Minggu, 14 Februari 2010

ikhlas

Oleh Makmun Nawawi

Sumber : Harian Republika Kolom Hikmah


Ada sepenggal cerita dari sahabat Nabi saw, Syaddad bin Aus r.a. Sementara berada di samping Rasulullah, sekonyong-konyong dia melihat rona pada wajah Nabi. "Wahai Rasulullah, demi ayah ibuku, kulihat ada kelainan di wajahmu?"

"Aku cemas umatku terkena politeisme (syirik)." "Adakah umatmu akan menjadi politeis (musyrik),sepe­ninggalmu, ya Rasulullah?"

"Wahai Syaddad, memang mereka tidak menyembah matahari, tidak menjadi kaum paganis, ticak juga mengham­ba pada batu. Namun, mereka beramal karena ingin meraih pujian manusia."

Meski tidak sedikit di antara kita dirundung kesusahan, kehidupan tetaplah sebuah Nikmat yang patut disyukuri. Persoalannya adalah bagaimana agar hidup yang hanya sekilas ini jadi berarti. Jawabnya tidak lain, hanya dengan terus menjalin hubungan dengan Allahlah, keberartian hidup sejati itu akan ada dalam kehidupan seorang Muslim.

Searah dengan detak jarum kehidupan yang terus berden­tang, bersamaan dengan itu pula ribuan pintu dibukakan demi untuk merekatkan hubungan Ilahiyah itu. Ada orang yang memasukinya melalui gerbang bisnis, ada yang mele­wati gerbang kebudayaan, politik, dan lain-lain. Namun, tak urung, sebelum kita sampai ke tiap pintu itu, ada saja ranjau yang menjegal. Dari perbincangan Rasul dan sahabatnya itu, perangkap yang dimaksud tidak dalam bentuk fisik, namun teramat Samar, nyaris tak terdeteksi oleh indra manusia. Ranjau yang memutuskan dan mencerai-beraikan hubungan kita dengan Allah itu talk lain adalah beramal yang diniatkan untuk selain Dia.

lbadah haji, bederma, memangku sebuah jabatan, silatu­rahmi, amar maruf nahi mungkar, semuanya adalah wahana bagi Muslim untuk merekatkan hubungannya dengan Allah. Kontak ini terus berlanjut hingga di akhirat kelak (QS. 18:110). Optimisme boleh menjulang, harapan boleh dipan­cangkan, tapi bila ada sum'ah dan riya di balik amal kita, jangan harap hasil bisa dipetik. Jangan harap sang pejalan yang haus akan bisa minum karena di depan dilihatnya ada air, padahal itu kering kerontang. Sary As-Saqathy, Sufi yang pertama kali memperbincangkan berbagai keadaan mistik (ahwal), berujar: "Orang yang menghiasi dirinya di hadapan manusia dengan sesuatu yang bukan miliknya (tak ikhlas) berarti tercampak dari penghargaan Allah swt."

Ikhlas sebagai bimbingan moral kerap kali didengungkan, namun ketika seseorang dihadapkan pada kondisi yang mengancam prestise, supremasi, harga diri, dan penghidup­annya, pesan luhur ini ditilap begitu saja. Ketulusan menjadi mudah ditanggalkan. Padahal, ketangguhan dan kejayaan - hakiki kita bertumpu sepenuhnya pada keikhlasan ini, dalam aspek dan dimensi apa pun.

Kalau selama ini kenyamanan hidup sukar kita reguk, sementara harta dunia amat mudah diraup, boleh jadi hal itu merupakan hasil akumulasi dari segenap amal kita yang tidak ikhlas, baik terhadap sesama maupun terhadap Sang Khaliq n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar