Musim panas tahun ini semakin terasa menyengat, matahari seolah sudah turun beberapa centi dan memanggang tubuh-tubuh kerdil di negeri gulf ini. Suhu udara 50 derajat bahkan kadang lebih sudah cukup membuat orang malas keluar rumah, apalagi ditambah humidity di atas 70%, membuat orang-orang semakin betah saja berlama lama di dalam ruangan ber-AC. Karena kalau keluar ruangan, meski tidak melakukan pekerjaan fisik yang berat, tubuh bagai meleleh dengan keringat langsung membasahi sampai ke ujung kaki.
Tapi tidak demikian dengan salah seorang rekan kerja saya, namanya Sterne Rydell. European berpasport
Lain Sterne, lain lagi sahabat saya yang satu ini. Namanya Mahmood, imigran asal pakistani ini setiap hari menyirami pohon-pohon kurma yang berjejer rapih di sisi kanan kiri jalan kompleks tempat tinggal kami, bukannya kurang kerjaan tapi memang itulah kerjaan dia sehingga datang ke negeri gulf ini. Tidak pernah tampak lelah di wajahnya, setiap hari dia menjalankan tugasnya dengan semangat yang tak pernah berubah baik di saat winter maupun summer. Kalau ada waktu luang saya terbiasa menemuinya hanya untuk sekedar ngobrol ataupun membawakan soft drink untuknya, kemampuan dia berbahasa arab maupun inggris membantu saya untuk lebih mengenalnya.
Dari obrolan itu saya jadi tahu kalau Mahmood ini sudah bekerja sebagai buruh migran selama lebih dari 20 tahun dan waktu selama itu dia habiskan hanya sebagai pemelihara tanaman. Berdekatan dengan Mahmood seolah sedang berada di taman surga, wajahnya teduh, tatapan matanya penuh cahaya, ucapannya sarat hikmah, gurauannya tidak menyakitkan dan tingkah polanya menggambarkan kalau dia orang yang lebih mementingkan kepentingan akhirat daripada sibuk mengurusi dunia, terlalu banyak pelajaran hidup yang saya dapatkan dari buruh migran yang hanya menengok keluarganya tiga tahun sekali ini. Begitupun siang hari itu setelah sholat duhur saya menemuinya di bawah pohon (rumah) kurmanya.
Dengan membawa Kobus (roti arab) dan soft drink yang langsung saya taruh disampingnya, saya duduk di sampingnya dan seperti biasa setelah bertegur sapa, kami terlibat obrolan yang tidak pernah membosankan bagi saya. Sambil ngobrol, saya mempersilahkan Mahmood untuk menikmati apa yang saya bawa. Mahmood hanya tersenyum dan ketika saya mengulanginya lagi, dia menjawab dengan ucapan yang seolah tak ingin diucapkannya `ana Sho`im` jawabnya. Ah betapa malunya saya, terbiasa menghabiskan banyak waktu di ruangan yang nyaman tapi jarang melakukan sunnah Rosul yang satu ini. Apalagi setelah ingat kalau siang itu bukan hari senin atau kamis, berarti Mahmood sedang menjalankan puasa sunah Daud, sehari puasa sehari berbuka, subhanallah.
Saya jadi ingat, pantas setiap saya membawa soft drink Mahmood selalu mengatakan akan meminumnya nanti. Ah saya merasa semakin kerdil saja di hadapan Mahmood. Siang itu saya semakin haus untuk mendapatkan hikmah darinya. Dengan hati hati saya tanyakan ke Mahmood, kenapa dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan puasa sunah? Apalagi saat summer season. Mahmood kembali hanya tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke langit jauh seolah tidak perlu menjawab pertanyaan saya, tapi setelah melihat mimik wajah saya yang masih menunggu, akhirnya dia menjawab juga. Mahmood menjelaskan kalau salari sebagai tukang kebun itu kecil sekali, paling banyak 500 Dirham ( Rp. 1,3 juta ). Uang segitu tidak akan cukup untuk hidup layak di negeri gulf yang terkenal serba mahal ini. Kalau dia tidak pandai cost saving, tidak ada yang bisa dia berikan untuk istri dan anak anaknya ketika pulang nanti, dan cara yang dia pilih dalam usaha cost savingnya itu adalah dengan menjalankan puasa sunah Daud, sebuah cara yang teramat indah dalam menyikapi kesulitan hidup.
Ah saya semakin malu dibuatnya, segala kemudahan yang saya dapat masih juga belum menumbuhkan rasa cinta saya kepada Allah dengan melakukan amalan amalan yang di cintaiNya. Mendengar jawaban seperti itu saya semakin bersemangat melanjutkan obrolan siang hari itu. Mahmood kembali saya tanya, kalau saat winter dengan udara yang dingin dan kita tidak banyak mengeluarkan banyak cairan tubuh, ok lah kita kuat berpuasa sunah, tapi saat summer dan dia juga harus tetap mengalirkan air ke pohon pohon kurma itu meski di terik matahari sekalipun, apa dia tidak struggle menahan haus dan panas? Masih diiringi senyuman khasnya, sambil menepuk nepuk pundak saya Mahmood menjawab "habibi (panggilan untuk menyayangi dan menghormati), panas hari ini belum ada apa apanya, kita masih bisa berteduh walau hanya di bawah pohon kurma,
Setelah itu saya tidak melanjutkan pertanyaan, saya lebih banyak diam dan Mahmood pun membiarkan saya seolah tahu kalau kata katanya sangat menyentuh, hati dan pikiran ini lebih disibukkan pada jawaban Mahmood yang sungguh telah menohok hati saya yang paling dalam sekalipun. Tak lama setelah itu, sayapun pamit sambil tetap memikirkan apa yang telah saya dapat hari itu. Dari bibir seorang laki laki biasa, meluncur kata kata hikmah yang luar biasa. Segala puji bagiMu Allah yang telah mempertemukan saya dengan Mahmood, lelaki teramat sederhana tapi bisa menjadi cahaya bagi siapa saja yang dekat dengannya.
"Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya. QS. Albaqoroh 207.
Salam hangat dari Ruwais, sebuah
Sabtu, 13 Februari 2010
Sahabatku Mahmood
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar