Semoga ini bisa menjadi contoh bagi kita semua............................
MUKHLIS
OLEH : Mohamad Sobary
Pemuda kurus, tinggi, dan agak pucat, dan kelihatan lemah tapi baik hati dan sopan santun pada siapa pun, yang selama ini menjadi imam masjid kami dan menjadi guru ngaji anak-anak di kompleks perumahan kami itu, tiba-tiba lenyap bagai ditelan Bumi. Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi, tak sepatah kata pun pesan ditinggalkan pada Rt, Rw, atau pengurus masjid yang selama ini memberinya tumpangan tempat tinggal.
Memang ia bukan penumpang gratis. Sebaliknya, ia memberi kami lebih banyak dari yang ia peroleh. Kecuali menjadi imam masjid dan guru ngaji anak-anak, ia juga guru kami. Pemuda inilah yang mengajari kami tahlilan, membaca doa, menyanyikan pujian, salawat, dan yasinan dan ritus-ritus lain. Ia kami kagumi karena kesalehannya.
Kompleks perumahan kami dihuni kaum terpelajar, orang
"Edan, ternyata kita tertipu," kata seseorang.
Kekecewaan pun menggumpal di hati seluruh penduduk kompleks itu. Orang-orang yang cepat memuja, cepat memuji, cepat kagum, cepat terpesona, di mana-mana, akhirnya menemui kegetiran dan ironi hidup: mereka cepat pula kecew a.
"Salah kalian sendiri," pikir saya.
Suatu hari, ia kembali ke masjid tapi tak seorang pun menegurnya. Ia juga tak lagi dijadikan imam, atau guru ngaji. Ia disingkang-singkang oleh mantan para pemujanya. Dan ia tampaknya tak gusar menghadapi perubahan sikap ini. Ia seperti dulu tetap tenang. Bahkan ia masih tenang-tenang ketika dilarang tinggal di kamar khusus yang dulu disediakan untuknya. Maka, ia pun tidur di serambi seperti maaf, kere tidur di emper toko.
Saya dekati ia dengan cara khusus. Saya bawa ia pada suatu malam, ketika tak seorang pun tahu, ke rumah saya. Kami lalu dialog perkara hidup. Hakikat dan inti ibadah ia paparkan. Ia mengajari saya tindakan ikhlas, lahir batin, tanpa pamrih. Orang ikhlas, dalam bahasa dia, disebut mukhlis.
"Saya ingin jadi mukhlis tapi gagal. Di sini orang memuji-muji saya, dan diam-diam saya senang. Lama-lama, saya ngaji, shalat, berdoa, berzikir, buat memperteguh citra bahwa saya saleh. Saya shalat bukan menyembah Allah, tapi menyembah kesalehan saya, menyembah citra diri saya, dan kepentingan saya. Dan ini bukan tindakan ikhlas. Saya bukan seorang mukhlis. Saya takut pada Allah. Saya tinggalkan rumah-Nya. Saya mabuk-mabukan, dan baru kemudian, di tengah caci maki orang banyak, saya temukan kedamaian. Baru tadi saya shalat buat Allah, menyembah Allah, dan bukan menyembah citra diri..."
"Edan," pikir saya. Setua ini belum pernah saya punya kesadaran macam itu. Dan bocah ini memilikinya. Saya malu. Malu sekali pada diri sendiri. Ia memberi saya banyak pelajaran. Ia memang guru. Guru sejati. Dia guru kehidupan.
Tak ada kata yang sekadar kata. Tak ada idiom, atau kalimat, sekadar idiom dan kalimat. Kata, idiom, ungkapan, kalimat, pribahasa; sering padat muatan, sering penuh simbol, dan menjadi pengejawantahan bagi suatu konstruksi sosial, idiologi, dan misi-misi "political economy" yang sangat terang-benderang bagai bangau putih terbang Siang.
Teriakan hak asasi, tak selalu mencerminkan perjuangan kemanusiaan. Tegakkan hokum ada kalanya berarti berapa harga demo saya sehari, hormati hak asasi mungkin artinya kapan saya jadi menteri, sikat tokoh KKN siapa bilang tak mungkin berarti bolehkah saya jadi presiden, atau wakilnya, sekarang saja, tak usah menunggu 2004 karena siapa menjamin 2004 partai saya menang? Jadi, ya sekarang saja.
Di kalangan kaum rohaniwan, dan tokoh-tokoh agama, atau tokoh-tokoh dan mantan tokoh organisasi sosial keagamaan sekalipun, yaitu orang-orang yang dijadikan anutan moral para pengikutnya, sudah lama tak kita temukan keikhlasan. Bahkan di kalangan kaum rohaniwan bila mereka berpolitik, dan tak sabar menanti giliran menduduki suatu jabatan jelas tak ada lagi orang yang bisa disebut mukhlis.
Watak kepemimpinan mereka lenyap. Mereka menghina para diktator masa lalu, tapi kelakuan mereka sendiri nol. Idiom demokrasi, kemanusiaan, dan agama, yang "nericis" meluncur dari mulut mereka, hanya simbol kosong.
Tokoh-tokoh politik kita, nama-nama besar, atau yang dianggap besar dan di besar-besarkan oleh media sontoloyo kita, bukan orang-orang besar. Mereka bukan kaliber tokoh, bukan kaum elite, bukan gembala bagi umat, yang sekarang ini kocar-kacir ibarat domba-domba sesat ke tanaman petani dan dilempari batu.
Mereka hanya orang-orang mabuk biasa. Orang-orang itulah yang lebih tepat disebut anggota "pengunci" paguyuban ngunjuk ciu, sebab mereka mabuk kepahlawanan palsu, mabuk kedudukan, mabuk pujian. Tak ada kata ikhlas. Tak seorang pun patut disebut mukhlis. Semua mereka tega mempertaruhkan nasib rakyat, bangsa, dan negara, di meja judi politik kita yang kejam, demi ambisi pribadi. Tapi tak malu-malunya mereka mendekati atau menjerumuskan dan memperalat mahasiswa yang relatif masih lebih murni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar