Selasa, 18 Mei 2010

Hukum Allah SWT

Oleh Drs Fauzul Iman MA


Syariah adalah hukum Allah swt yang diciptakan bukan untuk kepentingan Allah sendiri tetapi dicip­takan buat kepentingan umat manusia sebagai makhluk-Nya. Dengan undang-undang itu, Allah SWT tidak memanfaatkan umat manusia demi memperkokoh, can melestarikan kekuasaan-Nya karena Allah adalah Maha Kuasa dan Maha Bijaksana atas segala sesuatu.

Sifat Maha Bijaksana Allah tersebut tecermin dalam cara menetapkan undang-undang. Dalam hal minuman keras, misalnya, Allah tidak melarangnya sekaligus, me­lainkan dengan cara bertahap. Pada tahap pertama, Allah hanya menginformasikan manfaat minuman keras tapi bahayanya lebih besar dari manfaatnya (Q. S. 2: 219); tahap kedua Allah melarang orang yang melakukan shalat dalam keadaan mabuk (Q. S. 4: 43), dan baru pada tahap terakhir Allah melarang minuman keras dengan tegas (Q. S. 5: 90).

Menurut Dr Malik Bin Nabi dalam bukunya At zahirah At Quran, pentahapan undang undang minuman keras yang ditempuh oleh Alquran benar-benar memperlihatkan kea­rifan hukum Islam. Ini, katanya, karena ketika undang-un­dang larangan akan ditetapkan, khamr (minuman keras) sudah menjadi komoditas perdagangan masyarakat Arab yang paling maju. Seandainya Allah SWT menetapkan hu­kum larangan khamr dengan paksa, kata Malik Bin Nabi, tentu akan menimbulkan problem ekonomi yang sangat serius yang berdampak dapat meresahkan masyarakat.

Uraian ini sekaligus menghapus kesan awam yang ma­sih menganggap hukum Islam sebagai hukum yang ke­jam (tidak manusiawi). Dalam hukum Islam, hukuman apapun yang ditetapkan tidak dimaksudkan untuk balas dendam tapi guna melindungi eksistensi kemaslahatan umat. Dalam hukuman qishas, misalnya, yang dikehen­daki adalah keadilan dalam porsi yang sebanding hukum­an itu diterima sesuai dengan perbuatannya karena Allah tidak menghendaki nyawa manusia terancam. Namun hukum Islam tidak memaksakan kepada seseorang agar dikenai hukuman qishas, tergantung pada substansi per­buatan dan kondisi psikologis yang bersangkutan.

Mengenai hukuman pancung yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini sebenarnya merupakan wujud lain dari pe­mikiran manusia tentang qishas. seseorang tidak mutlak dikenakan hukuman qishas bila yang bersangkutan membunuh atau memukul dengan tidak sengaja. Hukum­an qishas adalah hukuman had yang mengandung hak adami (manusia), sehingga dengan adanya hak adami pi­hak pembunuh diperkenankan meminta keringanan hu­kum pada pihak keluarga yang terbunuh (waliyuddam). Bila pihaknya bersedia memaafkan, sebenamya hukum Islam sangat arif memberikan keringanan hukuman kepa­da pihak pelaku dengan membayar denda (Q.S. 2: 178).

Karena wujud penetapan hukum Allah adalah kearifan dan kemanusiaan, maka bukan saja yang menyangkut hak adami (hak manusia) untuk yang menyangkut had yang mengandung unsur hak Allah saja, juga hukum Is­lam masih dapat memberikan keringanan hukum. Con­tohnya Umar pernah menunda hukuman potong Langan di musim paceklik karena pencuriannya dipandang syubhat. Syubhat yang dimaksud adalah karena situasi paceklik yang mendorong banyaknya pencuri beroperasi, sementara harta di pihak orang kaya yang merupakan hak bagi kaum miskin (pencuri) tidak diberikan. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar