Rabu, 17 Juni 2009

MAKANAN HALAL UNTUK KELUARGA

Kliping ini pernah di terbitkan harian REPUBLIKA yang mana waktunya saya tidak ingat, isinya menarik, tentang cucu seorang ajengan yang tidak mau makan karena makanannya tidak halal. Apakah kita dapat seperti itu ?????? membeli makanan untuk orang yang kita sayangi dengan uang yang tidak jelas halal atau haramnya. Oleh sebab itu berhati-hatilah…. WASPADALAH WASPADALAH….. (seperti ucapannya bang napi nihhh he333x) semoga bacaan ini bermanfaat untuk kita semua………………..

MENANTU ABAH

Oleh : M. Bilal

Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan ekonomi, tinggal di Jakarta.

Tengah bulan Oktober ini seorang sahabat kami kedatangan karib dari negeri Kangguru. Namanya Dibbets Baron Hansel -imigran asal Belanda. Hans - demikian panggilannya- seorang inventor dengan kapasitas otak seencer Habibie yang dikombinasi dengan kepiawaian entrepreneurship dan kesederhanaan setara Bill 'Microsoft' Gates. Banyak sudah temuan teknologi masa depan yang dia hasilkan. Salah satu diantaranya adalah yang dia jajagi akan diproduksi di sini, yaitu mesin jet fan multi-guna.

Tetapi bukan, bukan mesin temuannya yang membawanya berkunjung ke sini. Bukan pula ingin ikut memperingati Hari Keuangan Indonesia pada akhir Oktober ini, melainkan sebuah beban pikiran yang temyata tidak bisa diselesaikan oleh otaknya yang tokcer-encer dalam kacamata kehidupan modern itu.

Hans seorang muallaf yang sukses mengawini mojang priangan, putri tunggal seorang ajengan tanah Sunda. Seorang perempuan cantik-molek lagi cerdas, sarjana dari universitas negeri di kota hujan Bogor Bahtera perkawinan mereka telah dikarunia Allah sepasang putra-putri yang sedang lucu-lucunya dan menggemaskan. Putra sulungnya berumur 4 tahun dan putri bungsunya berumur 18 bulan.

Pangkal soal yang membuatnya berpusing-pusing adalah persoalan makanan pengganti untuk putri bungsunya yang sudah harus belajar disapih. Hans pusing bukan karena duit. Kekayaannya telah berakumulasi melimpah-limpah berkat royalti dari temuannya, maupun berkat deviden dari gurita perusahaannya yang bergerak dibidang industri teknologi masa depan. Duit bukan soal lagi baginya. Sekarang duit yang datang dan selalu datang terus kepadanya, tanpa harus dicari dengan memeras keringat. Dan semua ini disadarinya sebagai rahmat dan berkah Allah SWT.

Hans dengan kesederhanaan untuk takaran orang berduit, selalu pergi belanja sendiri ke pasar (baca: supermarket) untuk membeli berbagai kebutuhan keluarganya (mereka keluarga vegetarian), termasuk buah pisang untuk putri bungsu teicinta. Layaknya ayah yang sayang putrinya, Hans, bila waktunya sempat, selalu berusaha mendampingi nyonya Hans atau bahkan menyuapi sendiri putrinya dengan buah pisang yang telah dilembutkan. Dan saat seperti itulah, saat kenikmatan yang luar biasa bagi Hans sebagai imam dalam perahu rumah tangganya!

Sayangnya, semua itu masih berupa keinginan! Setiap kali Hans mencoba menyuapi putri tercinta, setiap kali pula putrinya menolak Pusingnya semakin menjadi-jadi manakala nyonya Hans yang orang Sunda tulen itu dan putra sulungnya, ikut-ikutan bermasalah dalam hal makanan.

Sang istri yang sangat dicintainya dan putra sulung yang sangat disayangnya seolah 'kompakan' bersama putri bungsunya untuk 'memboikot' semua makanan dan minuman yang telah dibeli Hans di pasar (baca: supermarket). Istrinya bahkan sampai muntah-muntah bila dipaksakan -demi menghormati jerih payah suami tercinta- untuk memakan atau meminum hasil belanjaannya.

Anehnya, bila makanan dan minuman. tersebut dibeli sendiri oleh istrinva, di pasar yang sama dimana Hans berbelanja, maka semua masalah tersebut jadi tiada. Mereka kembali bisa makan dan minum dengan normal. Putri bung­sunya bahkan mau disuapi oleh Hans.

Memang, selama bahtera perkawinannya itu, Hans telah sepakat, bahwa penghasilan royalti dari hasil temuannya dihibahkan sepenuhnya kepada istrinya. Sedangkan peng­hasilan yang berasal dari deviden yang diperoleh dari gurita perusahaannya, dipegang,sepenuhnva oleh Hans. Sebagian­ terbesar penghasilan dari deviden tersebut digunakannya untuk aktivitas sosial, seperti menyumbang panti asuhan, rumah jornpo, rumah sakit, bea siswa, anak asuh dll. Sisanya digunakannya untuk memenuhi keperluan sendiri selayaknya. Hans sejak awal tidak terlibat langsung dalam mengelola gurita perusahaannya, Dia menyerahkannya kepada para manajer profesional untuk mengelola dan ikut memiliki saham perusahaan.

Kepusingan inilah yang, ia utarakan kepada ajengan, ayah istrinya tercinta. Dan ajengan, yang saudagar sukses ini, hanya bilang: "Sejak eneng masih dalam kandungan indungna (ibunya) Abah teh selalu mohon kepada Allah agar putri dan cucu-cucu Abah selalu mendapat makanan yang sehat dan menyehatkan mereka, dan yang lebih penting lagi, halal."

Nasihatnya yang lain lebih mirip perintah: "Sok, atuh coba nak Hans selidik-selidik asal-muasal uang perusahaan nak Hans. Mungkin saja nak Hans tidak tahu, bagaimana selama ini perusahaan dijalankan. Apa sudah patuh bayar pajak? Apa tidak melakukan kolusi? suap? Apa sudah memenuhi kewajiban terhadap pekerja? Apa peduli terhadap kepentingan konsumen? Apa peduli sama lingkungan ? Pokoknya nak Hans selidik-selidik apakah perusahaan betul-betul peduli tehadap masalah halal dan thayyib dalam perilaku usahanya! Insya Allah, nak Hans akan tahu kenapa cucu bungsu Abah teh, tidak mau makan pisang yang dibeli dengan uang dari bagian keuntungan usaha perusahaan."

Hans tertegun ! la kembali ke Australia dengan hati tentram dan penuh rasa syukur. Pusingnya sirna ! Istri dan kedua anaknya terlindung berkat doa Abah kepada Allah!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar