Sabtu, 13 Juni 2009

INILAH IBADAH YANG KUCARI

artikel & foto koleksi kliping pribadi saya ini pernah ditampilkan pada koran KOMPAS, mengenai fotonya edisi nya saya` tidak hafal , kalo artikelnya kira-kira tahun 2004, karena dalam artikel ini terdapat kata 2004..................... tetapi hal itu tidak begitu penting, bagi saya yang menarik adalah, sifat tokoh pada artikel ini yang hanya ibadah untuk ALLAH saja, bukan karena demi citra diri.
Semoga ini bisa menjadi contoh bagi kita semua............................

MUKHLIS

OLEH : Mohamad Sobary


Pemuda kurus, tinggi, dan agak pucat, dan kelihatan lemah tapi baik hati dan sopan santun pada siapa pun, yang selama ini menjadi imam masjid kami dan menjadi guru ngaji anak-anak di kompleks perumahan kami itu, tiba-tiba lenyap bagai ditelan Bumi. Tak seorang pun tahu ke mana ia pergi, tak sepatah kata pun pe­san ditinggalkan pada Rt, Rw, atau pengurus masjid yang sela­ma ini memberinya tumpangan tempat tinggal.

Memang ia bukan penumpang gratis. Sebaliknya, ia memberi kami lebih banyak dari yang ia peroleh. Kecuali menjadi imam masjid dan guru ngaji anak-­anak, ia juga guru kami. Pemu­da inilah yang mengajari kami tahlilan, membaca doa, menya­nyikan pujian, salawat, dan ya­sinan dan ritus-ritus lain. Ia ka­mi kagumi karena kesalehan­nya.

Kompleks perumahan kami di­huni kaum terpelajar, orang kota, modern, maju, pegawai kantoran, punya status terhormat, dan makmur tapi tak satu pun bisa membaca kitab suci Al Quran. Tak seorang pun, ibaratnya, bisa membedakan huruf "alif" sebe­sai tugu Monas, dan "ba" selebar danau Singkarak. Kalau ada yasinan, semua mencoba meme­gang kitab, dan pura-pura mem­bacanya, dan kalau orang sebe­lahnya membalik halaman ber­ikutnya, mereka pun mengikuti, sambil komat-kamit, seolah-olah bisa membaca. Ada yang memakai pici, dan bahkan sur­ban, seolah-olah ia kiai beneran. Hilangnya anak ini membuat kami mati kutu, dan tak bisa la­gi berbuat serba seolah-olah se­perti tadi. Kami lalu sibuk men­cari. Mustahil kalau ia hilang beneran dan tak bisa ditemu­kan. Sebanyak itu penghuni, mustahil tak bisa menemukan­nya. Dan memang mustahil, ka­rena tiba-tiba ini yang mem­buat banyak pihak "shock", kaget, heran, tak habis piker si pucat kurus yang baik hati dan saleh, dan diam-diam kami kagumi itu ditemukan mabuk-­mabukan dan ditangkap polisi bersama segerombolan pemuda anggota "Pangunei": Paguyub­an Ngunjuk Ciu, alias rom­bongan peminum serius.

"Edan, ternyata kita tertipu," kata seseorang.

Kekecewaan pun menggum­pal di hati seluruh penduduk kompleks itu. Orang-orang yang cepat memuja, cepat memuji, cepat kagum, cepat terpesona, di mana-mana, akhirnya menemui kegetiran dan ironi hidup: mere­ka cepat pula kecew a.

"Salah kalian sendiri," pikir saya.

Suatu hari, ia kembali ke mas­jid tapi tak seorang pun mene­gurnya. Ia juga tak lagi dijadi­kan imam, atau guru ngaji. Ia di­singkang-singkang oleh mantan para pemujanya. Dan ia tam­paknya tak gusar menghadapi perubahan sikap ini. Ia seperti dulu tetap tenang. Bahkan ia masih tenang-tenang ketika di­larang tinggal di kamar khusus yang dulu disediakan untuknya. Maka, ia pun tidur di serambi seperti maaf, kere tidur di emper toko.

Saya dekati ia dengan cara khusus. Saya bawa ia pada sua­tu malam, ketika tak seorang pun tahu, ke rumah saya. Kami lalu dialog perkara hidup. Haki­kat dan inti ibadah ia paparkan. Ia mengajari saya tindakan ikhlas, lahir batin, tanpa pam­rih. Orang ikhlas, dalam bahasa dia, disebut mukhlis.

"Saya ingin jadi mukhlis tapi gagal. Di sini orang memuji-mu­ji saya, dan diam-diam saya se­nang. Lama-lama, saya ngaji, shalat, berdoa, berzikir, buat memperteguh citra bahwa saya saleh. Saya shalat bukan me­nyembah Allah, tapi menyem­bah kesalehan saya, menyembah citra diri saya, dan kepentingan saya. Dan ini bukan tindakan ikhlas. Saya bukan seorang mu­khlis. Saya takut pada Allah. Saya tinggalkan rumah-Nya. Saya mabuk-mabukan, dan baru kemudian, di tengah caci maki orang banyak, saya temu­kan kedamaian. Baru tadi saya shalat buat Allah, menyembah Allah, dan bukan menyembah citra diri..."

"Edan," pikir saya. Setua ini belum pernah saya punya ke­sadaran macam itu. Dan bocah ini memilikinya. Saya malu. Malu sekali pada diri sendiri. Ia memberi saya banyak pelajaran. Ia memang guru. Guru sejati. Dia guru kehidupan.

Tak ada kata yang sekadar ka­ta. Tak ada idiom, atau kalimat, sekadar idiom dan kalimat. Kata, idiom, ungkapan, kalimat, pribahasa; sering padat muatan, sering penuh simbol, dan menja­di pengejawantahan bagi suatu konstruksi sosial, idiologi, dan misi-misi "political economy" yang sangat terang-benderang bagai bangau putih terbang Siang.


Teriakan hak asasi, tak selalu mencerminkan perjuangan ke­manusiaan. Tegakkan hokum ada kalanya berarti berapa har­ga demo saya sehari, hormati hak asasi mungkin artinya ka­pan saya jadi menteri, sikat to­koh KKN siapa bilang tak mungkin berarti bolehkah saya jadi presiden, atau wakilnya, sekarang saja, tak usah menung­gu 2004 karena siapa menjamin 2004 partai saya menang? Jadi, ya sekarang saja.


Di kalangan kaum rohaniwan, dan tokoh-tokoh agama, atau tokoh-tokoh dan mantan tokoh organisasi sosial keagamaan sekalipun, yaitu orang-orang yang dijadikan anutan moral para pengikutnya, sudah lama tak kita temukan keikhlasan. Bahkan di kalangan kaum ro­haniwan bila mereka berpoli­tik, dan tak sabar menanti gi­liran menduduki suatu jabat­an jelas tak ada lagi orang yang bisa disebut mukhlis.

Watak kepemimpinan mereka lenyap. Mereka menghina para diktator masa lalu, tapi kela­kuan mereka sendiri nol. Idiom demokrasi, kemanusiaan, dan agama, yang "nericis" meluncur dari mulut mereka, hanya sim­bol kosong.

Tokoh-tokoh politik kita, na­ma-nama besar, atau yang di­anggap besar dan di besar-be­sarkan oleh media sontoloyo ki­ta, bukan orang-orang besar. Mereka bukan kaliber tokoh, bukan kaum elite, bukan gem­bala bagi umat, yang sekarang ini kocar-kacir ibarat domba­-domba sesat ke tanaman petani dan dilempari batu.

Mereka hanya orang-orang mabuk biasa. Orang-orang itu­lah yang lebih tepat disebut anggota "pengunci" paguyuban ngunjuk ciu, sebab mereka mabuk kepahlawanan palsu, mabuk kedudukan, mabuk pu­jian. Tak ada kata ikhlas. Tak se­orang pun patut disebut mu­khlis. Semua mereka tega mempertaruhkan nasib rakyat, bangsa, dan negara, di meja judi poli­tik kita yang kejam, demi ambisi pribadi. Tapi tak malu-malunya mereka mendekati atau men­jerumuskan dan memperalat mahasiswa yang relatif masih lebih murni.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar