Jumat, 21 Mei 2010

Cinta Tanah Air Benarkah sebagian dari Iman?


DR. M.Quraish Shibab menjawab


Beberapa saat menjelang hijrah beliau mengucapkan kalimat yang ditujukan kepada Mekkah: "Sesungguhnya engkau (Mekkah) adalah negeri yang paling saya cintai. Seandainya pendudukmu tidak mengusir aku, aku tidak akan meninggalkan(mu)."


Assalamualaikum wr wb.

Pak Quraish, saya ingin menanyakan tentang dua buah hadis Nabi SAW yang sangat populer; Cinta tanah air adalah bahagian dari iman dan tuntutlah ilmu walau di negeri Cina. Apakah kedua hadis tersebut shahih atau bukan? - Ahmad Jamil Malang –

Hadis yang biasa diter­jemahkan dengan cinta tanah air adalah bahagian dari iman, bunyinya adalah hub alwathan minalimaan. Sebelum menjelaskan nilai yang terkandung di dalamnya ada dua komentar singkat yang ingin saya kemukakan.

Pertama, terjemahan tersebut tidaklah tepat. Cinta tanah air bukanlah bahagian dari iman. Cinta tanah air merupakan naluri manusia. Nabi Muhammad SAW pun — sebagai manusia — sangat cinta kepada Mekkah, tempat kelahiran beliau.

Beberapa saat menjelang hijrah beliau mengu­capkan kalimat yang ditujukan kepada Mekkah: "Sesungguhnya engkau (Mekkah) adalah negeri yang paling saya cintai.

Seandainya penduduk‑mu tidak mengusir aku, aku tidak akan meninggalkan(mu). "

Jika cinta tanah air merupakan naluri manu­sia, maka tentunya baik orang mukmin maupun orang kafir — selama ia masih memiliki naluri yang sehat — pasti cinta kepada tanah airnya. Dengan demikian, ia bukan bagian dari iman.

Ungkapan tersebut bukanlah hadis yang shahih. Hadis itu tergo­long adalah hadis mauwd­hu (palsu). Ini menurut penilaian As-shaggani sebagaimana dikutip oleh pakar hadist Muhammad Nashiruddin Al-Albaany dalam bukunya Silsilah Al­Ahaadist Ad-dha'ifah Wal maudhu'ah, Jilid I hl 110.

Sedangkan soal hadis kedua yang Anda tanyakan tuntutlah ilmu walau di negeri Cina yang berbunyi, "uthlubil 'ilma as lauw bis-shiin."

Hadis ini banyak ditemukan dalam berbagai kitab hadis. Ini diriwayatkan antara lain oleh Ibnu Adiy, Abu Nu'aim dalam bukunya Akhbaar Asfahan dan Abu Alqasim Al-Qusyairi dalam buku al-Arba'in. Salah seorang jalur perawinya adalah Abu 'Atikah Thariif bin Sulaiman, yang dinilai sa­ngat lemah, tidak terpercaya serta pembuat hadis-hadis palsu.

Ibnu AIjauqzy dalam bukunya Almauwdhu'at (kumpulan hadist-hadist palsu) menulis hadis tersebut dan mengutip pendapat Ibnu Hibban yang menyatakan: Hadis tersebut bathil, yang menyatakan bahwa hadis itu mempunyai jalur yang lain dan tidak mempunyai dasar.

Memang ada beberapa ulama menilainya shahih. Tetapi pandangan ini ditolak oleh banyak ulama antara lain AI-Albaany dalam bukunya yang disebut di atas. (Lihat Jilid I hal 602). n



Tidak ada komentar:

Posting Komentar