Senin, 27 Juli 2009

BOLEHKAH BERWUDHU DENGAN BEKAS AIR LIMBAH ?

Artikel ini pernah terbit di harian REPUBLIKA pada hari Jumat, 2 Desember 1994, isinya masih up to date mengenai air yang saat ini makin sukar dan mahal. Apalagi dengan adanya issue Global Warming……. Semoga sahabat zaameedhearts bisa bijak dalam menggunakan air……… selamat membaca, dan semoga bermanfaat


BOLEHKAH BERWUDHU DENGAN BEKAS AIR LIMBAH ?

Berwudlu dengan air limbah, apalagi yang mengandung najis, Ulama sepakat untuk menghukuminya seba­gai tidak sah. Namun bagaimana bila ber­wudlu dengan air limbah yang telah diproses menjadi air bersih? Itulah isu me­narik yang banyak dipertanyakan oleh Para peserta seminar "Teknologi Air Bersih­ yang digelar ICMI Orsat Puspiptek Ser­pong bekerja sama dengan Majelis Usa­hawan Indonesia Untuk Pembangunan Berkelanjutan (MUIPB) di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Dr. Nilyardi Kahar, peneliti se­nior dari Puslitbang Fisika Terapan UPI, pencemaran'air oleh limbah semakin hari akan semakin meluas, dan itu terjadi di mana-mana. Sementara persediaan sum­ber-sumber air bersih semakin langka. Ka­rena itu perlu segera dicari jalan keluarya. "Dengan teknologi yang jumlah dan ma­camnya sudah lumayan banyak, kini sudah dimungkinkan mengolah air limbah men­jadi air bersih menurut standar kualitas kesehatan," ujarnya.

Dilihat dari segi teknologi dan kesehat­an, lanjut Nilyardi, proses pengolahan lim­bah menjadi air bersih memang tidak men­jadi masalah. Namun nenurut syariah, bisakah hal itu dibenarkan? Dalam arti, apa­kah air limbah yang telah diproses menjadi air bersih itu bisa dipakai buat berwudlu?

Karena itu, menurut Ketua lCMI Orsat Puspiptek Dr. In Bambang, justifikasi fikih tentang suci tidaknya air olahan dari lim­bah ini perlu segera dilakukan. Ini, lanjut­nya, karena betapapun hebatnya sebuah teknologi pengolahan air bersih, pada akhimya harus dikembalikan kepada kon­sumen sebagai pengguna air bersih. Dan di Indonesia masyarakat konsumen itu ham­pir 90 persennya adalah umat Islam, yang tentu saja sangat peduli dengan status ke­bersihan air.

Menurut K.H. Ali Yafie yang bersama­sama dengan ahli lingkungan dari ITB Prof. Dr. Soemarwoto menjadi pembicara utama pada seminar sehari itu, ajaran Islam menjelaskan bahwa air pada dasarnya ada­lah bersih, yakni ketika pertama kali keluar dari sumbernya, seperti air hujan, laut, sungai, sumur, mata air, air beku (es), dan embun. Menurut syariat. macam-macam air ini disebut ma' muthlaq (air murni), da­lam arti air itu bisa dipakai untuk bersuci (thaharah).

Namun karena air yang sampai pada kita seringkah sudah terkena oleh pengaruh unsur lain atau mengalami proses, menurut Kyai Ali, fikih (hukum Islam) lalu mem­baginya menjadi empat jenis. Pertama, air bersih yang layak digunakan untuk ibadah, yang dalam istilah fikihnya thahir, mut­hahhir, ghairu makruh, seperti air sumur, hujan, sungai, laut, dan seterusnya. Kedua, air bersih yang kurang layak digunakan untuk ibadah (thahir, muthahhir, makruh), misalnya, air yang dimasak. Ketiga, air be­kas, tidak dapat digunakan untuk ibadah (ma' musta’mal). Dan keempat, air kotor yang tercemar najis, tidak dapat digunakan untuk ibadah (ma'mutanajjis).

Dari adanya kalisifikasi air tersebut, lan­jut Ali Yafie, dapat disimpulkan bahwa kualitas air yang dapat digunakan untuk ibadah adalah air murni yang bersih, tidak tercemar kotoran, bukan bekas pakai dan tidak bermasalah (kemungkinan mengan­cam kesehatan). "Ini menandai betapa ke­cermatan yang harus kita lakukan dalam hal memilih jenis air yang akan kita pakai untuk ibadah, termasuk di dalam-nya air yang kita gunakan untuk minum, karena makan dan minum adalah prasarana iba­dah, - ujar salah seorang ketua MUT, ini, sembari mengutip sebuah kaidah Ushul Fiqh: Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib (Sesuatu yang menjadi sya­rat wajibnya sesuatu, maka hal itu menjadi wajib).

Lalu, bagaimana hukum air bekas atau air tercemar yang diproses menjadi air ber­sih dan digunakan untuk ibadah? Menurut Ali Yafie, penalaran hukum Islam (fikih) mengenal suatu istilah istihalah (perubah­an — Red). Yang dimaksud dengan istiha­lah adalah perubahan suatu benda menjadi benda lain yang berdampak pada perubah­an hukumnya. Air sari buah anggur segar yang manis, misalnya, adalah minuman bersih yang halal. Tetapi bila suatu ketika air sari buah anggur itu berubah menjadi minuman keras yang memabukkan, maka air itu menjadi najis yang terlarang. Na­mun, bila ia berubah lagi menjadi cuka, maka cairan itu menjadi benda yang bersih dan halal hukumnya untuk disantap.

Proses perubahan suatu benda (padat, cair atau gas), jelas mantan pejabat Rais Aam Syuriah NU ini, dapat berlangsung secara alamiah atau dengan rekayasa. Dan hasil dari kedua bentuk istihalah (perubah­an) ini adalah sama, yakni benda pertama dengan nama dan sifat-sifatnya yang khas, berubah nama dengan sifat yang lain yang membedakannya dengan benda pertama asalnya, sehingga mengakibatkan perubah­an status hukumnya. "Analog dengan itu, air bekas atau air kotor yang diproses men­jadi air bersih, murni, dan sehat, dapat menjadi sarana ibadah seperti air murni yang alamiah yang berstatus thahur (ber­sih)," tutumya.

Diakuinya, para ulama berbeda penda­pat mengenal istihalah. "Namun, demi ke­maslahatan umat manusia dewasa ini yang sangat berkepentingan pada tersedianya air bersih yang cukup, kiranya perlu dipertim­bangkan penerapan teori istihalah ini untuk memenuhi suatu kebutuhan nyata dari ke­hidupan umat manusia yang populasinya kian bertambah," jelas Ali Yafie. "Di samping itu memang sumber daya alam yang namanya air bersih jumlahnya kian berkurang karena tercemar limbah dan kotoran. Untuk ini air tercemar tersebut bisa diperbarui dengan teknologi air bersih.”

Menyinggung pengolahan air laut, me­nurut Ali Yafie, pada dasamya adalah suci, tidak bermasalah untuk digunakan sebagai sarana ibadah. Air laut secara langsung da­pat digunakan untuk berwudlu dan mandi. "Hanya untuk digunakan sebagai air mi­num dan dipakai memasak, tidak menjadi kebiasaan umumnya manusia. Maka, per­ubahan air laut menjadi air tawar, jelas ti­dak tersangkut masalah hukum fikih ini," tambahnya.

Sementara itu, pakar lingkungan Prof. Dr. Otto Soemarwoto dalam pengantar ce­ramahnya menguraikan, betapa pentingnya penguasaan iptek di kalangan umat Islam. Menurut Otto, umat Islam masa kini terlalu mengutamakan masalah pengkajian ilmu agama, tapi kurang memperhatikan pe­nguasaan dan pengembangan iptek atau ilmu-ilmu umum. “Pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum, mestinya sudah la­ma kita tinggalkan. Ini bila kita semua me­mang menginginkan adanya kebangkitan kembali Islam," katanya. n dam/jun




Tidak ada komentar:

Posting Komentar