Minggu, 14 Februari 2010

Budaya Malu

Oleh A Ilyas Ismail MA

Sifat malu, seperti disebut dalam banyak hadis, meru­pakan bagian dari iman. Sebagai bagian dari iman, sifat malu dapat diidentifikasi sebagai salah satu ke­kuatan moral yang akan membentengi manusia dari berbagai keburukan dan kejahatan. Untuk itu, tak heran bila pem­budayaan sifat malu itu menjadi salah satu misi kenabian.

Dalam bahasa Arab, kata al-haya' (sifat malu) itu berasal dari kata al-hayat yang secara harfiah berarti hidup. Ini me­ngandung makna bahwa sifat malu itu bergantung pada hidupnya hati dari jiwa seseorang (hayat alqalb). Semakin hidup rohani dan jiwa manusia, maka semakin tinggi dan besar pula sifat malu yang dimiliki.

Menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziah, sifat malu itu banyak jenis dan macamnya. Namun yang terpenting dari semua itu adalah dua macam sifat malu yang perlu terus dipupuk dan dipelihara oleh manusia, yaitu sifat malu kepada diri sendiri dan malu

kepada Sang Pencipta (Kitab Madarij al-Salikin, 2/263).

Malu kepada diri sendiri adalah suatu sifat yang timbul ketika seorang merasa dirinya telah berbuat sesuatu yang tidak semestinya. Di sini seolah-olah telah terdapat dua diri dalam diri manusia. Diri yang satu merasa malu kepada yang lainnya. Malu kepada diri sendiri ini merupakan suatu sifat yang amat terpuji. Dikatakan demikian, karena bila seorang memiliki rasa malu kepada dirinya sendiri, maka perasaan malu kepada orang lain akan jauh lebih besar.

Sementara malu kepada Sang Pencipta timbul karena kesadaran bahwa seorang merasa kecil dan hina di hadapan kebesaran dan keagungan Allah swt, atau karena dosa-dosa yang setiap saat ia lakukan. Tingkat dan kualitas rasa malu kepada Allah swt ini, menurut Ibn al-Qayim al-Jauziah, amat bergantung pada tingkat dan kualitas pengetahuan (ilm) dan pengenalan (ma’rifah) orang yang bersangkutan kepada Allah swt itu sendiri.

Bila seorang mengetahui dan menyadari bahwa Allah swt selalu mengawasinya setiap saat (QS Al-Nisa': 1), maka pastilah ia merasa malu berbuat dosa dan durhaka kepadaNya. Selanjutnya, karena rasa malu itu, ia akan bekerja dan beribadah kepada Allah swt secara sungguh-sungguh dan penuh semangat. Keadaannya dapat digambarkan seperti seorang pembantu yang bekerja di depan tuannya. la pasti bekerja keras, apalagi jika ia mengetahui bahwa tuannya selalu berbuat baik kepadanya.

Dan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa sifat itu merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas moral dan kualitas ibadah bagi seorang. Berbagai perbuatan dosa dan tindak kejahatan yang semakin banyak belakangan ini, terjadi, antara lain, karena hilangnya dan menipisnya rasa malu itu.

Sebagai seorang Muslim, kita harus berusaha menumbuhkan dan membudayakan rasa malu itu.


Sumber : Harian REPUBLIKA kolom HIKMAH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar