Jumat, 14 Mei 2010

Cermin Diri

Oleh Dra H. Tutty Alawiyah AS

Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang definisi dosa. Kata Beliau, "Dosa adalah segala pekerjaan yang engkau malu bila melakukan secara terang-terangan." Pada kali lain, Beliau menjelaskan, "Dosa adalah sesuatu yang menggusarkan hatimu."

Definisi ini tentunya berlaku umum bagi orang yang hidup­nya masih dalam kewajaran, yaitu yang belum menjadikan kejahatan sebagai profesinya. Lain halnya dengan orang yang hatinya telah tertutup oleh tumpukan kejahatan. Mereka tidak lagi merasa risih, gusar, dan merasa bersalah bila berbuat dosa. Ada kesan bahwa kejahatan itu tidak lagi menjadi kesalahan melainkan dianggap sebagai tradisi sehari-hari. Kejahatan korupsi, misalnya, katanya biasa dilakukan oleh siapa saja dan bisa dimaklumi. Dia tidak merasa risih atau malu lagi untuk berkorupsi karena dianggap sudah membudaya.

Terhadap orang yang demikian itu, Alquran mengatakan, "Sayang! Telah mengotori hati mereka apa-apa yang telah (biasa) mereka lakukan." (QS AI-Muthoffifin: 14).

Maksud ayat tadi bukan berarti Allah tidak memberi hidayah, melainkan hidayah itu terpental dan tak bisa me­nembus hati yang dikotori oleh pemiliknya sendiri. Kalau sampai sebuah hati tak lagi mampu menasihati diri sendiri, nasihat orang lain hanyalah nyanyian, tuntunan jadi tontonan, kebenaran jadi pelecehan. Bila situasi demikian itu berlanjut. maka Alquran menggambarkan, "Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi." (QS Al-Baqarah: 74).

Hati yang keras adalah hati yang gelap, menjadi tempat setan membangun markas besarnya. Dari hati yang gelap itu, setan menyebar ke seluruh anggota tubuh melalui jaringan­-jaringan darah. Di mana darah mengalir, di situ setan bertengger. Tak ada batas lagi antara dia dan setan. Laiknya ikan dengan air. Dia merasa tak lagi bisa hidup tanpa kebiasaan jahatnya itu.

Terhadap kelompok yang terakhir itu, Alquran menyatakar. Bagai gelap gulita di lautan kelam yang diliputi oleh ombak. di atasnya ombak pula, dan di atasnya lagi mendung menggumpal. Gelap bertumpang tindih dengan gelap. Jika diu­lurkan tangannya, nyaris ia tak mampu melihatnya sendiri. Barangsiapa yang Allah tidak memberikan cahaya untuknya, tidaklah ia akan memperoleh cahaya sedikit pun." (QS Arr Nur: 40).

Siapa saja bisa rusak hatinya sehingga kehilangan cermin diri. Orang awam bisa gelap hatinya, tetapi lebih berbahaya lagi jika hal itu melanda orang terpelajar atau cendekiawan. Sebab betapapun otaknya encer, nafsunya akan lebih dominan daripada akalnya.

Untuk kita ingat bahwa pada diri kita ada hati, tempat kita bercermin diri. Karenanya perlu kita rawat dan bersihkan terus menerus, sehingga hati kita menjadi bersinar, lunak, dan tenang. Di hati yang bersinar, lunak, dan tenang itulah (petunjuk) Allah berada. Dalam hadis Qudsy dinyatakan, "'Bumi-Ku tak sanggup memuat-Ku. Begitu juga langit-Ku. Yang dapat memuat-Ku adalah hati hamba-hamba-Ku yang beriman, lunak, dan tenang." Wallahu A'lam. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar