balik pintu dan mengambil bungkusan sapu tangan itu lalu membu­kanya. Ternyata ditemukan bukan tanah se­bagaimana yang dibungkus tadi, namun te­pung makanan sebagaimana yang diingin­kan oleh sang suami ketika akan pulang tadi.[]



Sumber :
Buku ‘ HIKMAH DI BALIK KISAH ‘
Pengumpul MB. Tamam
Penerbit : Hasyimi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar