Sabtu, 04 Juli 2009

WALI SONGO

Artikel ini pernah terbit pada harian KOMPAS beberapa tahun lalu, setelah reformasi tahun 1998…. Walaupun terkesan usang, ini bias memberikan perspektif / wawasan baru untuk di kaji lebih detail lagi….

Berdasarkan Hadis Riwayat Abu Na'im : Hendaklah kamu saling ber­laku jujur dalam ilmu dan jangan saling merahasia­kannya. Sesungguhnya ber­khianat dalam ilmu penge­tahuan lebih berat akibat­nya daripada berkhianat dalam harta.

Semoga hal ini bermanfaat bagi sahabat zaameedhearts………………




WALI SONGO BERASAL DARI CINA?

Oleh : Asvi Warman Adam

PADA tahun 1968 terbit buku Prof Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hin­du-Jawa dan Timbulnya Nega­ra-negara Islam di Nusantara. Buku itu dilarang oleh Kejaksa­an Agung karena mengungkap­kan hal-hal yang kontroversial waktu itu, yakni sebagian Wali Songo berasal dari Cina. Tidak ada salahnya, bila benar bahwa Sembilan penyebar agama Islam itu dari Cina atau dari belahan dunia mana pun.

Yang menjadi persoalan adalah saat itu rezim Orde Baru telah me­netapkan Cina sebagai musuh ka­rena negara itu dituduh memban­tu Gerakan 30 September 1965. Pemerintah Indonesia memutus­kan hubungan diplomatik de­ngan Beijing, dan segala yang berbau Cina dilarang.

Pada era reformasi ini ada baiknya pendapat Slamet Mul­jana itu dikaji ulang dengan pikiran yang lebih tenang. Sla­met Muljana membandingkan atau—lebih tepat—melakukan kompilasi terhadap tiga sumber, yaitu Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, dan naskah dari kelenteng Sam Po Kong yang ditulis Poort man dan dikutip Parlindungan.

Residen Poortman tahun 1928 ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Ra­den Patah itu orang Cina. Raden Patah bergelar Penembahan Jimbun dalam Serat Kanda, dan Senapati Jimbun dalam Babad Tanah Jawi. Kata jin bun dalam salah satu dialek Cina berarti "orang kuat". Maka sang Resi­den itu menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang dan mengangkut naskah berbahasa Tionghoa yang ada di sana—se­bagian sudah berusia 400 tahun­ sebanyak tiga cikar (pedati yang ditarik lembu). Arsip Poortman ini dikutip Mangaraja Onggang Parlindungan yang menulis buku yang juga kontroversial Tuanku Rao. Slamet Muljana banyak menyitir buku ini.

Slamet menyimpulkan, Bong Swi Hoo—yang datang di Jawa tahun 1445—sama dengan Su­nan Ampel. Bong Swi Hoo ini menikah dengan Ni Gede Ma­nila yang merupakan anak Gan Eng Cu (mantas kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tu­ban sejak tahun 1423). Dari per­kawinan ini lahir Bonang yang kemudian dikenal sebagai Su­nan Bonang. Bonang diasuh Su­nan Ampel bersama dengan Giri yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri.

Putra Gan Eng Cu yang lain adalah Gan Si Cang yang men­jadi kapitan Cina di Semarang. Tahun 1481 Gan Si Cang me­mimpin pembangunan Mesjid Demak dengan tukang-tukang kayu dari galangan kapal Sema­rang. Tiang penyangga masjid itu dibangun dengan model kons­truksi tiang kapal yang terdiri dari kepingan-kepingan kayu yang tersusun rapi. Tiang itu di­anggap lebih kuat menahan angin badai daripada tiang yang terbuat dari kayu yang utuh. Akhirnya Slamet menyimpul­kan, Sunan Kali Jaga yang masa mudanya bersama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang. Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah menurut Slamet Muljana adalah Toh A bo, putra Sultan Trengganu (memerintah di Demak tahun 1521-1546). Sementara itu Su­nan Kudus atau Jafar Sidik yang tak lain dari Ja Tik Su.

TENTU tak ada larangan un­tuk berpendapat bahwa seba­gian Wali Songo itu berasal dari Cina atau keturunan Cina. Na­mun, kelemahan Slamet Mulja­na, ia hanya mendasarkan ke­simpulannya pada buku yang ditulis MO Parlindungan. Sla­met pun tidak memeriksa sendi­ri naskah-naskah yang berasal dari kelenteng Sam Po Kong Se­marang itu. Dengan melakukan penelitian terhadap sumber berbahasa Cina, baik yang ada di Nusantara maupun di daratan Cina, diharapkan periode ini (terutama mengenai penyebaran agama Islam di Jawa abad XV­XVI) dapat dijelaskan dengan lebih baik.

Sebetulnya pada masa ini cu­kup banyak sumber mengenai laksamana muslim Cheng Ho yang berlayar ke berbagai pen­juru dunia awal abad XV dengan armada yang lebih besar dari pelaut Eropa. Cheng Ho sendiri mempunyai penerjemah Ma Huan yang juga beragama Islam dan menuliskan peng­alaman ini dalam buku Yzngyai Senglan.

Dalam buku itu dilaporkan tentang masyarakat Cina yang bermukim di Jawa yang berasal dari Kanton, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka telah meninggalkan negeri Cina dan me­netap di pelabuhan-pelabuhan pesisir Jawa sebelah timur. Di Tuban mereka merupakan seba­gian besar penduduk yang wak­tu itu jumlahnya mencapai "se­ribu keluarga lebih sedikit".

Di Gresik hanya ada "pantai tanpa penghuni" sebelum orang Kanton menetap di sana. Di Su­rabaya sejumlah besar pendu­duk juga orang Cina. Menurut Ma Huan "kebanyakan orang Cina itu telah masuk agama Islam dan menaati aturan aga­ma". (Lombard, Nusa Jawa, jilid II, 1996)

Pada abad-abad berikutnya sudah ada sumber berbahasa Eropa mengenai tokoh Cina yang beragama Islam. Ketika Banten mengalami masa kejaya­an pada abad XVII, di sana ada. pengusaha besar Tan Tse Ko. la bisa membaur dalam masyara­kat Banten dengan menyatakan diri masuk Islam dan berganti nama jadi Cakradana.

la adalah seorang eksportir yang memiliki wawasan global. Dalam catatan sejarah tercan­tum, ia misalnya berkali-kali mengirim kapal dagang ke Indo­cina tahun 1670, 1671, 1672, 1676. Bukti bahwa Tan Tse Ko mempunyai hubungan dagang dengan saudagar Eropa terlihat dari surat tagihan utangnya yang ada di museum pada se­buah negeri Skandinavia, tertu­lis dalam bahasa Melayu, baha­sa yang menjadi lingua franca di bilangan Nusantara ketika itu.

Saya tidak berbicara tentang akidah, sesuatu yang ada di da­lam hati dan hanya diketahui ma sing-masing orang. Tidak dike­tahui apakah ia taat beribadah, hal ini tak disebut dalam sumber sejarah. Namun, secara formal ia masuk agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Banten masa itu. Yang jelas, dengan menjadi muslim, Cakradana telah da­pat diterima menjadi anggota masyarakat Banten.

Karena dekat dengan raja ­bukan sekarang saja, pedagang diangkat jadi pejabat—pada ta­hun 1677 Cakradana diangkat menjadi syahbandar. Sayang, pada April 1682, VOC merebut Banten dan melarang seluruh perdagangan internasional yang selama ini dilakukan Banten, dalam rangka mendapatkan monopoli bagi pihak Belanda.

Tulisan ini diakhiri dengan pernyataan, sumber berbahasa Cina juga penting bagi penuhs­an sejarah penyebaran Islam di Nusantara (termasuk mengenai Wali Songo) maupun bagi seja­rah nasional secara umum. Selama 35 tahun, hal ini telah terabaikan. * Dr Asvi Warman Adam, se­jarawan LIPI.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar