Pengetahuan tentang sifat Allah atau yang dikenal dengan Sifat Dua Puluh telah diperkenalkan di banyak pesantren atau madrasah. Persoalannya, apakah sifat-sifat itu cukup dipahami dalam makna abstrak dan verbal? Ataukah kita perlu memahami makna realitasnya di batik sifat-sifat itu?
Dr Hasan Hanafi, lewat buku Min al Aqidah ila al Tsaurah menjelaskan pikiran barunya dalam memahami makna sifat-sifat Allah, antara lain sifat wujud, qidam, dan wahdaniyat. Sifat-sifat ini, menurut Hanafi, tidak selalu harus dipahami makna metafisisnya sebagai sifat Tuhan tetapi harus dipahami makna realitasnya dalam konteks kehidupan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Sifat wujud yang berarti 'ada' dipahami oleh Hanafi dengan pengalaman eksistensi manusia. Wujud adalah kesadaran yang wajib bagi zat Tuhan yang tidak disebabkan oleh apa pun. Wujud berarti keadaan. Keadaan adalah perubahan, keniscayaan, gerak dan penegasan. Wujud dalam term yang empiris berarti manusia yang sosial historis. Selama manusia 'ada', maka tegaklah kebenaran; selama masyarakat ada, nilai-nilai akan tegak; selama aktivitas sosial 'ada' maka sejarah akan tegak pula. Dengan demikian, kata Hanafi, wujud yang selama ini dipahami oleh sebagian teolog dengan semata-mata Tuhan yang mensifati dirinya dengan wujud adalah keliru. Tetapi wujud adalah kepentingan manusia dan tanggungjawabnya.
Sedang sifat qidam yang berarti ada sejak semula, dipahami oleh Hanafi dengan pengalaman historis yang menunjuk pada eksistensi manusia dalam sejarah. la merupakan kesadaran manusia terhadap zaman; dan itu berarti kesadaran historis manusia. Qidam berarti gerakan ke depan. Adalah keliru bila qidam dipahami sebagai 'kembafi ke masa lalu'.
Selanjutnya tentang diskripsi sifat (zat) Tuhan yang wahdaniyat, Hanafi menafsirkannya sebagai pengalaman individual, sosial, politik, historis dan artistik; atau pengakuan manusia secara universal dan pluralitas. la berarti kesatuan barisan, kesatuan nasional, kesatuan tujuan, kesatuan bangsa dan kesatuan kebudayaan.
Tampaknya Hanafi ingin memahami makna sifat-sifat Tuhan tersebut secara antropologis sehingga terkesan kehilangan unsur sakralnya. Tetapi bila dicermati, sebenarnya Hanafi ingin mempertebal tauhid kita kepada sifat Tuhan yang benar-benar baik, adil, dan fungsional bagi kehidupan umat manusia sebagai makhluk-Nya. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah: Bagi Allah itu mempunyai Hamba-Hamba yang baik, maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut 'asmaa-ul husna' (namanama baik). Bagi mereka yang menyebutnya dengan tidak benar, nanti mereka akan mendapat balasan sesuai yang telah mereka kedakan (QS. 7:180).Di abad modern yang penuh dengan tantangan, pemahaman tauhid seperti ini adalah tepat, karena seringkali kedapatan manusia yang cepat menyerah dengan keadaan. Dalam mengejar karir, misalnya, bukannya umat manusia meneladani sifat Tuhan yang maka aktif, tetapi mereka lebih percaya menunggu keajaiban mukjizat seperti memohon perlindungan kepada paranormal dan dukun. Lalu bukankah ini yang sesungguhnya berbahaya dan banyak makan biaya? Wallahu A'lam. n
Tidak ada komentar:
Posting Komentar