Muhammad bin Ibrahiem berkata. ''Orang yang mengaku dirinya tawadu', maka dialah orang sombong yang sebenarnya. Karena tawadu' yang semacam itu lahir dari rasa tinggi hati''. Apabila pengakuan tawadu' tidak lahir dari rasa tinggi hati (sombong) berarti ia lemah betul. Sekiranya kesombongan tidak lenyap dari seseorang kecuali dengan adanya kelemahan, dan adanya kelemahan tidak memerlukan pengakuan karena memang telah ada dalam dirinya, maka tawadu' yang diakui oleh orang itu jelas tidak dapat menghilangkan adanya kesombongan.
Tawadu' yang sebenarnya tidak mengharuskan adanya kelemahan yang sebenarnya dan tiadanya sifat sombong dan tidak pula mengharuskan ketiadaan kelemahan dan keberadaan sifat sombong. Manusia hanya dituntut bersifat tawadu' saja, bukan menampakkan atau mengaku tawadu'. Karena hanya dengan itu maka seluruh kesombongan hilang dengan sendirinya. Dan saat itu pula ia bebas dari kesombongan, dan tak sedikitpun kesombongan ada dalam dirinya. Bukan orang tawadu' namanya apabila ia masih melihat lebih pada apa yang dikerjakan. Karena orang tawadu' yang sebenarnya adalah orang yang tak melihat ada sesuatu yang diperbuat olehnya.
Dalam banyak penyelesaian masalah politik, sosial dan ekonomi belum terlihat adanya kearifan yang lahir dari sifat tawadu'. Diplomasi yang dipakai adalah diplomasi kekuasaan yang sulit diterima oleh akal sehat. Yang lebih naif lagi di kalangan ilmuwan ada keyakinan bahwa hanya kelompok mereka pemegang otoritas keilmuan, dan demikian pula di kalangan ulama dan kiyai masih santer anggapan bahwa mereka pemegang satu-satunya otoritas keagamaan.
Banyak manfaat sifat tawadu'. Di antaranya, orang tawadu' tidak disibukkan oleh pekerjaan menghitung-hitung keberhasilan, tetapi lebih banyak berusaha memperbaiki kekurangan. Lebih mampu melihat dan menghargai kelebihan dan karya orang atau golongan lain daripada mengintrogasi kekurangannya. Lebih jernih dalam menyikapi setiap penilaian orang lain tentang dirinya. Bebas dari keangkuhan jabatan dan kesombongan intelektual. Dan bisa lebih arif dan bijak dalam bertindak dan berbuat.
Sifat tawadu' tidak datang dengan sendirinya. Ia butuh proses dan latihan. Ada petunjuk praktis Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani agar kita bisa bertawadlu', ''Jika kamu bertemu orang lebih mulya darimu, hendaknya berkata dalam hatimu dengan sepenuh hati, aku yakin orang itu lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dariku di sisi Allah. Jika bertemu anak kecil, katakan, ia belum mendurhakai Allah sementara aku telah mendurhakai-Nya, tidak diragukan ia lebih baik dariku. Jika bertemu orang lebih tua, katakan, ia telah menyembah Allah sebelum aku bisa menyembah-Nya. Jika bertemu orang alim, katakan, ia telah dikarunai sesuatu yang belum aku dapati dan aku peroleh, tahu apa tidak saya tahu, dan beramal berdasarkan ilmunya. Jika bertemu orang bodoh, katakan, ia telah mendurhakai Allah dengan kebodohannya, sementara aku mendurhakai-Nya dengan ilmuku dan aku tidak tahu bagaimana mati dan bagaimana dia mati. Jika bertemu orang kafir, katakan, aku tidak tahu barangkali ia akan masuk Islam lalu mengakhiri hidupnya dengan amal terbaik, dan siapa tahu aku menjadi kufur dan menutup hidupku dengan pekerjaan terburuk''. - ahi
sumber : http://www.republika.co.id/berita/53671/belajar-tawadu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar