Minggu, 14 Februari 2010

Menyikapi Mimpi

Oleh : Ainul Haris Lc

Sumber : Harian Republika Kolom Hikmah


Ada tiga kelompok manusia dalam menyikapi mimpi. Pertama, mereka menjadikan mimpi sebagai petunjuk bahkan lebih mengutamakannya daripada syariat. kedua, mereka menganggap mimpi tak lebih dari bunga tidur, sehingga tidak menaruh perhatian sama sekali. Ketiga, mereka yang mengambil jalan tengah: mimpi bisa jadi petun­juk dan bisa juga hanya sebagai bunga tidur.

Dalam bahasa Arab, mimpi biasa disebut dengan ruya atau hulm. Tetapi kata ruya lebih banyak digunakan untuk mimpi yang balk, sedang kata hulm untuk mimpi yang buruk. Barangkali, dibedakannya makna dua kata yang sebenarnya sinonim itu mengacu kepada sabda Rasul saw, "Mimpi yang baik dan benar adalah dari Allah, sedang mimpi yang buruk (hulm) adalah dari setan." (HR. Bukhari)

Dalam Islam, mimpi mempunyai kedudukan yang tinggi. Ini terbukti dengan banyaknya hadis Nabi saw dan ayat Alquran yang membicarakan tentang mimpi. Misalnya, Alquran mengisahkan tentang keinginan Nabi Ibrahim menyembelih putranya, Ismail, karena mimpi yang ia lihat. (Ash Shaffat: 102-105). Daiam surat Yusuf juga dikisahkan panjang lebar tentang mimpi seorang raja, mimpi Nabi Yusuf, serta kedua kawannya yang ada di penjara.

Menjelang Perang Badar, Nabi Muhammad saw mimpi melihat pasukan kaum kafir hanya berjumlah sedikit, sehing­ga memotivasi semangat jihad umat Islam (Al Anfal: 43). Sebelum penaklukan kota Mekah, Nabi saw terlebih dahulu diperlihatkan kronologinya dalam mimpi, dan ternyata mimpi itu benar-benar menjadi kenyataan (Al Fath: 27).

Para ulama — berdasarkan teks wahyu — membagi orang yang mengalami mimpi menjadi tiga kelompok. Pertama, mimpi para nabi. Mimpi mereka semuanya adalah benar sekaligus wahyu, dan terkadang mimpi tersebut memerlukan takwil. Kedua, mimpi orang-orang saleh. Mayoritas mimpi mereka adalah benar dan biasanya memerlukan takwil. Ketiga, mimpi orang-orang selain dua golongan di atas.

Menurut ulama, mimpi kelompok yang terakhir itu juga terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, mimpi yang dialami oleh mereka yang tak dikenal mana yang lebih banyak antara kebaikan atau keburukannya. Mimpi orang semacam ini terkadang benar dan terkadang sebaliknya. Kedua, mimpi orang-orang fasik. Mayoritas mimpi mereka adalah adhghats (mimpi yang kacau) dan sangat jarang mimpi benar. Ketiga, mimpi orang-orang kafir. Mereka sangat jarang sekali menda­patkan mimpi yang benar.

Dari sini, sesungguhnya mimpi bisa dijadikan salah satu barometer tentang keimanan kita. Apabila kita sering mimpi buruk, maka seharusnyalah kita berintrospeksi diri, mengevaluasi hubungan kita dengan Allah.

Ibnu Qayyim menasihatkan, "Siapa saja yang ingin mimpinya benar, hendaklah ia berlaku benar. Makan hanya dari yang halal serta menjaga semua perintah dan larangan Allah swt. la harus tidur dalam keadaan suci yang sempurna, menghadap kiblat lalu berzikir kepada Allah sampai tertidur. Jika demikian yang ia lakukan, sungguh mimpinya tak akan berdusta sama sekali."n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar