Senin, 06 Juli 2009

ANTENA

Cerpen yang pernah terbit pada harian KOMPAS ini berkisah hampir mirip dengan kisah hidupku… …. Yang mana sang LAilatul Qadar mengajakku menunaikan ibadah haji ….. prosesnya begitu cepat pada usia yang relatif muda dan kondisi keuangan yang belum baik, dimana teman-teman lebih memilih membeli mobil dan rumah ………………………………………………………… aku lebih memilih berdagang dengan ALLAH dan mencari cintaNYA…….

Ternyata ibadah haji itu berat, aku bersyukur bisa menunaikannya selagi muda, dimana masih sehat dan kuat secara phisik. Begitu tiba di tanah suci, dimana kekuatan phisik sangat diperlukan seperti, berjalan jauh dari maktab ke masjidil haram, melempar jumrah dari maktab ke tempat lontaran, pulang ke maktab di mecca berjalan ber kilo-kilo meter……………… sungguh MENGERIKAN bila harus dilakukan pada usia udzur….. karena saya melihat begitu banyak jamaah haji yang berusia udzur yang tidak didampingi keluarganya hanya bisa tinggal di maktab….. sungguh menyedihkan

Alhamdulilah aku dapat membiayai dan masih dapat membantu ibuku selama di tanah suci……………………. TERIMA KASIH YA ALLAH yang telah memberi kenikmatan…………….. masih banyak lagi yang ingin kuceritakan, karena selama perjalanan di tanah haram seakan-akan aku baru saja kemaren melakukan ibadah HAJI.


Antena

Cerpen Hamsad Rangkuti

SELALU setiap bulan Ramadhan kucari tem­pat berbuka di luar rumah. Aku ingin vari­asi. Mencari suasana hati yang beda dari rutinitas. Adalah suatu kenikmatan ba­giku duduk berlama-lama di warung atau restoran sambil menunggu beduk. Aku bisa me­lihat orang duduk menahan naf­su menghadapi hidangan yang setiap saat tak ada yang mela­rang untuk disantap.

Dan mere­ka sebentar-sebentar melihat jam di tangan atau di dinding. Kadang-kadang radio itu disetel keras-keras mengumandangkan acara khas menjelang berbuka.

Kupilih warung pinggir jalan di bawah rentangan rel kereta listrik. Kereta sebentar-seben­tar melintas bising dan berhenti di atas sana. Warung itu berada di bawah stasiun kereta rel lis­trik itu. Orang banyak berjalan menuju ke arah yang sama, ke stasiun kereta api. Suasana itu menyenangkan. Kesibukan di sekitarnya beragam, kesibukan pasar, kesibukan pertokoan. lalu-lalang kendaraan umum. pekik peluit kereta api, bising gelinding rodanya, dan suara ra­dio menjelang berbuka.

Pada saat menunggu seperti itu datang seorang laki-laki dan duduk di depan mejaku. Dia mengenakan kopiah haji. Tam­pak letih, seperti orang baru saja berjalan jauh. Dia membawa tas kulit gantung di bahu dan kotak pipih persegi panjang, tidak di­bungkus, bergambar antena tele­visi. Diletakkannya kotak kar­dus bergambar antena televisi itu menyandar di dinding wa­rung. Dipesannya satu gelas mi­numan hangat. Dilihatnya jam gantung yang dikeluarkannya dari saku yang katupnya tiba-ti­ba terbuka. Dikeluarkannya bungkus plastik dari dalam tas. Tampak jelas membayang isinya berbutir-butix kurma.

Dibukanya simpul kantung plastik itu, disodorkannya ke­padaku. Aku kembangkan tela­pak tangan kananku dan kubi­lang terima kasih.

"Sebutir kurma sebagai pem­buka," katanya. Aku senyum menanggapi.

"Beli antena televisi, Pak Haji?" kataku.

"Ya. Tak tampak dengan jelas­ siaran langsung sembahyang ta­rawih dari Masjidil haram," ka­tanya.

"Di mana Pak Haji tinggal?" tanyaku.

"Tak terjangkau oleh antena yang lama. Selama ini tidak ku ku­hiraukan, tetapi sembahyang tarawih itu 'kan hanya setahun sekali. Tak lengkap rasanya kalau tidak melihat siaran lang­sung itu.. Untung ada stasiun tivi yang mau menyiarkannya se­cara langsung."

"Tahun berapa menunaikan ibadah haji?"

"Tahun 1995."

"Berapa ratus meter tanah terjual?"

"Tak semeter pun.

"Alhamdulillah. Apa usaha Pak Haji sebelum haji? Bukan sedikit uang untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1995 kalau tak salah sekitar tujuh juta."

"Saya hanya mengurus mas­jid, sampai sekarang."

"Hanya mengurus masjid bisa naik haji? Bergurau yang me­ngandung kebohongan tidak baik di bulan suci Ramadhan," kataku senyum. "Jangan sembunyikan rahasia Allah. Bagai­mana kok bisa sampai ke sana?"

"Semua itu memang rahasia Allah. Siapa yang bisa menduga saya bisa pergi ke sana?. Jalan Allah selalu saja ada. Dia da­tang tak pernah kita duga. Re­zeki itu datang seperti Lailatul Qadar. Penjaga masjid menu­naikan ibadah haji. Jalan Allah telah turun kepada penjaga masjid kita, kata mereka."

PADA suatu senja Lailatul Qadar itu datang. Kuajak dia berbuka meneguk segelas air dan sebutir kurma. Kami salat berjamaah. Setelah itu dia salat dua rakaat. Kemudian sebelum pergi dia salami aku.

"Tahun berapa menunaikan ibadah haji?" tanyanya sebelum melangkah.

"Belum," kataku jujur. "Kopiah haji itu?" ..

"Diberi Ustad Jalil yang baru pulang menunaikan ibadah haji tahun lalu. Kupakai untuk mengambil berkah. Apa yang dibawa dari tanah suci Mekah mengandung berkah. Terutama kopiah haji ini. Biasanya setiap Maghrib Ustad Jalil yang men­jadi imam. Tetapi senja ini be­liau berhalangan. Mungkin ti­dak enak badan."

Lailatul Qadar itu meman­dang padaku dan bertanya apa kerjaku. Kubilang kerjaku yang sesungguhnya, mengurus masjid ini. Membersihkan ruang dalam. Membersihkan pekarangan. Menjaga bak jangan sampai tak berair. Memasang tenda tambah­an untuk jemaah bila hari Jumat. Mengumandangkan azan setiap datang waktu. Membangunkan tetangga yang ketiduran menje­lang sahur di bulan puasa.

"Bapak mau menunaikan ibadah haji ke Mekah?" tanya Lailatul Qadar itu.

"Itu cita-cita setiap mukmin.

Lailatul Qadar itu senyum dan pergi meninggalkanku. Ba­rangkali orang itu musafir, Kui­ringi dia di halaman hingga sampai ke jalan besar. Kurasa dia datang dari jauh bersama keluarga yang menunggu di mo­bil. Dia masuk ke dalam mobil itu. Dan pergi entah ke mana.

PADA suatu hari, tidak lama sepeninggal tamu itu, datang se­orang pria mencariku. Orang itu mengaku membawa amanah dari orang yang. tidak tinggal sekota dengan kami dan memin­tanya mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan perja­lanan haji seseorang. Atas izin Allah semuanya berjalan lancar, seolah aku tidak dirintangi satu halangan apa pun.

Seluruh penduduk telah me­ngetahui, Insya Allah aku, si penjaga masjid hendak menu­naikan ibadah haji tahun ini. Orang tak henti-henti membi­carakan bahwa Lailatur Qadar telah datang kepadaku pada Ramadhan tahun ini. Pada hari pelepasan itu, di rumah sudah banyak handai taulan yang da­tang hendak mengucapkan sela­mat jalan. Aku akan sampai dan menginjakkan kaki di bumi yang pernah disentuh kaki Ra­sulullah. Begitu rindunya aku disentuh udara Mekkah, di ba­wah langitnya yang biru bersih. Meneguk air dari sumur zam­zam, membasuh kerinduan yang telah lama mengakar dalam diriku. Berziarah ke makam Ra­sulullah dan salat di Rawdah yang mulia. Sujud di Maqam Ibrahim sambil memohon ampun. Insya Allah aku akan sujud di Rawdah sambil membayang­kan wajah Rasulullah tercinta, seperti yang tampak dalam mimpiku. Alhamdulillah semua yang kurindukan itu terwujud oleh izin Allah. Aku berjalan setiap hari dari pemondokan di Mishfalah, menyusur aspal jalan setiap hari dan setiap waktu salat di Masjidil haram.

Menjelang akhir perjalanan ibadah itu kuusahakan salat tak berjarak dengan Kabah. Usaha semacam itu hanya bisa terwujud pada waktu salat Zuhur. Sengaja aku tawaf men­dekati Kabah menjelang waktu Zuhur. Begitu terdengar azan, para jemaah yang sedang tawaf berhenti tawaf lalu membentuk saf, dan duduk sambil menung­gu terdengar seruan tanda akan dimulai salat, terutama untuk salat berjemaah. Orang di sebe­lahku duduk di bawah payung terkembang, berlindung dari sengatan matahari. Kami ber­ada di saf pertama dari Kabah. Tak ada pembatas antara kami dan Kabah kecuali ruang untuk sujud. Ketika terdengar kamat, seruan tanda akan mulai salat itu, orang itu menguncupkan payungnya dan kami berdiri untuk memulai takbiratuhih­ram. Ketika sujud, ubun-ubun­ku hanya berjarak tidak sampai satu jengkal dari Kabah. Pada sujud terakhir terdengar suara isakan di sampingku. Begitu sempitnya ruang untuk sujud, sehingga pipi kananku hampir bersentuhan dengan pipi kiri orang yang menggumamkan isakan yang berisi permohonan pengampunan dosa. Selesai salat aku berpaling dan melihat wajahnya penuh linangan air mata. Jemaah itu ternyata je­maah asal Indonesia. Karena tak boleh duduk setelah salat di lingkaran tawaf, maka kuajak dia menepi menghindar dari terik matahari. Kami pergi ke bawah lantai, meneguk air dari sumur zamzam. Kami siram, kepada kami dengan air ke­berkahan itu. Orang itu meng­aku seorang pengarang yang selama hidupnya telah mencip­takan kebohongan-kebohong­an. Imajinasi adalah kebohong­an untuk diri sendiri, katanya, mengucapkan makna yang tak kumengerti. Begitu imajinasi dituturkan ataupun dituliskan dan didengar atau dibaca orang lain, kita telah menciptakan ke­bohongan-kebohongan kepada orang lain. Cerita pendek, no­vel, puisi, dan karangan fiksi lainnya adalah kebohongan. Kebohongan yang nikmat. Tetapi mereka tidak mau akui kebohongan mereka dan de­ngan cerdiknya mereka berlin­dung di balik kata imajinasi. Padahal sesungguhnya tidak ada Sukri membawa pisau be­lati. Tidak ada wanita muda yang menanggalkan satu persatu pakaiannya dan berkata, maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu? Bohong semua itu.

Pernah aku bertanya kepada seorang penyair, katanya melampiaskan rasa berdosanya. Apa­kah betul ada tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu? Bukankah itu kebohongan. Sau­dara telah menciptakan kebo­hongan. Tetapi penyair itu me­nampik dan berkata, semua yang dia tulis adalah kebenaran. Benar adanya. Memang ada tiga anak kecil dalam langkah malu-­malu datang ke Salemba sore itu. Aku tidak berbohong, kata penyair itu. Lalu aku bertanya pula kepada penyair lain. Aku bertanya adakah lautan air ma­ta itu? Bagaimana Saudara tega berbohong tentang lautan air mata. Kalian telah terkepung oleh air mata kami, tulis Anda. Bagaimana Anda bisa mencip­takan lautan air mata? Sesendok saja pun rasanya tidak mung­kin. Bukankah Anda telah ber­bohong? Ya, saya memang telah berbohong, kata penyair itu se­tuju dengan pendapatku. Semua kita ini para pembohong. Berlindung di balik kata imajinasi dan metafor-metafor kebohong­an. Kebohongan adalah kebo­hongan. Berbohong dan imaji­nasi itu sama. Berbohong adalah berimajinasi. Oleh sebab itu aku menangis dalam sujud panjang­ku yang khusyuk, di depan Kabah itu, memohon ampun dari dosa-dosa berbohong. Meminta pengampunan kepada Allah. Tak ada jalan lain untuk menghapus dosa selain meminta pengampunan dari-Nya. Walau kemudian aku akan kembali berbohong. Karena itu adalah profesiku. Berbohong untuk sesuap nasi. Tak ada jalan lain kecuali mencipta kebohongan-­kebohongan.

Tak bisa aku memberi pe­nawar kepada pengarang itu de­ngan siraman kata-kata penye­juk, karena aku sesungguhnya tak mengerti dunia yang dia maksud. "Banyak aku mende­ngar peristiwa-peristiwa ke­ajaiban yang dialami orang di tanah suci," kataku menghen­tikan ceritanya. "Apakah Bapak mengalaminya? "Dihabiskan­nya sepiring nasi dengan lauk sebutir telur yang digulai san­tan. Kutawari dia secangkir kopi. tetapi dia menolak.

“Aku mengindap penyakit darah tinggi,” katanya. “Waktu wukuf di Arafah, tensiku naik di atas 180. Dokter menyarankan agar aku mengurangi aktivitas hari itu. Aku datang ke dokter itu menjelang tengah malam karena begitu banyak pasien. Diberinya aku obat. Obat itu harus dimakan dalam keadaan perut harus berisi. Apa yang bisa kumakan malam itu? Persediaan tak ada kecuali air. Aku tadi pernah meminta gula ke dapur umum yang berada di antara lautan tenda. Aku pergi ke sana malam itu. Kuharapkan orang hitam petugas dapur umum itu ada di sana. Namun yang kudapati tak ada orang. Semua orang sudah tidur. Dapur umum itu tertutup seadanya dan bisa saja orang masuk bila mau. Maka aku pun masuk mencari sepotong roti. Kudapati di tempat persediaan makanan itu tumpukan roti, buah-buah­an, gula, kopi, dan air meneral. Kuambil sepotong roti. Hanya itu yang kuperlukan. Sedang air masih tersedia di tenda. Ku­makan roti itu, kuminum obat dari dokter itu. Pada pagi hari­nya, ransum sarapan pagi di­berikan kepada para jamaah. Ransum itu berupa satu kantung plastik yang di dalamnya berisi roti, telur rebus, jeruk, apel, dan air mineral. Apa yang kudapat dalam kantong plastik itu tidak sama isinya dengan apa yang diperoleh oleh jamaah lain di seluruh kemah. Di dalam kantung plastik yang kuperoleh, tidak ditemukan sepotong roti. Aku tercenung menerima kan­tung plastik itu. Rotiku telah kumakan tadi malam."

Kembali dikeluarkannya jam saku yang tergantung di dalam sakunya.

"Kubeli 20 real di Mekkah," katanya sambil menekan tom­bol di sisi jam itu, dan tutupnya terbuka. "Sudan saatnya saya pulang."

Kulihat dia mulai berkemas bersiap-siap hendak pergi. Diselesaikannya membayar apa yang dia makan dan dia minum. Kemudian diambilnya kotak penyimpan antena televisi yang tersandar di dinding warung.

"Malam ini akan kupasang antena televisi ini. Akan ku­tunggu siaran langsung sem­bahyang tarawih dari Masji­dil haram itu. Akan kulihat tem­pat-tempat yang aku pernah di sana. Betapa nikmat ikut tara­wih di Masjidil haram."

Dia melangkah tidak lepas dari tatapanku. Sebelum me­langkah, dia berpaling ke arah­ku. Dipandangnya aku dalam senyum yang tulus.

"Lailatul Qadar tak pernah datang dua kali kepada sese­orang. Itulah sebabnya kubeli antena televisi ini. Aku mau li­hat diriku di sana." Kubalas ucapannya dengan senyum. Aku merenungi kepergiannya. Da­lam hati aku bertanya, siapa orang yang dia maksud, datang sebagai Lailatul Qadar untuk dirinya. Masih adakah orang seperti itu di zaman sekarang ini? Pertanyaan itu akan ku­bawa pada pagi menyambut tamu-tamu Idul Fitriku nanti. Akan kuceritakan kisah penjaga masjid itu. *



1 komentar: