Minggu, 14 Februari 2010

Introspeksi

Oleh Allwil Shahab

Sumber : Harian Republika Kolom Hikmah


Banyak ayat Alquran maupun hadis Nabi Muhammad saw yang memerintahkan kepada kita untuk mere­nungkan apa yang telah kita perbuat untuk hari esok (akhirat) kelak. Kita diperintah untuk memperhatikan dan menghitung diri menghadapi hari kemudian itu. Orang-orang bijak mengatakan bahwa amal perbuatan manusia dapat diumpamakan dengan barang bawaan yang terlebih dahulu dikirim untuk kemudian dijemput oleh pemiliknya.

Imam Ghazali telah mengingatkan kepada kita agar jangan merasa aman oleh kerasnya hati kita yang disebabkan oleh dosa-dosa. Lalu beliau memerintahkan agar kita mere­nungkan diri (menghitung diri). Jika merasa berdosa hen­daknya kita bertobat, dan jika selamat dari dosa bersyukurlah kepada Allah dengan memperbanyak ibadah.

Kita harus sadar bahwa akhirat adalah semata-mata rumah yang dibangun dengan bahan baku amal perbuatan. Dengan kata lain, amal perbuatan yang kita lakukan di dunia ini - jika itu amal baik - di hari yang langgeng di akhirat kelak kita akan memperoleh keuntungan. Sebaliknya kecelakaan akan menimpa kita, apabila amal perbuatan kita berupa dosa-dosa. Nabi saw pernah mengatakan bahwa orang yang pailit (merugi) adalah orang yang menghadap Allah dengan amalan dan perbuatan yang tidak terpuji.

Sahabat Ali bin Abu Thalib mengatakan, hitunglah dirimu sebelum Allah menghitungmu. Kita juga sering mendengar ungkapan yang menyatakan, "Salatlah kamu, sebelum kamu disalatkan orang." Tentu saja yang dimaksudkan salat di sini termasuk melakukan amal-amal perbuatan baik.

Dengan demikian, siapa saja yang percaya akan keadilan Allah (Hari Pembalasan) — di mana segala amal kebaikan dan keburukan manusia diperhitungkan kelak — dia harus memperhitungkan diri. Karena sudah merupakan hukum alam bahwa setiap benih amal — baik ataupun burukdi dunia ini —niscaya akan kita petik hasilnya di akhirat kelak. Nabi sendiri telah menegaskan bahwa dunia adalah ladang akhirat.

Kita sendiri diwajibkan untuk percaya akan hari akhirat atau kebangkitan, karena ia merupakan salah satu prinsip pokok atau dasar agama Islam. Dan melalui perenungan diri, dimaksudkan agar manusia mampu merenungi segala kesalahan-kesalahannya untuk tidak diperbuatnya lagi. Tentu saja manusia tidak pernah luput dari kesalahan. Karena, sebagai dikatakan oleh Murtadha Muttahari dalam kitab Orang-orang Bijak, perbedaan antara orang mukmin dan bukan mukmin bukan terletak pada orang mukmin tidak pernah melakukan kesalahan dan orang yang bukan mukmin melakukan kesalahan.

Namun perbedaanya ialah, seorang mukmin tidak melakukan dua kali kesalahan pada hal yang sama, sedang­kan orang-orang bukan mukmin melakukan berkali-kali kesalahan yang sama, karena nuraninya buta.

Allah berfirman, "Patutkah Kami memperlakukan orang­-orang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami memberlakukan orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?" (QS Shaad - 28). n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar