Jumat, 21 Mei 2010

RIDHO ILAHI

Oleh : Fikri Yathir

UMMAT, No. 32 Thn. IV, 22 Februari 1999/6 Zulkaidah 1419 H


Pada suatu hari, Nabi Musa a.s. bermaksud menemui Tuhan di Bukit Sinai. Mengetahui maksud Musa, seorang yang sangat saleh mendatanginya, "Wahai Kalimullah, sela­ma hidup saya telah ber­usaha untuk menjadi orang baik. Saya melaku­kan shalat, puasa, haji, dan kewajiban agama lainnya. Untuk itu, saya banyak sekali menderita. Tetapi tidak apa, saya hanya ingin tahu apa yang Tuhan persiapkan bagiku nanti. Tolong tanyakan kepada-Nya!"

Baik," kata Musa seraya melanjutkan perjalanannya. Ia berjumpa dengan seorang pemabuk di pinggir jalan. "Mau ke mana? Tolong tanyakan pada Tuhan nasibku. Aku peminum, pendosa. Aku tidak pernah shalat, puasa, atau amal saleh lain­nya. Tanyakan kepada Tuhan apa yang dipersiapkan-Nya un­tukku." Musa menyanggupi untuk menyampaikan pesan dia kepada Tuhan.

Ketika kembali dari Sinai, ia menyampaikan jawaban Tuhan kepada orang saleh, "Bagimu pahala besar, yang indah-­indah." Orang saleh itu berkata, "Saya memang sudah men­duganya." Kepada si pemabuk, Musa berkata, "Tuhan telah mempersiapkan bagimu tempat yang paling buruk." Mendengar itu, si pemabuk bangkit, dengan riang menari-nari. Musa heran mengapa ia bergembira dijanjikan tempat yang paling jelek.

"Alhamdulilah. Saya tidak peduli tempat mana yang telah Tuhan persiapkan bagiku. Aku senang karena Tuhan masih ingat kepadaku. Aku pendosa yang hina-dina. Aku dikenal Tuhan! Aku kira tidak seorang pun yang mengenalku," ucap pemabuk itu dengan kebahagiaan yang tulus. Akhirnya, nasib keduanya di Lauh Mahfuzh berubah.

Mereka bertukar tempat. Orang saleh di neraka dan orang durhaka di surga.

Musa takjub. Ia bertanya kepada Tuhan. Jawaban Tuhan begini "Orang yang pertama, dengan segala amal salehnya, tidak layak memperoleh anugerah-Ku, karena anugerah-Ku tidak dapat dibeli dengan amal saleh. Orang yang kedua mem­buat Aku senang, karena ia senang pada apa pun yang Aku berikan kepadanya. Kesenangannya kepada pemberian-Ku menyebabkan Aku senang kepadanya."

Sandungan pertama dalam perjalanan menuju kesucian adalah ridha dengan diri sendiri. Kita merasa sudah banyak beramal, dan karena itu berhak untuk memperoleh segala anugerah Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan, kita berusa­ha keras untuk mengatasinya —lahir dan batin, lalu kita mo­hon pertolongan Allah. Dengan segala usaha itu, kita merasa berhak untuk mendapatkan pertolongan-Nya. Tuhan berkewa­jiban untuk melayani kita. Ketika yang kita tunggu tidak juga datang, kita marah kepada-Nya, sambil berargumentasi, "Apalagi yang harus aku lakukan? Apa tidak cukup semua pengorbanan yang telah kuberikan?"

"Janganlah kamu memberi dan menganggap pemberianmu sudah banyak," firman Tuhan (Al-Qur'an 74: 6). Janganlah kamu berkata sudah semua kamu kerjakan. Setiap kali kamu berkata seperti itu ingatlah, belum banyak yang kamu kerjakan. Secara lahiriah, merasa telah banyak berbuat membuat orang putus asa. Karena putus asa, ia tidak mau berbuat lagi. Seluruh geraknya terhenti. Secara batiniah, merasa telah berbuat banyak menjatuhkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan. Ia mengandalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan. Pada hakikatnya, ia masih berkutat dengan dirinya. la tidak berjalan menuju Tuhan la berputar-putar di sekitar egonya. Ia tidak mencari ridha Tuhan. Ia mengejar ridha dirinya.

Kepuasan akan diri telah banyak membinasakan para salik sepanjang sejarah. Hal yang sama telah melemahkan semangat para pejuang kebenaran. Mereka merasa telah berkorban habis-habisan, tetapi hasilnya tidak ada. Anda dapat menemu­kan perasaan ini pada orang-orang saleh di sudut mesjid dan juga pada para demonstran reformis di simpang jalan. Yang pertama menghapuskan ibadatnya, yang kedua menyia-nyia­kan pengorbanan kawan-kawannya.

Kepada siapa saja di antara Anda yang taat beribadat, ba­calah doa ini setelah shalat Anda: "Tuhanku, ampunan-Mu' lebih diharapkan dari amalku. Kasih-Mu lebih luas dari dosaku. Jika dosaku besar di sisi-Mu, ampunan-Mu lebih besar dari dosa-dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasih­Mu, kasih-Mu pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, kare­na kasih-sayang-Mu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmat­Mu, wahai Yang Paling Pengasih dari segala Yang Mengasihi."

Kepada siapa saja di antara Anda yang sedang berjuang menegakkan kebenaran, tetapi Anda sudah letih dan merasa tidak berdaya, bacalah doa Nabi Muhammad SAW ketika ia berlinfung di kebun Utbah dengan kaki berlumuran darah, 'Ya Allah, kepada-Mu aku adukan kelemahan diriku, ketidak-berdayaanku, dan kehinaanku di mata manusia. Wahai yang Ma­hakasih dan Mahasayang, wahai Tuhan orang-orang yang tertindas. Kepada tangan siapa akan Kau serahkan daku? Kepada orang jauh yang memperlakukanku dengan buruk? Atau kepada musuh yang Kau-berikan kepadanya kekuasaan untuk melawanku? Semuanya aku tidak peduli, asalkan Engkau tidak murka kepadaku. Anugerah-Mu bagiku lebih agung dan lebih luas. Aku berlindung pada cahaya ridha-Mu, yang menyinari kegelapan. Janganlah murka-Mu turun kepadaku. Janganlah marah-Mu menimpaku. Kecamlah daku sampai Engkau ridha. Tak ada daya dan kekuatan, kecuali me­lalui-Mu."









Tidak ada komentar:

Posting Komentar