Selasa, 18 Mei 2010

Si Gila Sa'dun

Oleh KH A Mustofa Bisri


Abu 'Athaa Sa'id yang terkenal dengan julukan Si Gila Sa'dun adalah termasuk salah seorang 'Uqalaa-ul Majaaniin, orang-orang gila yang berpikir­an waras.

Suatu hari Malik bin Dinar, seorang alim sufi, men­jumpainya sedang duduk termenung di perkuburan Basrah. "Aga kabar, Sa'dun?" tegur Malik, "bagaimana keadaanmu?"

"0, Malik," jawalb Sa'dun, "bagaimana pula keadaan orang yang sehari-hari, pagi dan petang, menanti keberangkatan untuk pergi jauh menuju Tuhannya yang Maha Adil tanpa persiapan dan bekal yang cukup?" Dan Sa’dun pun menangis sejadi-jadinya.

"Sa'dun. apa yang membuatmu menangis begitu?" tanya Malik.

"Aku bukan menangisi dunia," jawab Sa'dun, "bukan pula karena takut mati. Tapi aku menangisi hari-hari umurku yang berlalu begitu saja tanpa kuisi amal-amal yang baik. Aku menangis mengingat jauh dan gawatnya perjalanan, sementara bekalku cuma sedikit sekali. Aku pun tak tahu akan kemanakah aku kemudian: ke sor­gakah atau ke neraka?"

Orang-orang menganggap Sa'dun gila. Dan ini bisa dimengerti, karena gila memang mempunyai banyak pengertian. Gila bisa berarti 'sakit ingatan' (kurang beres ingatannya); tapi juga bisa berarti Tdak biasa, tidak sebagaimana mestinya, berbuat yang bukan-bukan' (tidak masuk akal). Tanpa perlu menanyakan kepada ahli jiwa apakah Sa'dun sakit ingatan, rupanya orang hanya melihat perilaku Sa'dun yang tidak biasa, tidak seba­gaimana mestinya, dan suka berbuat yang bukan-bukan, maka mereka pun menganggapnya gila.

Apabila yang menjadi ukuran kegilaan adalah ketidak­biasaan, maka di dunia di mana masyarakatnya semua konyol, orang yang tidak konyol pun bisa disebut gila. Di dalam masyarakat di mana ketidakjujuran sudah menjadi biasa, maka orangjujur pun bisa dianggap gila. Di masyarakat di mana takut merupakan ciri umumnya, maka seorang yang berani pun terbilang gila. Demikian seterusnya.

Seperti juga kisah Sa'dun di atas membuktikan 'kegi­laan'nya. Bagaimana tidak? Umumnya orang tidak memikirkan, atau tidak terlalu memikirkan — apalagi sampai menangis —'masa depan' yang sesungguhnya, yang menentukan kebahagiaan atau kesengsaraan hakiki yang abadi: di akhirat. Kalaupun memikirkan, tidak sampai sejauh memikirkan 'masa depan' yang dekat: di dunia ini. Ini bisa dilihat dari persiapan mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari: perbandingan yang jom­plang antara penyiapan bekal perjalanan dekat dan jauh mereka.

Begitulah, ketika umumnya orang hanya mengartikan firman Allah "Waltandhur nafsun maa qaddamat lighadd!" sebagai pesan untuk memikirkan masa depan di dunia, Sa'dun justru menghayati firman itu sebagai pesan untuk memikirkan masa depan yang sebenamya: kehidupan akhirat.

Apabila Sa'dun masih hidup sekarang ini, bolehjadi kita pun akan menyebutnya Si Gila atau malahan meng­anggapnya sudah keterlaluan gilanya. Wallahu A’Iam. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar