Artikel ini pernah terbit di harian REPUBLIKA pada hari Jumat, 2 Desember 1994, isinya masih up to date mengenai air yang saat ini makin sukar dan mahal. Apalagi dengan adanya issue Global Warming……. Semoga sahabat zaameedhearts bisa bijak dalam menggunakan air……… selamat membaca, dan semoga bermanfaat
BOLEHKAH BERWUDHU DENGAN BEKAS AIR LIMBAH ?
Berwudlu dengan air limbah, apalagi yang mengandung najis, Ulama sepakat untuk menghukuminya sebagai tidak sah. Namun bagaimana bila berwudlu dengan air limbah yang telah diproses menjadi air bersih? Itulah isu menarik yang banyak dipertanyakan oleh Para peserta seminar "Teknologi Air Bersih yang digelar ICMI Orsat Puspiptek Serpong bekerja sama dengan Majelis Usahawan Indonesia Untuk Pembangunan Berkelanjutan (MUIPB) di
Menurut Dr. Nilyardi Kahar, peneliti senior dari Puslitbang Fisika Terapan UPI, pencemaran'air oleh limbah semakin hari akan semakin meluas, dan itu terjadi di mana-mana. Sementara persediaan sumber-sumber air bersih semakin langka. Karena itu perlu segera dicari jalan keluarya. "Dengan teknologi yang jumlah dan macamnya sudah lumayan banyak, kini sudah dimungkinkan mengolah air limbah menjadi air bersih menurut standar kualitas kesehatan," ujarnya.
Dilihat dari segi teknologi dan kesehatan, lanjut Nilyardi, proses pengolahan limbah menjadi air bersih memang tidak menjadi masalah. Namun nenurut syariah, bisakah hal itu dibenarkan? Dalam arti, apakah air limbah yang telah diproses menjadi air bersih itu bisa dipakai buat berwudlu?
Karena itu, menurut Ketua lCMI
Menurut K.H. Ali Yafie yang bersamasama dengan ahli lingkungan dari ITB Prof. Dr. Soemarwoto menjadi pembicara utama pada seminar sehari itu, ajaran Islam menjelaskan bahwa air pada dasarnya adalah bersih, yakni ketika pertama kali keluar dari sumbernya, seperti air hujan, laut, sungai, sumur, mata air, air beku (es), dan embun. Menurut syariat. macam-macam air ini disebut ma' muthlaq (air murni), dalam arti air itu bisa dipakai untuk bersuci (thaharah).
Namun karena air yang sampai pada kita seringkah sudah terkena oleh pengaruh unsur lain atau mengalami proses, menurut Kyai Ali, fikih (hukum Islam) lalu membaginya menjadi empat jenis. Pertama, air bersih yang layak digunakan untuk ibadah, yang dalam istilah fikihnya thahir, muthahhir, ghairu makruh, seperti air sumur, hujan, sungai, laut, dan seterusnya. Kedua, air bersih yang kurang layak digunakan untuk ibadah (thahir, muthahhir, makruh), misalnya, air yang dimasak. Ketiga, air bekas, tidak dapat digunakan untuk ibadah (ma' musta’mal). Dan keempat, air kotor yang tercemar najis, tidak dapat digunakan untuk ibadah (ma'mutanajjis).
Dari adanya kalisifikasi air tersebut, lanjut Ali Yafie, dapat disimpulkan bahwa kualitas air yang dapat digunakan untuk ibadah adalah air murni yang bersih, tidak tercemar kotoran, bukan bekas pakai dan tidak bermasalah (kemungkinan mengancam kesehatan). "Ini menandai betapa kecermatan yang harus kita lakukan dalam hal memilih jenis air yang akan kita pakai untuk ibadah, termasuk di dalam-nya air yang kita gunakan untuk minum, karena makan dan minum adalah prasarana ibadah, - ujar salah seorang ketua MUT, ini, sembari mengutip sebuah kaidah Ushul Fiqh: Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib (Sesuatu yang menjadi syarat wajibnya sesuatu, maka hal itu menjadi wajib).
Lalu, bagaimana hukum air bekas atau air tercemar yang diproses menjadi air bersih dan digunakan untuk ibadah? Menurut Ali Yafie, penalaran hukum Islam (fikih) mengenal suatu istilah istihalah (perubahan — Red). Yang dimaksud dengan istihalah adalah perubahan suatu benda menjadi benda lain yang berdampak pada perubahan hukumnya. Air sari buah anggur segar yang manis, misalnya, adalah minuman bersih yang halal. Tetapi bila suatu ketika air sari buah anggur itu berubah menjadi minuman keras yang memabukkan, maka air itu menjadi najis yang terlarang. Namun, bila ia berubah lagi menjadi cuka, maka cairan itu menjadi benda yang bersih dan halal hukumnya untuk disantap.
Proses perubahan suatu benda (padat, cair atau gas), jelas mantan pejabat Rais Aam Syuriah NU ini, dapat berlangsung secara alamiah atau dengan rekayasa. Dan hasil dari kedua bentuk istihalah (perubahan) ini adalah sama, yakni benda pertama dengan nama dan sifat-sifatnya yang khas, berubah nama dengan sifat yang lain yang membedakannya dengan benda pertama asalnya, sehingga mengakibatkan perubahan status hukumnya. "Analog dengan itu, air bekas atau air kotor yang diproses menjadi air bersih, murni, dan sehat, dapat menjadi sarana ibadah seperti air murni yang alamiah yang berstatus thahur (bersih)," tutumya.
Diakuinya, para ulama berbeda pendapat mengenal istihalah. "Namun, demi kemaslahatan umat manusia dewasa ini yang sangat berkepentingan pada tersedianya air bersih yang cukup, kiranya perlu dipertimbangkan penerapan teori istihalah ini untuk memenuhi suatu kebutuhan nyata dari kehidupan umat manusia yang populasinya kian bertambah," jelas Ali Yafie. "Di samping itu memang sumber daya alam yang namanya air bersih jumlahnya kian berkurang karena tercemar limbah dan kotoran. Untuk ini air tercemar tersebut bisa diperbarui dengan teknologi air bersih.”
Menyinggung pengolahan air laut, menurut Ali Yafie, pada dasamya adalah suci, tidak bermasalah untuk digunakan sebagai sarana ibadah. Air laut secara langsung dapat digunakan untuk berwudlu dan mandi. "Hanya untuk digunakan sebagai air minum dan dipakai memasak, tidak menjadi kebiasaan umumnya manusia. Maka, perubahan air laut menjadi air tawar, jelas tidak tersangkut masalah hukum fikih ini," tambahnya.
Sementara itu, pakar lingkungan Prof. Dr. Otto Soemarwoto dalam pengantar ceramahnya menguraikan, betapa pentingnya penguasaan iptek di kalangan umat Islam. Menurut Otto, umat Islam masa kini terlalu mengutamakan masalah pengkajian ilmu agama, tapi kurang memperhatikan penguasaan dan pengembangan iptek atau ilmu-ilmu umum. “Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, mestinya sudah lama kita tinggalkan. Ini bila kita semua memang menginginkan adanya kebangkitan kembali Islam," katanya. n dam/jun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar