Oleh Dr Ahmad Hatta MA
Sudah menjadi kebiasaan Rasulullah saw bahwa setiap pagi beliau selalu bertanya kepada para sahabatnya: Kaifa-asbahta? (Bagaimana kamu memasuki pagi ini?). Rasulullah saw tidak bertanya "Kaifa haluka?", sebuah pertanyaan yang lebih bersifat basa-basi. Ini, karena Rasulullah memang tidak hanya sekadar ingin tahu keadaan atau kabar sahabat yang ditanya, tetapi lebih dari itu: Beliau ingin mengajarkan dan memastikan bagaimana sikap mereka menghadapi pagi itu.
Maksud Rasulullah itu sangat dipahami oleh para sahabat, karena itu mereka tidak menjawabnya dengan bil khoir (baik-baik saja), namun mereka menjawabnya dengan beragam jawaban sesuai dengan esensi diri mereka pada pagi itu.
Di antara mereka ada yang menjawab: Asbahtu uhibbullaha warasulahu (Saya memasuki pagi ini dengan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya).
Sunnah itu kalau dicermati dengan perspektif bisnis, selain tidak bertentangan dengan Islam, juga sangat menarik. Hidup ini memang bisnis. Maka terminologi bisnis, seperti: isytara, bai', dan sebagainya, banyak digunakan dalam Alquran untuk menjelaskan esensi hicup manusia. Misalnya firman Allah: Sesungguhnya Allah telah membeli dad orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.(QS At-taubah 111).
Dalam perspektif bisnis, dengan pertanyaan di atas Rasulullah saw ingin menegaskan repositioning sahabatnya. Hanya kualitas barang yang baik dan sesuai dengan selera pasar yang akan laku. Begitu juga dengan berbisnis dengan Allah, apa pun jenis pesan kita dalam kehidupan ini — entah itu pengusaha, buruh, guru, pelajar, dan sebagainya — hanya yang berkualitas 'mukmin' yang akan dibeli Allah dengan harga surga dan ridwanNya.
Maka dalam time-spans yang singkat, pagi hari — sebagaimana Sunnah Rasulullah saw tadi — adalah waktu yang tepat untuk memastikan repositioning diri dan membuat muhasabah (introspeksi dan evaluasi diri) jangka pendek. Sehingga kita dapat mengetahui untung rugi hidup kita kemarin dan memprediksi serta merencanakan planing hari ini. Sedangkan dalam time-spans yang panjang, awal tahun seperti sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya kepada diri sendiri: Kaifa asbahna fii hadzal 'aam? (Bagaimana kita memasuki tahun barn ini?), dan mengadakan muhasabah alias SWOT (strength, weakness, opportunity, and threat).
Analisis SWOT yang biasanya dilakukan dalam dunia bisnis bisa kita jadikan acuan dalam muhasabah yang dianjurkah Islam. Muhasabah SWOT ini bisa didiskripsikan sebagai berikut:
Strength, yaitu potensi-potensi keimanan dan amal saleh yang telah dapat kita capai selama tahun lalu. Potensi-potensi positif ini harus dipertahankan dan ditingkatkan.
Weakness adalah kelemahan iman dan kelalaian amal saleh yang telah terjadi pada diri kita selama tahun lalu. Ini harus kita cari sebab dan solusinya sehingga kita tidak terjatuh dalam kesalahan yang sama dua kali.
Opportunity, yaitu melihat kesempatan dan kemungkinan yang dapat kita raih pada tahun 1998, untuk meningkatkan iman takwa dan pengabdian kita kepada Allah, umat, dan bangsa.
Threats adalah ancaman dan tantangan yang mungkin kita hadapi pada tahun 1998, baik yang bersifat sosiokultural, politik-ekonomi ataupun religi-spiritual yang akan merusak dasar-dasar keimanan kita. Dan pada gilirannya akan menghancurkan nilai amal saleh kita.
Semoga kita termasuk orang-orang yang dibeli Allah dengan surga dan ridwan-NYA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar