Jumat, 21 Mei 2010

Anak Pelindung

Oleh Syarqawl Dhofir

Sebagian orang tua mendidik anaknya dengan harapan agar kelak si anak tidak hidup melarat. Sebagian lagi berharap agar kelak ia bisa menggantungkan nasib­nya pada anaknya. Dan sebagian lagi berharap agar anak dapat melanjutkan usaha yang telah berhasil dirintisnya.

Pandangan demikian tak hanya dimiliki orang tua awam yang tak mengenal seluk-beluk pendidikan, tetapi dimiliki pula oleh orang tua yang terpelajar dan bedabatan. Baik pan­dangan yang pertama, kedua maupun ketiga, secara implisit melihat pendidikan sebagai usaha ekonomi dan secara eksplisit menganggap anak sebagai aset ekonomi hari tua orang-orang dewasa. Tak heran bila akhirnya anak dipaksa untuk lebih mernilih fakultas-fakultas yang berprospektif ekonomi cerah, daripaca dianjurkan memilih sesuai bakat yang dimiliki.

Bisa karena latah atau sebab lain, banyak kalangan kyai terpengaruh pandangan yang semacam itu, sehingga lupa mengkader sebagian anak-anaknya untuk menjadi pewaris perjuangannya menegakkan dan menyebarkan nilai-nilai keagamaan di lingkungan masyarakatnya. Mereka larut dalam arus orientasi vertikal, lupa kembali ke dasar.

Ada teladan dari Nabi Zakaria. Walaupun sadar istrinya mandul, ia tak henti-hentinya memohon kehadiran anak. Doa itu dipanjatkan, bukan karena ia punya harta banyak untuk diwariskan dan dikelola. Bukan karena ia seorang ayah yang sudah lama merindukan keturunan. Bukan pula karena ia, ingin memiliki tempat bergantung di hari tua. Tetapi ia khawatir sepeninggalnya, kekejian, kezaliman, dan kemung­karan merajalela.

Nabi Zakaria hanya berharap agar anaknya menjadi gene­rasi pelanjut perjuangan nilai-nilai ajaran Allah di muka bumi (Maryam: 2-13). Membaca sejarah kehidupan Nabi Zakaria tampak bahwa ia tidak hanya berupaya melindungi anak tetapi berusaha menyiapkannya menjadi "anak pelindung", yaitu melindungi nilai dan ajaran agama.

Upaya untuk mengkader "anak pelindung" ini juga tampak pada ajaran Islam tentang penyerahan harta kepada anak­-anak. Menurut Islam, penyerahan harta anak baru bisa dilakukan setelah anak itu baligh dan 'aqil. Baligh artinya cukup umur, dan 'aqil artinya anak punya kecerdasan untuk mampu mengelola kekayaannya.

Secara implisit orang dewasa bukan saja punya kewajiban untuk membesarkan fisik anak (baligh), tetapi juga mendidiknya agar mampu mengelola kekayaan yang dimilikinya ('aqil). Persyaratan Islami itu mempertegas komitmen kita bahwa tugas orang dewasa tidak terbatas pada melindungi diri dan kekayaan si anak, tetapi menjadikan anak mampu menjadi pelindung diri dan kekayaan yang diterima dari pewarisnya (An-Nisa : 2 dan 5).

Komitmen seperti itu harus terus menerus kita pelihara, terutama pada saat-saat sekarang ini ketika kita mem­peringati Hari Anak Nasional. Sebab hingga kini sebagian kita masih lebih disibukkan oleh usaha "melindungi anak" dari­pada usaha mengkader "anak pelindung".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar