Selasa, 18 Agustus 2009

IHWAL QADHA PUASA KAUM HAWA

Dalam rangka menyambut Bulan Suci RAMADHAN, apakah kaum muslimah sudah melakukan QADHA PUASA ? semoga saja suda, karena waktunya tinggal beberapa hari lagi. Ataupun bagi yang lupa dengan alasan sakit, lupa atau sibuk……. Bahkan mungkin ada saudara kita yang meninggal, sementara kita tahu beliau belum meng-qadha puasanya…. Apa yang mesti kita lakukan???? Materi ini terdapat pada Majalah HIDAYAH yang terbit pada bulan Juli 2009. Sahabat zaameedhearts bisa membeli majalah tersebut untuk menambah pengetahuan. Bila sahabat zaameedhearts masih belum jelas, bisa di tanyakan pada guru agamanya masing-masing….. Akhirnya, semoga bacaan ini bermanfaat


IHWAL QADHA PUASA KAUM HAWA

Meninggalkan kewajiban puasa Ramadhan menimbulkan konsekwensi untuk “mengganti” atau “membayarnya” ibadah yang harus dimaknai dan diapresiasi sebagai ketaatan manusia pada Tuhannya.

Sejatinya, kewajiban menaati dan menjalankan perintah syariat adalah hal mutlak. Namun, seorang muslim, kerapkali dihadapkan pada banyak kondisi yang tidak memungkinkan melaksan­akan kewajiban agama. Tak pelak, kewajiban pun urung dilaksanakan. Bagaimana syariat agama menyikapinya?

Dalam ranah hukum Islam (fiqih), ketidakmampuan seorang muslim menjalankan perintah agama tak berarti dia mangkir, sepanjang penyebab ketidakmam­puan (udzur) itu bukan disengaja. Karena itu, sejumlah aturan main pun dipersiapkan bagi mereka yang udzur. Misalnya, wanita yang haid, nifas karena melahirkan atau keguguran, ibu hamil, dan ibu menyusui adalah yang diwajibkan meng-qadha puasa Ramadhan karena udzur.

Fiqih Islam menyebutkan bahwa bagi mereka yang tidak berpuasa, wajib meng­ganti atau membayarnya (qadha) di lain waktu. Qadha adalah bentuk masdar dari kata dasar qadha, yang artinya memenuhi atau melaksanakan. Adapun menurut istilah dalam llmu fiqih, qadha dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Misalnya, qadha puasa Ramadhan yang berarti puasa Ramadhan itu dilaksanakan sesudah bulan Ramadhan.

Mereka yang dimasukkan dalam kategori udzur dan wajib mengqadha puasanya antara lain:

A. Wanita haid dan nifas. Namun bagi wanita yang istihadhah, kewajiban puasa tetap berlaku, sebab darah yang keluar merupakan darah penyakit. Orang sakit.

B. Wanita yang menyusui dan wanita hamil. Mereka dibolehkan tidak berpuasa karena dapat digolongkan sebagai orang sakit, mengingat fisik yang tidak memungkinkan untuk berpuasa. Namun bila merasa kuat dan tidak mengkhawatirkan keadaan ibu dan bayinya, dibolehkan untuk tetap berpuasa.

C. Bepergian (musafir). Tapi, diboleh­kan tetap berpuasa jika yakin tidak memba­hayakan dirinya.

D. Orang yang batal puasanya karena suatu sebab, baik disengaja maupun kar­ena khilaf, seperti muntah disengaja, keluar sperma secara sengaja, makan minum dengan sengaja, serta hal-hal lain yang membatalkan puasa. Tapi bila lupa, puasa tidak batal, seh­ingga tidak wajib menggantinya.

Tata Pelaksanaan

Qadha puasa Ramadhan wajib dilak­sanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana termaktub dalam surat al-Baqarah ayat 184. lhwal pelaksanaannya, ada yang menyatakan harus dilakukan secara berurutan, lantaran qadha merupakan peng­ganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan. Sementara ada pula yang menyatakan tidak, mengingat tidak ada satupun dalil yang menyatakan qadha puasa harus berurutan.

Surat al-Baqarah ayat 184 tersebut hanya menegaskan bahwa qadha puasa wajib dilak­sanakan sebanyak jumlah hari yang telah dit­inggalkan. Selain itu, pendapat ini didukung oleh pernyataan dari sebuah hadits sharih.

Bagaimana jika qadha tertunda sampai Ramadhan berikutnya? Waktu dan kesempatan untuk melaksanakan qadha puasa Ramadhan adalah lebih dari cukup, yakni sampai menjelang Ramadhan berikutnya. Namun demikian, tidak mustahil jika ada orang-orang –dengan alasan tertentu– belum juga melaksanakan qadha hingga tiba Rama­dhan berikutnya.

Kejadian seperti ini dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada yang alasannya positif, ada juga yang negatif. Misalnya selalu ada halangan, sering sakit, bersikap apatis, gegabah, sengaja mengabaikannya dan lain sebagainya. Sehingga pelaksanaan qadha puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadhan berikutnya.

Fiqih Islam menentukan bahwa pe­nundaan qadha sampai tiba Ramadhan berikutnya tanpa halangan yang sah hukumnya haram dan berdosa. Sedang jika penangguhan tersebut diakibatkan udzur yang selalu men­ghalangi, tidaklah berdosa.

Bagaimana jika meninggal dunia sebelum qadha? Memenuhi kewajiban membayar utang adalah sesuatu yang mutlak. Baik yang berhubungan dengan manusia, apalagi berhubungan dengan Allah. Sehingga orang yang meninggal dunia sebelum memenuhi kewajiban qadha puasa Ramadhan sama artinya dengan mempunyai tunggakan utang kepada Allah. Oleh Sebab itu, pihak keluarga wajib memenuhinya.

Adapun dalam praktik pelaksanaannya ada dua pendapat. Pertama, pelaksanaan qadha puasa Ramadhan orang yang men­inggal dunia tersebut dapat diganti dengan fidyah [memberi makan bahan makanan pokok kepada orang miskin untuk tiap-tiap hari puasa yang telah ditinggalkan]. Kedua, tidak boleh dengan fidyah, melainkan pihak keluarga wajib mengqadha puasanya. Sedan­gkan dalam praktiknya, pelaksanaan qadha puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain atas seizin atau perintah keluarganya.

Bagaimana pula jika jumlah hari yang ditinggalkan tidak diketahui? Memang bukan mustahil jika teriadi jumlah hari yang harus Qadla maupun fidyah hendaknya dipahami sebagai bentuk ketaatan pada-Nya, bukan beban akibat udzur atau kelalaian kita diqadha puasa itu tidak diketahui lagi, mis­alnya lantaran sudah terlalu lama, atau me­mang sulit diketahui jumlah harinya. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kita tentukan jumlah hari yang paling maksimum. Lantaran kelebihan hari qadha puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Sebab kelebihan hari qadha tersebut akan menjadi ibadah sunnah yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Fidyah dan Di Balik Keringanan bagi Muslimah

Dalam wilayah udzur syar'i yang me­nyebabkan puasa Ramadhan tidak dilaksanakan, kaum wanita dinilai lebih dominan mengalaminya. Misalnya, haid dan nifas, yang merupakan ketentuan wajib yang membuat wanita terhalang melaksanakan puasa Ra­madhan. Namun bukan berarti ketetapan ini melemahkan mereka.

Sebaliknya, darah kotor yang keluar akibat haid dan nifas, sejatinya, merupakan 'sunatullah' yang tak bisa dihindari. Seh­ingga bila kemudian mereka terhalang untuk beribadah, tidaklah semata-mata dikarena­kan 'darah kotor' yang keluar dari badan mereka. Bila dicermati, kondisi haid dan nifas pun merupakan kondisi yang membuat wanita 'terkuras' kesehatannya. Sehingga bukan tidak mungkin, bila puasa tetap diwa­jibkan, mereka akan merasa payah. Namun demikian, di lain waktu, mereka dikenakan kewajiban mengganti puasanya.

Berbeda dari wanita haid dan nifas yang memang dilarang berpuasa, wanita hamil dan menyusui hanya sebatas digolongkan dalam wilayah rukhshah [yang diberi keringanan]. Mengandung dan menyusui merupakan hal berat yang tidak dialami oleh laki-laki. Sebuah kondisi dimana seorang muslimah begitu berat menjalani hari-harinya. Sebab itu, fiqih Islam memberi kelonggaran pada mereka untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan. Di lain waktu, mereka dikenakan kewajiban meng-qadha puasanya dan juga dikenakan membayar fidyah.

Selain wanita hamil dan menyusui, orang yang sakit dan setara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi, orangtua yang lemah dan sudah tidak kuat lagi berpuasa, juga dikena­kan membayar fidyah.

Namun, terjadi dua perbedaan penda­pat. Menurut sebagian ulama, mereka wajib membayar fidyah saja, tidak diwajibkan mengqadha. Sedang menurut Imam Syafi'i, selain wajib membayar fidyah, puasanya juga wajib diqadha.

Ihwal besarnya fidyah itu sendiri sebagian ulama seperti Imam As-Syafi'i dan Imam Malik menetapkan ukurannya kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan ukuran mud Nabi saw. Sebagian lagi seperti Abu Hanifah mengata­kan dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah saw atau setara dengan setengah sha' kurma atau tepung, atau setara dengan memberi makan Siang dan malam hingga kenyang.

Fidyah pun harus dibayarkan sebelum masuk bulan Ramadhan tahun berikutnya. Tapi bila sampai Ramadhan tahun berikutnya belum dibayarkan juga, maka sebagian ulama, terutama Imam Syafi'i mengatakan bahwa fidyah itu menjadi berlipat. Artinya harus dibayarkan dua kali, satu untuk tahun lalu dan satu lagi untuk tahun ini.

Imam Syafi'i menyatakan bahwa kewa­jiban membayar fidyah itu adalah hak maliyah (harta) bagi orang miskin. jadi jumlahnya akan terus bertambah selama belum diba­yarkan. Namun ulama lain tidak sependapat, seperti Abu Hanifah. Beliau mengatakan bahwa fidyah itu cukup dibayarkan sekali saja meski telat dalam membayarnya. Allahu A'lam bi as-Shawab. [Sari/ foto: Wulan/berbagai sumber]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar