Tujuh abad yang lalu Jalaluddin al-Rumi (1207-1273), penyair sufi dari Balakh, guru spiritual Iqbal, pernah berucap, ''Tanpa cinta, dunia akan membeku.'' Ungkapan sufistik ini dirasakan kebenarannya sepanjang abad, terutama pada saat gelombang materialisme ateistik mendominasi perjalanan sejarah umat manusia, seperti yang kita alami di abad kegalauan sistem nilai ini. Dalam kehidupan modern, cinta itu memang belum redup sama sekali, sebab masih ada anak manusia di berbagai pojok bumi yang setia menyalakan lilin cinta itu, tapi radius cahayanya hanyalah menerangi lingkungan yang sangat terbatas. Dalam skala hubungan antarbangsa, antarperadaban, sumbunya bukan lagi cinta, tapi kepentingan ekonomi, kepentingan pasar. Uang telah menentukan segala-galanya; uang telah menjadi agama.
Dalam iklim yang serba panas dan kasar itu, agenda tentang keadilan, hak-hak asasi manusia, persaudaraan universal, saling menghormati, dan nilai-nilai lain yang berpadanan dengan itu semua, hanyalah ada di atas kertas atau dalam kemasan retorika yang menyesatkan. PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang semula diharapkan akan mampu menciptakan perdamaian semesta yang abadi, dalam perjalanan sejarahnya badan ini sering benar menjadi alat pihak yang kuat untuk meneruskan penindasan atas pihak yang lemah. Lihatlah bagaimana nasib Irak, nasib Palestina, dan nasib negara-negara kecil yang menjadi bola permainan kepentingan ekonomi itu. Alexander Solzhenitsyn dalam Kuliah Nobelnya pada 1972 melontarkan kritik keras kepada badan dunia ini. Katanya, ''Seperempat abad yang lalu, dengan harapan kemanusiaan yang teramat besar, PBB dilahirkan. Sayang, dalam dunia yang tidak bermoral, badan ini juga sudah tidak bermoral.''
Sosok manusia seperti Solzhenitsyn-lah yang benar-benar melihat bahwa PBB tidak berfungsi efektif sesuai dengan piagamnya dan bahkan telah menjadi alat penindas, sementara negara-negara besar tetap saja menggunakan badan ini untuk melangsungkan politik imperialismenya yang secara formal telah dikubur itu. Tampaknya umat manusia masih memerlukan waktu panjang untuk mengaktualisasikan jeritan kemanusiaannya, menerobos kebekuan dan ketumpulan nurani yang sudah ada bersama kita sejak abad ke-16, abad kelahiran renaisans di Eropa. Renaisans degnan dukungan ilmu dan teknologi di samping sisi-sisinya yang positif, juga telah melahirkan manusia rakus, berhati beku, manusia yang mencoba melupakan Sang Pencipta. Alquran surat al-Hasyr ayat 19 melukiskan betapa akutnya situasi ini: Dan janganlah kamu ibarat mereka yang melupakan Allah, dan Allah pun menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
Si fasik adalah orang yang menggunakan potensi kemanusiaannya untuk tujuan-tujuan destruktif. Dengan persenjataan yang serba canggih, kehancuran yang dapat menimpa peradaban tidak terbayangkan akibat dahsyatnya. Kita tidak tahu di antara hampir 6 miliar penduduk bumi, berapa persen yang berada dalam kategori fasik itu. Allahu A'lam. - ahi
sumber : http://www.republika.co.id/berita/50968/beku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar