Jumat, 14 Mei 2010

Salat yang Bermakna

Oleh D Zawawi Imron


Muhammadkan hamba," pinta Emha Ainun Nadjib dalam salah satu sajaknya. Permohonan kepada Allah yang sedemikian itu berangkat dari kesadaran, betapa pentingnya seseo­rang mengenal pribadi dan kerasulan Nabi Muhammad saw yang mulia. Kemudian setelah mengenal arti Muhammad dan kedudukannya dalam kehidupan yang sangat membutuhkan suri teladan ini, lalu terasa betapa mulianya orang yang bisa berakhlak seperti Rasulullah itu, baik kesalehan ritualnya maupun kesalehan sosial­nya.

Maka salat, yang meniru gerak Nabi Muhammad dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta sebagai ungkapan penghambaan dan kehambaan yang tutus, tak lain sebagai upaya me-Muhammadkan diri. Jika gerakan yang berupa rukuk, iktidal, sujud dan lain-lain itu meru­pakan gerak Muhammad dalam berhubungan langsung dengan Allah, maka seorang yang meniru (berteladan) kepada Muhammad berarti me-Muhammadkan dirinya, bergerak dengan rukuk, iktidal, dan sujud seperti Nabi Muhammad.. Jika Nabi Muhammad manusia termulia, maka siapa yang meniru Muhammad talk lain merupakan usaha sehat untuk memuliakan dirinya di hadapan Allah.

Jika meniru gerak Muhammad saw itu tanpa kesadaran, misalnya melakukan salat hanya dipandang sebagai warisan kebiasaan dari nenek moyang, maka melakukan salat tidak akan menjadi usaha sehat untuk me-Muhammadkan diri, tetapi hanya sebagai gerakan kelanjutan dari tradisi yang hanya dipandang sebagai warisan turun temurun. Salat macam begitu bisa mungkin akan kehilangan ruh (spirit) dasar yang menjadi media taqarrub (pendekatan) antara seorang hamba (manusia yang sadar akan kemakhlukannya) dan Allah (al-Khaliq).

Sangatlah penting dipahami bahwa salat itu bukan sekadar warisan tradisi, tapi wujud dari kesadaran tertinggi manusia sebagai makhluk yang tetap ingin berta­han dalam kondisi ahsanu taqwim (sebaik-baik ciptaan). Jika kesadaran ini tidak ada dan kesadaran itu tidak dimanifestasikan dengan tindakan-tindakan nyata, bisa jadi manusia yang diciptakan sebagai sebaik-baik ciptaan itu lalu turun derajatnya menjadi asfala safilin (sejelek­jelek derajat).

Meniru akhlak Nabi Muhammad kiranya tidak cukup dalam salat saja, sementara di luar salat akhlaknya jauh dari yang dicontohkan Rasulullah. Misalnya, salatnya sudah baik dan hampir persis dengan salat Nabi Muhammad, tapi di luar salat melakukan tindakan yang dilarang Rasulullah, seperti suka memfitnah. menipu, korupsi, suka sogok menyogok, buka aurat. dan lain-lain. Itu namanya, dalam salat seperti Nabi, tapi di luar salat seperti bajingan.

Tapi, jika salat benar-benar berangkat dari "kesadaran tertinggi" yang berupa Tauhid yang murni, tidak mungkin ada pertentangan antara tindakan di dalam salat dan di luar salat. Jika di dalam salat hati dan tubuhnya tunduk patuh kepada Allah, di luar salat pun ia akan tetap tunduk dan patuh kepada Allah.

Salat yang demikianlah yang akan selalu punya rele­vansi dengan kehidupan nyata, dan siapa yang berupaya mencapainya adalah seorang pejuang sejati yang ingin menjadi "Hamba Allah" dalam arti yang sebenar-­benarnya. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar