Senin, 15 Juni 2009

DOA YANG MENGANCAM

cerpen ini terbit pada harian KOMPAS sekitar tahun 2001, menceritakan orang yang mengancam ALLAH untuk mengabulkan permintaannya ASAP (As Soon As Possible)...........
kita hanya wajib berdoa kepadaNYA, sedangkan dikabulkan atau tidak itu adalah hak prerogatif ALLAH, mungkin kita hanya menerka hal sbb :
- Kita belum siap menerima karunia ALLAH yang sangat besar, jika dikabulkan pada saat itu, mungkin karunia ALLAH itu akan kita salah gunakan
- ALLAH mengabulkan doa tersebut untuk keturunan kita nantinya yang membutuhkan proses dan kesabaran
- ALLAH akan memudahkan jalan rezeki, hal ini juga butuh proses dan kesabaran
- Apakah anda sudah merasa beramal sadaqoh, berzakat, qurban DLL, bagaimana ALLAH mau mempercayakan rezeki kepada kita, kalau kita sendiri kikir
- masih banyak lagi kemungkinan nya

doa yang sering aku baca sebagai berikut :
"Ya ALLAH semoga Engkau merelakan saya dengan ketetapan Mu, berkahilah saya pada apa yang Engkau tahdirkan, sehingga saya tidak senang menyegerakan apa yang Engkau akhirkan, dan mengakhirkan apa yang Engkau segerakan"



DOA YANG MENGANCAM

Oleh Jujur Prananto

"YA TUHAN, bertahun-tahun aku berdoa pada-Mu, memohon agar Kau lepaskan aku dari kemiskinan yang sekian lama menjerat kehidupanku, tapi nyatanya sam­pai kini aku tetap miskin dan bahkan bertambah miskin, hingga aku menganggap bahwa Engkau tak pernah mendengar doaku, apalagi mengabulkannya. Karena saat ini aku sudah tak punya apa-apa lagi selain badan dan sepasang pakaian yang kukenakan, aku ingin me­mohon padaMu untuk yang terakhir kali. Kalau sampai Matahari terbit esok hari Engkau tak juga mengabulkan doaku, aku mohon ampun padaMu untuk yang terakhir pula, sebab setelah itu aku akan meninggalkanMu."

ITULAH doa terakhir Monsera, seorang penduduk miskin yang tinggal di pinggiran kota Ampari, ibukota negeri Kalya­na. Setelah itu ia menutup pintu rumah tempat tinggalnya, me­nguncinya dan menyerahkan kunci pada si empunya rumah yang telah berbulan-bulan me­nagih tunggakan uang sewa pa­danya.

"Suatu saat saya akan kem­bali untuk membayar hutang­ku," Si empunya rumah cuma ter­senyum sinis dan membiarkan Monsera pergi.

Monsera lalu berpamitan pa­da para tetangga, pemilik wa­rung makan, pemilik toko ke­lontong, penjual minyak tanah, ialah semua yang berpiutang padanya dengan ucapan sama, "Suatu saat saya akan kembali untuk membayar hutangku." Dan semua juga membiarkan­nya pergi tanpa berharap Monsera akan menepati janjinya.

Lelaki berbadan kurus itu la­lu meninggalkan ibu kota, ber­jalan kaki memasuki wilayah berhutan, mencari kelinci, um­bi-umbian, dan buah-buahan, untuk bersantap malam, lalu tidur di dahan sebuah pohon be­sar, menanti datangnya pagi.

Monsera terbangun oleh tetes­an embun yang membasahi mu­kanya, dan setelah itu tak bisa tidur lagi sampai ufuk timur memerah. Ia berdebar-debar menunggu terbitnya Matahari, berharap-harap cemas mem­bayangkan apa yang akan ter­jadi nanti.

"Apakah Tuhan mendengar doaku? Apakah Tuhan terusik oleh ancamanku?"

Sampai Matahari terbit dan Monsera meneruskan perjalan­annya yang tanpa tujuan ini, tak ada kejadian istimewa terjadi. Monsera mulai kesal dan putus ­asa, tapi terus berjalan meninggalkan hutan dan memasuki pa­dang rumput savana.

Seperti ingin, bunuh diri, Monsera menantang teriknya Matahari tanpa berbekal setetes pun air dan menantang dingin­nya malam tanpa berbekal se­lembar pun selimut. Pada hari ke tujuh, Monsera tergeletak tanpa daya di atas permukaan rumput. Saat itu hujan turun de­ras. Kilat berkerjap-kerjap me­nerangi malam yang gelap. Gun­tur menggelegar. Seleret petir melesat menukik tajam, me­nyambar tubuh Monsera.

Paginya, seorang saudagar kuda bernama Sinaro menemu­kan tubuh Monsera yang hangus dan mengiranya sudah jadi ma­yat. Sinaro menggali liang ku­bur, mendoakan Monsera dan menguburnya. Tapi begitu gum­palan tanah mengenai muka Monsera, mulutnya sedikit ber­gerak. Ternyata Monsera cuma mati suri. Sinaro kaget sekali dan membawa Monsera pulang ke rumahnya di negeri Salaban.

Setelah sebulan lebih dira­wat keluarga Sinaro, luka bakar yang diderita Monsera berang­sur sembuh. Kesadarannya ber­angsur pulih. Monsera mulai bisa bicara sepatah dua patah kata, tapi masih menderita am­nesia. Masuk bulan ke tiga baru­lah ingatannya kembali normal, dan bisa berbincang secara wa­jar dengan orang-orang di se­kitarnya.

Suatu hari Monsera tertarik pada foto lama keluarga ayah Sinaro yang ditaruh di atas al­mari pakaian. Lama Monsera mengamati foto itu, lalu menun­juk seorang bocah yang ada di situ dan menanyakannya pada Sinaro. "Ini saudaramu?"

Sinaro agak kaget, lalu berce­rita dengan perasaan sedih. "Ya, namanya Sridar. Ia hilang wak­tu ikut perang saudara sepuluh tahun yang lalu. Sampai sekarang tak pernah ada kepastian dia masih hidup, atau sudah me­ninggal."

"Dia masih hidup," kata Monsera penuh kepastian. "Belum lama saya bertemu dia di Rodamar." Sinaro terperanjat. "Kamu yakin?" "Saya yakin."

"Tapi itu foto dua puluh lima tahun yang lalu, Monsera. Ba­gaimana kamu yakin yang kamu temui di Rodamar itu adalah Sridar adikku?"

"Sebaiknya kita sama-sama ke Rodamar. Sridar tinggal di salah-satu perumahan rakyat di pinggiran kota."

Antara percaya dan tidak, Sinaro berangkat ke Rodamar bersama sanak-saudara yang lain, mengikuti petunjuk Monsera. Tiga hari dua malam mereka berkuda menyeberangi padang pasir dan berhasil men­capai Rodamar dengan selamat. Dengan mudah Monsera me­nunjukkan jalan-jalan dalam kota yang harus dilalui, sampai akhirnya menemukan peru­mahan rakyat yang dimaksud. Dan berhasil menemukan Sri­dar!

Tak terkira betapa gembira Sinaro dan sanak-saudara lain­nya, bisa berjumpa lagi dengan Sridar yang sudah sepuluh ta­hun mereka anggap hilang ini. Dan tak terkira pula rasa teri­ma kasih mereka pada Monsera yang telah membantu menemu­kan Sridar.

Belakangan Monsera merasa takut dan heran pada dirinya sendiri, setelah sadar bahwa se­belum ini ia sama-sekali belum pernah pergi ke Rodamar. Jadi bagaimana ia bisa tahu seorang bernama Sridar yang belum per­nah dikenalnya tinggal di se­buah kota yang belum pernah didatanginya pula?

Sekembali ke rumah Sinaro, Monsera meminjam foto-foto yang lain, mengamati wajah­-wajah dalam foto itu. Dalam waktu singkat ia ternyata bisa melihat perjalanan kehidupan orang yang diamatinya bagai­kan sebuah film panjang. Meli­hat Sinaro waktu masih berpa­caran. Melihat Sinaro melamar calon istrinya. Melihat istrinya melahirkan anak pertama. Dan melihat saat ini istrinya sedang berbelanja di pasar.

Tak ayal, kemampuan lebih yang dimiliki Monsera cepat di­ketahui orang-orang. Mereka berbondong-bondong menda­tangi Monsera, menanyakan anak atau ayah atau suami atau sanak saudara mereka yang hi­lang pada waktu perang sauda­ra. Banyak yang sedih setelah Monsera mengatakan yang me­reka cari sudah meninggal. Na­mur banyak pula yang bergem­bira seperti Sinaro, berhasil ber­temu kembali dengan yang selama ini menghilang entah ke ma­na. Hadiah berupa uang, emas, maupun barang-barang berhar­ga lainnya, sebagai tanda-teri­ma kasih mengalir deras ke pun­di-pundi Monsera. Sampai akhimya pemerintah negeri Salaban mendengar pula kehebat­an Monsera, lalu mengangkat Monsera sebagai pejabat khusus di kepolisian dengan gaji yang sangat tinggi, dan memberinya tugas melacak para penjahat yang melarikan diri.

Monsera pun menjadi orang yang kaya-raya. Dan di tengah-­tengah kekayaannya yang me­limpah itu, ia merasa dirinya te­lah berhasil mengancam Tuhan lewat doanya.

Setelah cukup lama ber­bakti bagi rakyat dan pemerin­tahan Salaban, Monsera pulang ke negerinya. Yang pertama di­lakukannya ialah menemui para mantan tetangga, dan memba­yar semua piutang mereka. Se­telah itu Monsera meninggalkan Kota Ampari, pergi ke sebuah dusun termiskin di negeri Kalyana, menemui ibunya yang selama ini ditinggalkannya begitu saja.

Si ibu yang tua dan renta nya­ris tak mengenali Monsera yang gemuk dan bersih.

"Tuhan akhirnya mengabul­kan doa saya, ibu! Bahkan lebih dari sekedar terbebas dari ke­miskinan, saya sekarang jadi kaya-raya!"

Monsera lalu membawa ibu­nya pindah ke kota untuk ting­gal bersamanya di sebuah kastil termegah dan termahal di Am­pari yang sudah dibelinya. Ke­kayaan ibu yang dibawa dari dusun cuma sebuah tas kecil berisi selembar kain dan foto­-foto lama. Monsera membakar kain tua itu dan meminta para pembantunya membelikan lu­sinan kain sutera sebagai peng­ganti. Monsera membeli pula bingkai-bingkai emas untuk memasang foto-foto keluarga yang dibawa ibunya.

Monsera tersenyum sendiri melihat sebuah foto ibunya waktu masih muda.

"Cantik sekali," gumam Monsera. Lalu, di luar kehendaknya, kilasan-kilasan gambaran ma­salalu mulai berkelebat secara bening dan meyakinkan.

Seorang wanita bernama Lastina berdandan di muka cermin... Malam hari dia ber­jalan di kaki-lima mengenakan pakaian seronok, melambai­lambaikan tangan pada setiap kereta kuda yang lewat, sampai salah satu berhenti dan mem­bawanya pergi... Sekilas nam­pak Lastina digauli seorang pria... Lalu digauli pria lain di tempat lain pula... Lastina hamil, gagal menggugurkan kan­dungan, merayu seorang preman jalanan untuk minta dini­kahi Lastina menikah dengan preman itu... Si preman kaget setelah tahu Lastina sudah hamil... Si preman meninggalkan Lastina begitu saja... Lastina melahirkan anaknya... Dan di­beri nama Monsera.

"INI pasti salah! tak mungkin ibuku seorang pelacur!" Monse­ra berteriak dalam hati sambil membuang foto-foto di tangan­nya. Perasaannya terguncang hebat, merasa begitu takut ka­lau pandangannya benar bela­ka. "Katakanlah padaku ya Tu­han, bahwa pandanganku kali ini keliru. "

Namun jawaban dari Tuhan dalam bentuk apa pun tak per­nah diterimanya. Dan tetap saja setiap ia melihat foto ibunya, gambaran masa lalu yang ke­lam itu kembali berkerjap-ker­jap. Bahkan kian lama kian ben­derang sekaligus menjijikkan.

Sampai akhimya Monsera tak kuat bertahan dan memohon la­gi kepada Tuhan. "Aku sungguh bersyukur Engkau telah mem­beriku rezeki yang melimpah, ya, Tuhan, tapi sekarang tolong bebaskan aku dari keahlianku melihat masa lalu, dan kem­balikan aku sebagai manusia biasa."

Setelah sehari, dua hari, se­minggu, sebulan Monsera terus berdoa dan berdoa, kemampuan supra-naturalnya tak kunjung menghilang. ia mulai tak sabar dan terucaplah ancaman seperti yang dulu pernah dilakukannya. "Kalau Kau tak juga menga­bulkan doaku, ya, Tuhan, aku akan segera meninggalkanMu."

Kali ini ia merasa ancaman­nya pada Tuhan sama sekali tak mempan. Sedikit pun tidak ada perubahan terjadi dalam diri­nya. Lama-lama Monsera berpi­kir, jangan-jangan dengan an­camannya yang pertama dulu. Tuhan marah dan lebih dulu me­ninggalkannya. Kalau memang begitu, segala mukjizat yang di­terimanya selama ini bisa jadi bukan anugerah dari Tuhan,... melainkan pemberian dari Setan.

Maka Monsera pun berkata, "Hai, Setan! Jangan kausiksa aku dengan pemberianmu yang justru membuatku menderita. Kembalikan aku seperti manusia biasa! Kalau kau tidak man melakukannya, aku akan kem­bali mengabdi pada Tuhan!"

Seketika hujan turun deras. Kilat berkerjap-kerjap mene­rangi malam yang gelap. Guntur menggelegar. Seleret petir mele­sat menukik tajam, menyambar tubuh Monsera.

Paginya, orang-orang mene­mukan tubuh Monsera yang ha­ngus dan mati suri. Mereka berebut membawa Monsera ke ru­mah sakit terbaik. Pemerintah pusat menginstruksikan Depar­temen Kesehatan agar menge­rahkan semua dokter ahli di se­luruh negeri untuk menyelamat­kan aset negara berupa manusia bernama Monsera ini.

Tak lebih dari sebulan Monse­ra tersadar dari mati surinya. Yang pertama dia lihat adalah seorang perawat jaga bernama Datim yang berwajah sedih. Monsera mengajaknya berke­nalan dan bertanya kenapa Da­tim nampak sangat bersedih.

"Suami saya memohon ijin pada saya untuk menikah lagi karena setelah delapan tahun menikah saya tak bisa mem­berinya anak," jawab Datim.

Monsera terdiam menatap Datim. Tiba-tiba, di luar kehen­daknya, kilasan-kilasan adegan berkelebatan seperti biasa dia alami. Kali ini ia melihat Datim muntah-muntah di kamar mandi, lalu bicara dengan dokter yang mengucap selamat atas ke­hamilannya.

"Kenapa tuan Monsera mena­tap saya seperti itu?" "Aku lihat engkau hamil, Datim."

"Ah. Tuan pandai menye­nang-nyenangkan perasaan wa­nita. Kalau dalam benak tuan terbayang di masa lalu saya hamil, tentulah sekarang saya sudah melahirkan atau malah anak saya sudah besar"

Sekonyong-konyong Monsera menjadi cemas. "Jangan-jangan…….”

"Jangan-jangan apa, tuan Monsera?"

"Jangan-jangan aku melihat sesuatu yang belum terjadi." Ternyata benar! Seminggu se­telah itu Datim muntah-muntah, pergi ke dokter dan dinyatakan hamil. Datim sangat gembira dan menceritakannya pada se­mua orang. Dalam tempo sing­kat seluruh warga negeri Kal­yana tahu, bahwa sekarang Monsera bukan cuma bisa meli­hat kejadian yang sudah terjadi di masa-lalu, tetapi juga kejadi­an yang belum terjadi di masa yang akan datang, hanya dengan menatap wajah orang yang akan mengalaminya. Maka berbon­dong-bondonglah orang menda­tangi Monsera, menanyakan masa-depan pekerjaan mereka, jabatan, jodoh, vonis hakim, nomor undian, dan segala sesua­tu yang diharapkan atau tidak diharapkan oleh yang bersang­kutan. Dan belakangan terbukti, bahwa yang dilihat secara maya oleh Monsera semuanya benar­benar terjadi!

Monsera kewalahan menam­pung imbalan berupa uang berjuta-juta, emas berkilo-kilo maupun berlian berkarat-karat, sampai ia sendiri tak sempat menghitung, apalagi menikma­tinya. Sampai suatu saat ia merasa sangat lelah dan menyem­patkan diri beristirahat sesaat, membasuh muka di wastafel, dan menatap wajahnya di cer­min. Monsera pun tertegun. Tak lama kemudian muncul kilasan-­kilasan kejadian sebagaimana selalu terjadi setiap, ia menatap, wajah seseorang...

Kali ini yang nampak ialah se­orang lelaki kaya-raya berwajah letih yang merasa bosan dengan kekayaannya, menyamar seba­gai rakyat bersahaja dan lari dari rumahnya sendiri di tengah malam sunyi. Sekelompok pen­jahat mencegatnya, menodong­kan senjata mereka ke tubuh la­ki-laki ini dan menghardiknya keras.

"Serahkan semua uangmu!"

"Saya tidak bawa uang sesen pun. Semua saya tinggal di rumah. Ambillah sesuka kalian kalau kalian mau."

"Jangan main-main! Serah­kan uangmu sekarang juga! "

Laki-laki ini mengulangi ja­waban yang sama, hingga para penodongnya marah dan meng­hunjamkan senjata mereka ber­kali-kali ke tubuhnya.

"Tidaaaak!" Monsera berteri­ak. "Aku tak man mati dengan cara begituuu!"

Tapi kali ini Monsera tak tahu lagi kepada siapa ia harus ber­doa.***

Jakarta, 29 Maret 2001





Tidak ada komentar:

Posting Komentar