Sabtu, 15 Agustus 2009

LUKISAN KALIGRAFI

Cerpen ini adalah kumpulan koleksi kliping pribadiku dari harian KOMPAS beberapa puluh tahun yang lalu…… cerita menarik ini berkisah bahwa menjadi pelukis kaligrafi itu ternyata susah walaupun ia mengenal aturan-aturan penu­lisan khath Arab. Tetapi ada temannya yang tidak mengerti malah berani melukis kaligrafi……… nekad bener tu orang yaaaaaaa, kalo salah tulis kan bisa salah semua……. Tapi ALLAH punya cerita, walaupun dia beginner, lukisan tersebut di beli dengan harga FUNTASTICCCCC … subhanallah… semoga ini bisa jadi inspirasi sahabat-sahabat zaamedhearts buat jadi pelukis……………….AMIEN


LUKISAN KALIGRAFI

CERPEN A MUSTOFA BISRI

USTADZ Bachri sama sekali tidak menyangka.

Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya Hardi. Pelukis yang capai mengikuti idealis­menya sendiri lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain: berbisnis; meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya. Seperti kebanyakan bangsanya, Hardi sangat peka terhadap kehen­dak pasar. Dia kini melukis apa saja asal laku mahal. Mungkin karena kecerdasannya, dia segera bisa menangkap kela­kuan zaman dan mengikuti­nya. Dia melukis mulai perem­puan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi.

Menurut Hardi, kedatangan­nya di samping silaturrahmi, ingin berbincang-bincang de­ngan Ustadz Bachri soal kali­grafi. Ustadz Bachri sendiri yang sedikit banyak mengerti soal kaligrafi Arab, segera menyambutnya antusias.

Namun, ternyata tamunya itu lebih banyak berbicara tentang aliran-aliran seni mulai dari naturalis, surealis, ekpre­sionis, dadais, dan entah apa lagi. Tentang teknik melukis, tentang komposisi, tentang perspektif, dan istilah-istilah lain yang dia sendiri baru de­ngan kali itu. Sepertinya me­mang sengaja menguliahi Us­tadz Bachri soal seni dan khu­susnya seni rupa.

Yang membuat Ustadz Bach­ri agak kaget, ternyata, meski­pun sudah sering pameran ka­ligrafi, Hardi sama sekali tak mengenal aturan-aturan penu­lisan khath Arab. Tak tahu be­danya Naskh dan Tsuluts, Die­wany dan Faarisy, atau Riq'ah dan Kufi. Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal "menggam­bar" tulisan, mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertu­lisan Arab lainnya. Dia hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terje­mahan Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas atau kan­vas. Bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bu­mi, maka dia pun melukis pe­mandangan, lalu di atasnya di­tuliskan ayat yang bersangkutan. Kalau tidak begitu, dia tulis ayat yang dipilihnya da­lam bentuk-bentuk tertentu yang menurutnya sesuai de­ngan makna ayat. Ada huruf­nya yang ia bentuk seperti me­ga, burung, macan, tokoh wa­yang, dan sebagainya.

Ustadz Bachri bersyukur atas kedatangan kawannya yang meskipun agak sok­telah memberinya wawasan mengenai kesenian, terutama senirupa.

RINGKAS cerita, begitu si tamu berpamitan seperti biasa Ustadz Bachri mengiringkan­nya sampai pintu. Nah, sebe­lum keluar melintasi pintu rumahnya itulah si tamu tiba­-tiba berhenti seperti terkejut. Matanya memandang kertas bertulisan Arab yang tertempel di atas pintu, lalu katanya, "Itu tulisan apa? Siapa yang me­nulis?"

Ustadz Bachri tersenyum, "Itu rajah. Saya yang menulis­nya sendiri.

"Rajah?"

"Ya, kata Kiai yang memberi ijazah, itu rajah penangkal jin."

"Itu kok warnanya aneh; sampeyan menulis pakai apa?" Matanya tanpa berkedip terus memandang ke atas pintu.

"Pakai kalam biasa dan tin­ta cina dicampur sedikit de­ngan minyak zafaran. Katanya minyak itu termasuk syarat penulisan rajah."

"Wah," kata tamunya masih belum melepas pandangannya ke tulisan di atas pintu, "sam­peyan mesti melukis kaligrafi."

"Saya? Saya melukis kali­grafi?" katanya sambil tertawa spontan.

"Tidak. Saya seriu ini," tukas tamunya, "sampeyan mesti melukis kaligrafi. Gores­an-goresan sampeyan berka­rakter. ("Ini apa pula maksud­nya?” Ustadz Bachri memba­tin, tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?! Betul ya. Tiga bulan lagi, ka­wan-kawan pelukis kaligrafi kebetulan akan pameran; Nanti sampeyan ikut. Ya, ya! "

Ustadz Bachri tidak bisa berkata-kata, tapi rasa tertan­tang muncul dalam dirinya. Kenapa tidak, pikirya. Orang yang tak tahu khath saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa dia tidak? Namun, ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal meng­angguk.

Setelah tamunya itu pergi, dia benar-benar terobsesi un­tuk melukis kaligrafi. Setiap kali duduk-duduk sendirian, dia oret-oret kertas, menulis­kan ayat-ayat yang ia hapal. Dia buka kitab-kitab tentang khath dan sejarah perkem­bangan tulisan Arab. Bahkan dia memerlukan datang ke ko­ta untuk sekadar melihat lukis­an-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko, sebelum akhirnya dia memutuskan un­tuk membeli kanvas, cat, dan kuas.

Anak-anak dan istrinya agak bingung juga melihat dia da­tang dari kota dengan mem­bawa oleh-oleh peralatan me­lukis. Lebih heran lagi ketika dia jelaskan bahwa dialah yang akan melukis. Meski mula-mula istri dan anak-anaknya mentertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai juga mereka menyemangati. Mereka dengan riang ikut membantu membereskan dan membersihkan gudang yang akan dia pergunakan untuk "sanggar melukis".

Mungkin tidak ingin digang­gu atau malu dilihat orang, Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk melukis. Istri dan anak-anaknya pun biasanya sudah lelap tidur, saat dia mu­lai masuk ke gudang berkutat dengan cat dan kanvas-kan­vasnya. Kadang-kadang sam­pai subuh, dia baru keluar. Di gudangnya yang sekarang merangkap sanggar itu, bersera­kan beberapa kanvas yang su­dah belepotan cat tanpa ben­tuk. Di antaranya sudah ada yang sedemikian tebal lapisan catnya, karena sering ditindas. Karena begitu dia merasa tidak sreg dengan lukisannya yang hampir jadi, langsung ia tindas dengan cat lain dan memulai lagi dari awal. Hal itu terjadi berulang kali. "Ternyata sulit juga melukis itu," katanya sua­tu ketika dalam hati, "enakan menulis pakai kalam di atas kertas."

Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi, istri dan anak-anaknya selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang ke­dengaran di telinganya seperti menyindir nyalinya. Maka, dia pun bertekad, apa pun yang terjadi harus ada lukisannya yang jadi untuk diikutkan pameran.

Sampai akhirnya, ketika se­orang kurir yang dikirim oleh Hardi kawannya itu, datang mengambil lukisannya untuk pameran yang dijanjikan, dia hanya -atau, alhamdulillah, su­dah berhasil—menyerahkan sebuah "lukisan".

Ketika sang kurir menanya­kan judul lukisan dan harga yang diinginkan, seketika dia merasa seperti diejek. Tapi ke­mudian dia hanya mengatakan terserah. "Bilang saja kepada Mess Hardi, terserah dia! " ka­tanya.

Dia sama sekali tidak me­nyangka.

MESKIPUN ada rasa malu dan rendah diri, dia datang juga pada waktu pembukaan pa­meran untuk menyenangkan kawannya Hardi, yang berkali-­kali menelepon memaksanya datang. Ternyata pameran —di mana "lukisan" tunggalnya di­ikutsertakan— itu diseleng­garakan di sebuah hotel ber­bintang. Wah, rasa malu dan rendah dirinya pun semakin memuncak.

Dengan kikuk dan sembu­nyi-sembunyi dia menyelinap di antara pengunjung. Dari ke­jauhan dilihatnya Hardi berkali-kali menoleh ke kanan ke kiri. Mungkin mencari-cari dirinya. Ada , pidato-pidato pendek dan sambutan tokoh kesenian terkenal, tapi dia sama sekali tidak bisa tenang mendengarkan, apalagi menik- matinya. Dia sibuk mencari­-cari "lukisan"-nya di antara deretan lukisan-lukisan kali­grafi yang di pajang yang rata­-rata-tampak-indah dan mem­pesona. Apalagi dipasang sede­mikian rupa dengan pencaha­yaan yang diatur apik untuk mendukung tampilan setiap lu­kisan. "Apakah lukisanku juga tampak indah di sini?" pikir­nya, "di mana gerangan lukis­anku itu dipasang?"

Sampai akhirnya, ketika acara pidato-pidato usai dan para pengunjung beramai-ra­mai mengamati lukisan-lukis­an yang dipamerkan, dia yang mengalirkan diri di antara je­jalan pengunjung, belum juga menemukan lukisannya. Tiba­-tiba terbentik dalam kepalanya "Jangan-jangan lukisanku di apkir, tidak diikutkan pamer­an, karena tidak memenuhi standar." Aneh, mendapat pikiran begitu, dia tiba-tiba jus­tru menjadi tenang. Dia pun tidak lagi menyembunyikan di­n di balik punggung para pe­ngunjung. Bahkan, dia sengaja mendekati sang Hardi yang tampak sedang menerang-ne­rangkan kepada sekerumunan pengunjung yang menggerom­bol di depan salah satu lukisan. Lukisan itu sendiri hampir tak tampak olehnya tertutup ba­nyak kepala yang sedang mem perhatikannya.

"Lha ini dia! " tiba-tiba Har­di berteriak ketika melihat­nya. Dia jadi salah tingkah dil­ihat oleh begitu banyak orang, "Ini pelukisnya!" kata Hardi lagi, lalu ditujukan kepada dirinya, "Kemana saja sampeyan. Sudah dari tadi ya datangnya? Sini, sini. Ini, bapak ini seorang kolektor Hari Jakarta, ingin membeli lukis­an sampeyan." Astaga, ternya­ta lukisan yang dirubung itu lukisannya. Dia lirik tulisan yang terpampang di bawah lu­kisan yang menerangkan data lukisan. Di samping namanya, dia tertarik dengan judul (yang tentu Hardi yang mem­buatkan): Alifku Tegak di Mana-mana. Wah, Hardi ter­nyata tidak hanya pandai melukis, tapi pandai juga me ngarang judul yang hebat-­hebat, pikirnya. Di kanvasnya itu memang hanya ada satu huruf, huruf alif. Lebih kaget lagi ketika dia membaca ang­ka dalam keterangan. harga. Dia hampir tidak memper­cayai matanya: 10.000 dollar AS, sepuluh ribu dollar AS! Gila!

"Begitu melihat lukisan Anda, saya langsung tertarik;" .tiba-tiba si bapak kolektor berkata sambil menepuk bahunya, "apalagi setelah kawan Anda ini menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa !"

Dia tersipu-sipu. Hardi membisikinya, "Selamat, lu­kisan sampeyan dibeli beliau ini!" "Katanya, Anda baru kali ini ikut pameran," kata si bapak kolektor lagi tanpa memper­hatikan air mukanya yang merah padam, "teruskanlah melu­kis dari dalam seperti ini." ("Melukis dari dalam? Apa pula ini?" pikirnya)

Wartawan-wartawan me­nyuruhnya berdiri di dekat lu­kisan alifnya itu untuk diambil gambar. Dia benar-benar salah tingkah. Pertanyaan-pertanya­an para wartawan dijawabnya sekenanya. Mau bilang apa?

Besoknya hampir semua me­dia massa memuat berita tentang pameran yang isinya hampir didominasi oleh liputan tentang dirinya dan lukisan­nya. Hampir semua koran, baik ibu kota maupun daerah, me­lengkapi pemberitaan itu de­ngan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu sama sekali tidak tampak lu­kisan alifnya. Yang terlihat ha­nya dia sedang berdiri di sam­ping kanvas kosong!

Beberapa hari kemudian, be­berapa wartawan datang ke rumah Ustadz Bachri. Berta­nya macam-macam tentang lu­kisan alifnya yang menggem­parkan. Tentang proses krea­tifnya, tentang bagaimana dia menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip kesenian­nya, dsb. Seperti ketika pame­ran dia asal menjawab saja.

Ketika makan Siang, istri dan anak-anaknya ganti me­ngerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan al­ifnya itu pula.

"Kalian ini kenapa, kok ikut-ikutan seperti warta­wan?!" teriaknya kesal.

"Tidak pak, sebenarnya apa sih menariknya lukisan Bapak? Kok sampai dibeli sekian ma­halnya?" tanya anak sulung­nya.

"Kenapa sih Bapak hanya menulis alif?" tanya si bungsu sebelum dia sempat menjawab pertanyaan. kakaknya, "me­ngapa tidak sekalian Bismil­lah, Allahu Akbar, atau setidaknya Allah, seperti umumnya kaligrafi yang ada?" Istrinya juga tidak mau kal­ah rupanya. Tidak sabar menunggu dia menjawab pertanyaan-pertanyaan anak-anaknya.

"Terus terang saja, Mas, sampeyan menggunakan ilmu apa, kok lukisanmu sampai tidak bisa difoto?"

Ustadz Bachri geleng-geleng kepala. Kepada para wartawan dan orang lain, dia bisa tidak terus terang, tapi kepada ke­uarganya sendiri bagaimana mungkin dia akan menyembunyikan sesuatu. Bukankah dia sendiri yang mengajarkan dan memulai tradisi keterbukaan rumah.

"Begin," katanya sambil nenyantaikan duduknya; se­mentara semuanya menunggu penuh perhatian, 'terus terang aja; saya sendiri sama sekali idak menyangka. Kalian tahu endiri, saya melukis karena dipaksa Hardi, tamu kita yang melukis itu. Saya merasa ter­antang. "

"Saya sendiri baru menyadari bahwa meskipun saya menguasai kaidah-kaidah khath, ternyata melukis kaligrafi tidak semudah yang saya duga. Apalagi, kalian tahu sendiri, sebelumnya saya tidak pernah melukis. Lihatlah, di gudang kita, sekian banyak kanvas yang gagal saya lukisi. Bahkan, saya hampir putus-asa dan akan memutuskan membatal­kan keikutsertaan saya dalam pameran. Tapi, Hardi ngotot mendorong-dorong saya terus."

"Lalu, ketika cat-cat yang saya beli hampir habis, saya baru teringat pernah melihat dalam pameran kaligrafi dalam rangka MTQ belasan tahun yang lalu, seorang pelukis be­sar memamerkan kaligrafinya yang menggambarkan dirinya sedang sembahyang dan di atas kepalanya ada lafal Allah. Saya pun berpikir mengapa saya tidak menulis Allah saja?"

Ustadz Bachri berhenti lagi, memperbaiki letak duduknya, baru kemudian lanjutnya, "Ke­tika saya sudah siap akan me­lukis, ternyata cat yang tersisa hanya ada dua warna: warna putih dan silver. Tetapi, tekad saya sudah bulat, biar hanya dengan dua warna ini, lukisan kaligrafi saya harus jadi. Mu­lailah saya menulis alif. Saya merasa huruf yang saya tulis bagus sekali, sesuai dengan standar huruf Tsuluts Jaliy. Namur, ketika saya pandang-­pandang letak tulisan alif saya itu persis di tengah-tengah kanvas. Kalau saya lanjutkan menulis Allah, menurut selera saya waktu itu, akan jadi wagu, tidak pas. Maka, ya sudah, tak usah saya lanjutkan. Cukup alif itu saja."

"Jadi, tadinya Bapak hendak menulis Allah?" sela si bungsu

Ya, niat semula begitu. Yang saya sendiri kemudian bi­ngung, mengapa perhatian orang begitu besar terhadap lu­kisan alif saya itu. Saya juga tidak tahu apa yang dikatakan Hardi kepada kolektor dari Jakarta itu, tetapi dugaan, saya dialah yang membuat lukisan saya bernilai begitu besar. Ter­masuk idenya memberi judul yang sedemikian gagah itu." "Tetapi, sampeyan belum menjawab pertanyaan saya," tukas istrinya, "sampeyan menggunakan ilmu apa, sehingga lukisan sampeyan itu ketika difoto tidak jadi dan yang tampak hanya kanvas ko­song yang diberi pigura?"

"Wah, kamu ini ikut-ikutan mempercayai mistik ya?! Ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver untuk huruf al­ifnya. Mungkin, ya karena sil­ver di atas putih itu yang mem­buatnya tak tampak ketika di­foto."

Istri dan anak-anaknya tak bertanya-tanya lagi; tetapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya atau tidak. *




Tidak ada komentar:

Posting Komentar