''Jihad melawan orang kafir dalam Perang Badar telah usai. Setelah itu, kalian akan menghadapi jihad yang lebih besar lagi,'' kata Rasulullah saw kepada sahabat-sahabatnya setelah pulang dari padang Badar. ''Jihad apalagi yang lebih besar dari Perang Badar, ya Rasul?'' tanya seorang sahabat.
''Jihad melawan nafsu diri sendiri,'' jawab beliau. Sepenggal kisah itu mengingatkan kita tentang bahaya hawa nafsu yang terus mengancam keselamatan umat manusia. Bahaya hawa nafsu -- tidak seperti peperangan -- tidak terlihat mata, sulit terendus hidung, sukar terdengar telinga, dan sulit terdeteksi rasa. Ia menyelinap bagai pencuri yang mengendap-endap di tengah malam gulita, menggoda hati umat manusia untuk berbuat jahat.
Salah satu hawa nafsu yang sukar terdeteksi adalah -- seperti apa yang disebut Erich Fromm -- keterikatan manusia pada situasi sesaat di sekelilingnya. Dalam bahasa humor Nusruddin, sufi dari Khurosan, manusia sering terjebak pada 'pakaiannya'. Konon, Nasruddin pernah mendatangi sebuah pesta dengan pakaian kumal. Dia diusir. Lantas, dia ganti pakaian yang bagus. Dia diterima dengan baik. Nasruddin pun mencopot pakaiannya dan ditinggalkan di atas kursi resepsi, lantas pulang. Ia bilang pada tuan rumah, apa yang dia inginkan bukan dirinya, tapi pakaiannya. Pakaian atau dodot dalam tembang ilir-ilir Sunan Ampel adalah sesuatu yang menimbulkan ikatan pada jiwa seseorang. Dalam istilah filsafat perenial, pakaian adalah sesuatu yang binding (mengikat) dalam jiwa manusia. Jika manusia melakukan sikap yang binding dengan dunia sekelilingnya, jiwanya akan terkungkung dan kebebasannya terbelenggu. Karena itu, manusia dalam hidupnya harus selalu berusaha melakukan sikap unbinding terhadap dunia sekitarnya, terutama terhadap sesuatu yang dicintainya. Sunan Ampel meminta manusia untuk selalu membasuh dodotnya. Maksudnya, manusia harus selalu melepaskan diri dari segala atribut yang disandangnya.
Kembali kepada binding dalam filsafat perenialis. Binding dalam kaitan ini bisa saja merupakan cinta terhadap sesuatu yang sepantasnya tidak harus dicintainya. Cinta kepada harta, benda-benda antik, jabatan, kelompok, dan etnis (ashabiyyah) merupakan sikap binding yang bisa membelenggu jiwa seseorang. Dalam salah satu hadisnya, Rasulullah menyatakan, ''Siapa yang mencintai sesuatu, maka dia akan menjadi hambanya.'' Jika kita binding terhadap harta, maka kita pun jadi budak harta. Naudzubillah.
Mencintai sesuatu kemudian menjadi budaknya, adalah salah satu bentuk nafsu yang sukar terdeteksi. Ini karena cinta merupakan sesuatu yang inheren dan berasal dari jiwa terdalam manusia. Padahal, jiwa terdalam bagi manusia, yang dalam istilah lain disebut kalbu, menurut Imam Syafi'i seharusnya hanya boleh terisi dengan cinta kepada Allah. Imam Syafi'i menyatakan kalbu manusia tidak bisa diisi oleh dua cinta, cinta kepada Allah dan cinta kepada dunia. ''Jika cinta kepada Allah, hilangkan cinta kepada dunia,'' katanya. Mustahil orang yang cinta kepada dunia, kata Imam Syafi'i, juga akan mencintai Allah. Dalam kaitan ini, jihad akbar adalah semua tindakan untuk memperbesar cinta kita kepada Allah.
- ahi
sumber : http://www.republika.co.id/berita/52966/jihad-akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar