Sabtu, 15 Mei 2010

Berbicara Indah

Oleh D. Zawawi Imron


Salah satu keistimewaan manusia dibandingkan makhluk lain adalah kemampuannya berbicara. Apapun perasaan dan pikiran yang ada di dalam dirinya, dia bisa mengemukakannya dalam bentuk ba­hasa. Dengan kemampuan berbicara itu manusia bisa berkomunikasi secara lengkap dan tuntas dengan te­man bicaranya.

Namun, kadangkala kemampuan berbicara ini disa­lahgunakan oleh manusia sendiri. Misalnya berbicara yang bisa menyakiti hati orang lain, seperti mengumpat, menghardik, menghina, dan sebagainya.

Karena itu, kata-kata atau kalimat yang keluar dari mulut seseorang akan mencerminkan juga prilaku atau akhlaknya. Untuk itu, sebelum bicara hendaklah dipikir dahulu akibatnya. Sebab kalimat yang buruk akan mem­buat luka atau sakit di hati orang lain. Hati yang terluka tidak akan kalah sakitnya dengan daging yang luka. Ka­lau kena pisau atau tongkat yang sakit itu jasmani, se­dangkan kalau tersayat oleh kata-kata yang menyakit­kan, yang sakit itu jiwa.

Kata orang bijak, kalau ada orang mudah mengelu­arkan kata-kata kotor yang bisa menyakiti orang lain, itu pertanda orang tersebut kalau bicara disetir oleh hawa nafsunya, tidak disetir oleh akal sehatnya. Kata-kata atau kalimat yang sebelumnya dikunyah dulu oleh akal sehat, tentu bersih dari jarum-jarum tajam yang bisa melukai hati orang lain. Dalam sebuah pertemuan, per­nah penulis temui orang yang menghardik orang ba­nyak. Dasar hardikan dan marahnya tidak berangkat dari akal sehat, ia hanya jadi tertawaan orang banyak. Orang itu akhirnya tidak dianggap sebagai orang sehat. Karena itu, ia harus menerima kehinaannya sendiri akibat kata-kata yang dikeluarkkan tidak selektif.

Jika kemampuan berbicara merupakan salah satu tanda kemuliaan manusia, maka hendaknya bicara atau kata-kata itu dikembalikan kepada fungsi dasar­nya: bicara sebagai lambang kemuliaan dan harus diu­payakan untuk memuliakan manusia. Nabi Muhammad sendiri adalah orang yang sangat memuliakan setiap orang yang menjadi Leman bicaranya. Berbicara yang sopan dan ramah menunjukkan akhlak yang mulia, meski orang yang diajak bicara itu orang yang lebih muda umurnya. Dikisahkan dalam sebuah hadis: Tidak pernah Rasulullah berbicara, melainkan sambil tersenyum. (HR Ahmad)

Berbicara sambil tersenyum, sudah tentu menunjuk­kan keramahan kepada orang yang diajak bicara. Kata-­kata yang diuntai lalu diucapkan sambil tersenyum, akan membuat percakapan dan pergaulan menjadi ha­ngat dan menyenangkan. Senyuman yang dimaksud tentunya senyuman yang ikhlas yang bersumber dari rasa persaudaraan dan kemanusiaan yang dalam. Bu­kan senyuman munafik, yang hanya indah di bibir tetapi di dalam hati hakikatnya mencibir. Maka sungguh tepat ucapan Rasulullah SAW: Senyummu bagi saudaramu (kawan bicaramu) adalah sedekah. Alangkah indahnya keramahan, karena keramahan dalam pergaulan itu sedekah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar