Kamis, 11 Februari 2010

PESTA SERATUS UNTA

Abdul Muthalib ingin menunaikan nadzar menyembelih anak, keputusan ini ada yang mendukung ada yang menolak. Setiap pihak berdebat mempertahankan pendapatnya masing-masing. jalan tengah diambil dengan cara meminta pendapat juru ramal Madinah.

SENJA telah turun menye­limuti Makkah. Lolongan anjing-anjing liar samar ter­dengar dari kejauhan, makin membuat orang enggan beran­jak dari kediaman. Kebanyakan penduduk lebih memilih ber­diam diri atau bercengkrama dengan keluarga setelah seharian penat beraktifitas. Denyut nadi kehidupan manusia mulai berkurang. Hanya beberapa orang yang keluar menuju Ka'bah, memuja berhala meng­harap sekuntum kedamaian untuk malam ini.

Di gurun sana, angin memutar pasir dalam kumpa­ran kebimbangan. Kondisi serupa menimpa batin Abdul Muthalib. Sejak kepergian utusan itu ke juru ramal Madinah, badai di hatinya tak sedetik pun padam.

Entah berapa kali ia me­mutari rumah, seperti mencari sesuatu. Namun ia sendiri pun tak mengerti tengah mencari apa? Baru satu hari utusan itu pergi, tapi sepertinya kesabaran di dalam dadanya tak cukup penuh untuk menunggu waktu mereka kembali.

Menurut kebiasaan para musafir atau kafilah-kafilah yang berniaga, perjalanan pulang pergi Makkah-Madinah meng­habiskan waktu dua hari. Itu pun jika menempuh jalur tercepat mengikuti wadi-wadi yang menjadi penunjuk jalan. "Atau­kah mereka menggunakan jalan lain sehingga berita penting ini menjadi lambat sampai?" duga Abdul Muthalib."Memang jalan lain­nya itu lewat mana, Kek?" potong Muhammad yang masih bersemangat mendengar cerita kakeknya.

Jika ada jalan lain, lanjut Abdul Muthalib, mungkin jalur sepanjang pantai. Jalur itu merupakan jalur "perawan" karena teramat jarang dilewati dan sangat langka menjumpai kehidupan. Tak ada kadal dan belahan pasir bekas jejak hewan itu. Tak ada pula barisan burung yang terbang menyertai. "Bagaimana kalau di tengah perjalan mereka kecelakaan, di begal atau...," Abdul Muthailb cepat membuang jauh-jauh fikiran buruknya.

"Mudah-mudah mereka selamat dan cepat membawa berita sesuai yang diharapkan. Tapi bagaimana kalau mereka datang membawa berita buruk? Bagaimana kalau ahli peramal di Madinah tak memberi kebijakan, bahkan me­mutlakkan nadzar me­nyemblih anak?" Fikiran Abdul Muthalib makin kacau.

Untuk menenangkan pikirannya yang ber­cabang, Abdul Muthalib memutuskan pergi ke Ka'bah, bersimpuh di hadapan berhala yang disembah mengharap, badai di hatinya sedikit mereda. Namun kedamai-an yang diharapkan tak jua hadir.

"Di hadapanmu aku rendahkan diriku melebihi dalamnya lautan dan memujamu melebihi tingginya langit. Sekian tahun engkau aku sembah. Selama itu tak pernah ku sandarkan keinginan yang paling sangat, kalau boleh meminta saat ini aku hanya ingin sekeping kedamaian hadir, tak lebih," doa Abdul Muthalib di hadapan berhala yang selama ini disembah.

Namun batu tetaplah batu. Berhala hanya sebongkah batu yang dipahat sedemikian rupa dan tak bisa memberi manfaat sedikit pun. Hati kecil Abdul Muthalib sebenarnya sadar akan hal itu. Tapi ia coba sejenak bersabar dalam doa yang tak putus.

Kesabarannya menipis ketika secercah kedamaian yang dipinta tak kunjung datang. Dengan langkah berat kakinya kembali menuju rumah dan merampungkan malam itu dengan berbagai praduga. Tak sadar, ia tidur dengan sendirinya setelah seharian lelah bertarung dengan kegalauan batin.

Kegalauan serupa masih membalutnya ketika tersadar keesok­kan hari, "Kalau dalam perjalanan tak ada ken­dala hari ini utusan itu datang, semoga mereka membawa cenderamata berupa kabar baik," Satin Abdul Muthalib.

Sekian lama me­nunggu utusan itu datang. Melihat keletihan menggantung di wajah mereka Abdul Muthalib tak tega untung mem­berondong langsung dengan pertanyaan. "Tak sopan jika aku usik mereka saat melepas lelah, " fikir Abdul Muthalib mencoba menahan diri.

Dari mula mereka datang sebenarnya Abdul Muthalib sudah tak sabar, ia mencoba mengunci mulut rapat-rapat. Namun matanya tak bisa diajak kompromi. Tajam tatapannya seolah ingin membedah cerita perjalanan yang ingin mereka bawa.

"Juru ramal di Madinah memboleh nadzar Tuan diganti dengan unta," salah seorang utusan menjelaskan. Hati Abdul Muthalib bersorak. Seketika badai di hatinya lebur dalam syukur. Kemudian utusan itu menjelaskan mekanismenya. Satu panah yang berhenti berputar dan menunjukan nama anakmu ditebus dengan sepuluh unta. "Jika yang keluar adalah anak panah yang berisi nama anakmu. Jumlah untanya harus dilipatgandakan. Ambil anak panah itu kembali begitu seterusnya sampai Allah merasa cukup," Utusan itu menambahkan Abdul Muthalib berdiri tegak tangannya terlipat mengusung doa. Lalu menempat­kan Abdullah dan sepuluh unta sebagai kurban. Anak panah pertama diputar lalu keluarlah nama anaknya, Abdullah.

Abdul Muthalib kembali mengusung doa saat orang-orang sibuk menambah sepuluh unta lagi. Undian kembali dilakukan. Selama anak panah berputar, jantung Abdul Muthalib bergetar dalam doa, mengharap, yang keluar bukan nama anaknya. Namun anak panah lagi-lagi berhenti pada nama Abdullah.

Abdul Muthalib kembali mengusung doa saat orang-orang di sekitarnya sibuk menam­bah sepuluh unta lagi. Hasilnya putaran anak panah kembali mengenai Abdullah. "Sampai kapan ini akan berlangsung? Walau bagaimana pun anak panah ini harus terus diputar agar anakku tak disembelih. Sekalipun harus mengurbankan seluruh unta yang ada di dunia aku akan siap," tekad Abdul Muthalib penuh tanggung jawab.

Anak panah yang keempat kembali diputar, lagi-lagi nama Abdullah yang keluar. Begitu pula dengan undian yang ke lima dan keenam kena juga ke arah Abdullah. Entah mengapa nama Abdullah seperti memiliki magnet yang mampu membetot anak panah untuk berhenti dan menunjukan namanya.

Begitulah seterusnya mereka terus menambah unta itu, sepuluh demi sepuluh dan undian selalu kena pada Abdullah. Saat jumlah unta genap menjadi seratus, tirai yang menghalangi doa Abdul Muthalib terbuka, anak panah menunjuk ke arah unta. Sontak Abdul Muthalib dan orang-orang di sekitarnya memanjatkan syukur.

Kaum Quraisy riuh bersorak, "Tercapai sudah keridhaan Tuhan mu Wahai bapak Abdullah!" Ucapan kaumnya itu disanggah dengan gelengan kepala penuh kebijakan. "Tidak! Saya akan mengulanginya sampai tiga kali. Agar benar-benar yakin kalau menyembelih seratus ekor unta itu bukan keputusan yang salah."

Semua terdiam, sejurus kemudian mereka mengulangi lagi undian. Abdul Muthalib kembali tegak berdoa, anak panah berputar kencang, perlahan putarannya mengendur. Semua mata yang menatap tak berkedip saat menyaksikan anak panah jatuh pada unta. Mereka mengulangi yang kedua, Selama anak panah berputar, jantung mereka berpacu layaknya kuda-kuda perang di medan laga. Untungnya, lagi-lagi anak panah kena pada unta.

"Sekali lagi. Aku baru yakin keputusan ini tak akan salah," Tegas Abdul Muthalib. Anak panah kembali diputar. Baru kali ini sebuah putaran anak panah mampu mem­betot emosi, harapan dan ketakutan orang banyak. Anak panah terus berputar, seirama dengan putaran doa-doa setiap mata yang menyaksikannya. "Bagaimana kalau hasil­nya kena pada Abdullah, apakah undian ini akan diteruskan? Kalau begitu terus sampai kapan usai? Berapa ratus atau berapa ribu unta lagi yang harus dikurban­kan?" Batin masyarakat bertanya bernada ketakutan.

Ketakutan mereka tak terjawab, anak panah kena pada unta. Tenanglah hati orang tua saleh itu. Suasana kota pun menjadi begitu semarak. Sebuah pesta besar berlangsung, seratus ekor unta dikurbankan! Sebuah jumlah yang sangat fantastic untuk ukuran saat itu. Seluruh penduduk Mekkah mulai dari yang termiskin mendapatkan bagian yang adil. Bahkan hewan-hewan kecil penghuni gurun turut berpartisipasi memeriahkan pesta itu, "Aku yakin tak ada seorang pun yang melupakan pesta seratus unta itu," kenang Abdul Muthalib sambil menatap mata Muhammad.

Setelah sekian lama mendengar cerita kakeknya, Muhammad tertidur. Tapi Abdul Muthalib enggan beranjak menatap, wajah cucu kesayangannya ini. Anak ini kelak, kalau Tuhan mengijinkan, akan menjadi pribadi luar biasa," gumam Abdul Muthalib.

Anggapan tersebut bukan lahir dari harapan kosong seorang kakek yang amat sangat mencintai dan membanggakan seorang cucu tersayang. Anggapan itu lahir setelah ia mengaitkan berbagai fenomena dan keanehan yang mengiringi kelahiran cucunya.

Apalagi jika ia mengaitkannya dengan berbagai peristiwa besar yang mengiringi kelahiran para, nabi dan orang-orang besar. Peristiwa itu menjadi tanda atau kode akan adanya sesuatu yang luar biasa.

la pun teringat cerita menantunya Siti Aminah yang mengalami mimpi luar biasa saat mengandung Muhammad. Sepanjang bermimpi itu suaminya Abdullah menyaksikan Aminah tersenyum. Malam itu Abdullah habiskan dengan keingintahuan dan tak sabar menunggu istrinya terjaga. Mimpi apa yang dialami ibunda Nabi Siti Aminah sampai suaminya tak bisa menutup mata Sepanjang malam?.................................... Bersambung

(Aa/ dari berbagai cumber)

Sumber : Majalah Hidayah EDISI. 06 TH. II - Mei – 2004



Tidak ada komentar:

Posting Komentar