Cerpen yang pernah terbit pada harian KOMPAS ini berkisah hampir mirip dengan kisah hidupku… …. Yang mana sang LAilatul Qadar mengajakku menunaikan ibadah haji ….. prosesnya begitu cepat pada usia yang relatif muda dan kondisi keuangan yang belum baik, dimana teman-teman lebih memilih membeli mobil dan rumah ………………………………………………………… aku lebih memilih berdagang dengan ALLAH dan mencari cintaNYA…….
Ternyata ibadah haji itu berat, aku bersyukur bisa menunaikannya selagi muda, dimana masih sehat dan kuat secara phisik. Begitu tiba di tanah suci, dimana kekuatan phisik sangat diperlukan seperti, berjalan jauh dari maktab ke masjidil haram, melempar jumrah dari maktab ke tempat lontaran, pulang ke maktab di mecca berjalan ber kilo-kilo meter……………… sungguh MENGERIKAN bila harus dilakukan pada usia udzur….. karena saya melihat begitu banyak jamaah haji yang berusia udzur yang tidak didampingi keluarganya hanya bisa tinggal di maktab….. sungguh menyedihkan
Alhamdulilah aku dapat membiayai dan masih dapat membantu ibuku selama di tanah suci……………………. TERIMA KASIH YA ALLAH yang telah memberi kenikmatan…………….. masih banyak lagi yang ingin kuceritakan, karena selama perjalanan di tanah haram seakan-akan aku baru saja kemaren melakukan ibadah HAJI.
Antena
Cerpen Hamsad Rangkuti
SELALU setiap bulan Ramadhan kucari tempat berbuka di luar rumah. Aku ingin variasi. Mencari suasana hati yang beda dari rutinitas. Adalah suatu kenikmatan bagiku duduk berlama-lama di warung atau restoran sambil menunggu beduk. Aku bisa melihat orang duduk menahan nafsu menghadapi hidangan yang setiap saat tak ada yang melarang untuk disantap.
Dan mereka sebentar-sebentar melihat jam di tangan atau di dinding. Kadang-kadang radio itu disetel keras-keras mengumandangkan acara khas menjelang berbuka.
Kupilih warung pinggir jalan di bawah rentangan rel kereta listrik. Kereta sebentar-sebentar melintas bising dan berhenti di atas
Pada saat menunggu seperti itu datang seorang laki-laki dan duduk di depan mejaku. Dia mengenakan kopiah haji. Tampak letih, seperti orang baru saja berjalan jauh. Dia membawa tas kulit gantung di bahu dan kotak pipih persegi panjang, tidak dibungkus, bergambar antena televisi. Diletakkannya kotak kardus bergambar antena televisi itu menyandar di dinding warung. Dipesannya satu gelas minuman hangat. Dilihatnya jam gantung yang dikeluarkannya dari saku yang katupnya tiba-tiba terbuka. Dikeluarkannya bungkus plastik dari dalam tas. Tampak jelas membayang isinya berbutir-butix kurma.
Dibukanya simpul kantung plastik itu, disodorkannya kepadaku. Aku kembangkan telapak tangan kananku dan kubilang terima kasih.
"Sebutir kurma sebagai pembuka," katanya. Aku senyum menanggapi.
"Beli antena televisi, Pak Haji?" kataku.
"Ya. Tak tampak dengan jelas siaran langsung sembahyang tarawih dari Masjidil haram," katanya.
"Di mana Pak Haji tinggal?" tanyaku.
"Tak terjangkau oleh antena yang lama. Selama ini tidak ku kuhiraukan, tetapi sembahyang tarawih itu '
"Tahun berapa menunaikan ibadah haji?"
"Tahun 1995."
"Berapa ratus meter tanah terjual?"
"Tak semeter pun.
"Alhamdulillah. Apa usaha Pak Haji sebelum haji? Bukan sedikit uang untuk menunaikan ibadah haji. Tahun 1995 kalau tak salah sekitar tujuh juta."
"Saya hanya mengurus masjid, sampai sekarang."
"Hanya mengurus masjid bisa naik haji? Bergurau yang mengandung kebohongan tidak baik di bulan suci Ramadhan," kataku senyum. "Jangan sembunyikan rahasia Allah. Bagaimana kok bisa sampai ke
"Semua itu memang rahasia Allah. Siapa yang bisa menduga saya bisa pergi ke
PADA suatu senja Lailatul Qadar itu datang. Kuajak dia berbuka meneguk segelas air dan sebutir kurma. Kami salat berjamaah. Setelah itu dia salat dua rakaat. Kemudian sebelum pergi dia salami aku.
"Tahun berapa menunaikan ibadah haji?" tanyanya sebelum melangkah.
"Belum," kataku jujur. "Kopiah haji itu?" ..
"Diberi Ustad Jalil yang baru pulang menunaikan ibadah haji tahun lalu. Kupakai untuk mengambil berkah. Apa yang dibawa dari tanah suci Mekah mengandung berkah. Terutama kopiah haji ini. Biasanya setiap Maghrib Ustad Jalil yang menjadi imam. Tetapi senja ini beliau berhalangan. Mungkin tidak enak badan."
Lailatul Qadar itu memandang padaku dan bertanya apa kerjaku. Kubilang kerjaku yang sesungguhnya, mengurus masjid ini. Membersihkan ruang dalam. Membersihkan pekarangan. Menjaga bak jangan sampai tak berair. Memasang tenda tambahan untuk jemaah bila hari Jumat. Mengumandangkan azan setiap datang waktu. Membangunkan tetangga yang ketiduran menjelang sahur di bulan puasa.
"Bapak mau menunaikan ibadah haji ke Mekah?" tanya Lailatul Qadar itu.
"Itu cita-cita setiap mukmin.
Lailatul Qadar itu senyum dan pergi meninggalkanku. Barangkali orang itu musafir, Kuiringi dia di halaman hingga sampai ke jalan besar. Kurasa dia datang dari jauh bersama keluarga yang menunggu di mobil. Dia masuk ke dalam mobil itu. Dan pergi entah ke mana.
PADA suatu hari, tidak lama sepeninggal tamu itu, datang seorang pria mencariku. Orang itu mengaku membawa amanah dari orang yang. tidak tinggal sekota dengan kami dan memintanya mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan perjalanan haji seseorang. Atas izin Allah semuanya berjalan lancar, seolah aku tidak dirintangi satu halangan apa pun.
Seluruh penduduk telah mengetahui, Insya Allah aku, si penjaga masjid hendak menunaikan ibadah haji tahun ini. Orang tak henti-henti membicarakan bahwa Lailatur Qadar telah datang kepadaku pada Ramadhan tahun ini. Pada hari pelepasan itu, di rumah sudah banyak handai taulan yang datang hendak mengucapkan selamat jalan. Aku akan sampai dan menginjakkan kaki di bumi yang pernah disentuh kaki Rasulullah. Begitu rindunya aku disentuh udara Mekkah, di bawah langitnya yang biru bersih. Meneguk air dari sumur zamzam, membasuh kerinduan yang telah lama mengakar dalam diriku. Berziarah ke makam Rasulullah dan salat di Rawdah yang mulia. Sujud di Maqam Ibrahim sambil memohon ampun. Insya Allah aku akan sujud di Rawdah sambil membayangkan wajah Rasulullah tercinta, seperti yang tampak dalam mimpiku. Alhamdulillah semua yang kurindukan itu terwujud oleh izin Allah. Aku berjalan setiap hari dari pemondokan di Mishfalah, menyusur aspal jalan setiap hari dan setiap waktu salat di Masjidil haram.
Menjelang akhir perjalanan ibadah itu kuusahakan salat tak berjarak dengan Kabah. Usaha semacam itu hanya bisa terwujud pada waktu salat Zuhur. Sengaja aku tawaf mendekati Kabah menjelang waktu Zuhur. Begitu terdengar azan, para jemaah yang sedang tawaf berhenti tawaf lalu membentuk saf, dan duduk sambil menunggu terdengar seruan tanda akan dimulai salat, terutama untuk salat berjemaah. Orang di sebelahku duduk di bawah payung terkembang, berlindung dari sengatan matahari. Kami berada di saf pertama dari Kabah. Tak ada pembatas antara kami dan Kabah kecuali ruang untuk sujud. Ketika terdengar kamat, seruan tanda akan mulai salat itu, orang itu menguncupkan payungnya dan kami berdiri untuk memulai takbiratuhihram. Ketika sujud, ubun-ubunku hanya berjarak tidak sampai satu jengkal dari Kabah. Pada sujud terakhir terdengar suara isakan di sampingku. Begitu sempitnya ruang untuk sujud, sehingga pipi kananku hampir bersentuhan dengan pipi kiri orang yang menggumamkan isakan yang berisi permohonan pengampunan dosa. Selesai salat aku berpaling dan melihat wajahnya penuh linangan air mata. Jemaah itu ternyata jemaah asal Indonesia. Karena tak boleh duduk setelah salat di lingkaran tawaf, maka kuajak dia menepi menghindar dari terik matahari. Kami pergi ke bawah lantai, meneguk air dari sumur zamzam. Kami siram, kepada kami dengan air keberkahan itu. Orang itu mengaku seorang pengarang yang selama hidupnya telah menciptakan kebohongan-kebohongan. Imajinasi adalah kebohongan untuk diri sendiri, katanya, mengucapkan makna yang tak kumengerti. Begitu imajinasi dituturkan ataupun dituliskan dan didengar atau dibaca orang lain, kita telah menciptakan kebohongan-kebohongan kepada orang lain. Cerita pendek, novel, puisi, dan karangan fiksi lainnya adalah kebohongan. Kebohongan yang nikmat. Tetapi mereka tidak mau akui kebohongan mereka dan dengan cerdiknya mereka berlindung di balik kata imajinasi. Padahal sesungguhnya tidak ada Sukri membawa pisau belati. Tidak ada wanita muda yang menanggalkan satu persatu pakaiannya dan berkata, maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu? Bohong semua itu.
Pernah aku bertanya kepada seorang penyair, katanya melampiaskan rasa berdosanya. Apakah betul ada tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu? Bukankah itu kebohongan. Saudara telah menciptakan kebohongan. Tetapi penyair itu menampik dan berkata, semua yang dia tulis adalah kebenaran. Benar adanya. Memang ada tiga anak kecil dalam langkah malu-malu datang ke Salemba sore itu. Aku tidak berbohong, kata penyair itu. Lalu aku bertanya pula kepada penyair lain. Aku bertanya adakah lautan air mata itu? Bagaimana Saudara tega berbohong tentang lautan air mata. Kalian telah terkepung oleh air mata kami, tulis Anda. Bagaimana Anda bisa menciptakan lautan air mata? Sesendok saja pun rasanya tidak mungkin. Bukankah Anda telah berbohong? Ya, saya memang telah berbohong, kata penyair itu setuju dengan pendapatku. Semua kita ini para pembohong. Berlindung di balik kata imajinasi dan metafor-metafor kebohongan. Kebohongan adalah kebohongan. Berbohong dan imajinasi itu sama. Berbohong adalah berimajinasi. Oleh sebab itu aku menangis dalam sujud panjangku yang khusyuk, di depan Kabah itu, memohon ampun dari dosa-dosa berbohong. Meminta pengampunan kepada Allah. Tak ada jalan lain untuk menghapus dosa selain meminta pengampunan dari-Nya. Walau kemudian aku akan kembali berbohong. Karena itu adalah profesiku. Berbohong untuk sesuap nasi. Tak ada jalan lain kecuali mencipta kebohongan-kebohongan.
Tak bisa aku memberi penawar kepada pengarang itu dengan siraman kata-kata penyejuk, karena aku sesungguhnya tak mengerti dunia yang dia maksud. "Banyak aku mendengar peristiwa-peristiwa keajaiban yang dialami orang di tanah suci," kataku menghentikan ceritanya. "Apakah Bapak mengalaminya? "Dihabiskannya sepiring nasi dengan lauk sebutir telur yang digulai santan. Kutawari dia secangkir kopi. tetapi dia menolak.
“Aku mengindap penyakit darah tinggi,” katanya. “Waktu wukuf di Arafah, tensiku naik di atas 180. Dokter menyarankan agar aku mengurangi aktivitas hari itu. Aku datang ke dokter itu menjelang tengah malam karena begitu banyak pasien. Diberinya aku obat. Obat itu harus dimakan dalam keadaan perut harus berisi. Apa yang bisa kumakan malam itu? Persediaan tak ada kecuali air. Aku tadi pernah meminta gula ke dapur umum yang berada di antara lautan tenda. Aku pergi ke
Kembali dikeluarkannya jam saku yang tergantung di dalam sakunya.
"Kubeli 20 real di Mekkah," katanya sambil menekan tombol di sisi jam itu, dan tutupnya terbuka. "
Kulihat dia mulai berkemas bersiap-siap hendak pergi. Diselesaikannya membayar apa yang dia makan dan dia minum. Kemudian diambilnya kotak penyimpan antena televisi yang tersandar di dinding warung.
"Malam ini akan kupasang antena televisi ini. Akan kutunggu siaran langsung sembahyang tarawih dari Masjidil haram itu. Akan kulihat tempat-tempat yang aku pernah di
Dia melangkah tidak lepas dari tatapanku. Sebelum melangkah, dia berpaling ke arahku. Dipandangnya aku dalam senyum yang tulus.
"Lailatul Qadar tak pernah datang dua kali kepada seseorang. Itulah sebabnya kubeli antena televisi ini. Aku mau lihat diriku di
Thanks for sharing Wan..
BalasHapuslike this!