Selasa, 18 Mei 2010

Dimensi Kemusyrikan

Oleh Syaefudin Simon

Tak sedikit orang yang mengira bahwa syirik adalah menyekutukan Allah dengan menyembah berhala atau mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Firaun. Padahal menurut Alquran, menyeku­tukan Allah mencakup dimensi yang sangat luas: Dari gaya Firaun yang mengaku sebagai Tuhan sampai cara berfikir bahwa uang adalah segala-galanya.

Dalam kaitan ini, orang yang menganggap batu cincin yang dipakainya berkhasiat melariskan dagangannya, sebagai contoh, termasuk musyrik. Meminta kesela­matan pada dukun, mohon perlindungan dari jin, dan bahkan bekerja sama dengan jin untuk tujuan-tujuan ter­tentu, juga termasuk bentuk kemusyrikan. Dalam hal ter­akhir ini, orang tersebut tidak hanya musyrik karena men­ganggap jin bisa dimintai pertolongan (QS. 1:5), tapijuga telah mencampuri 'wilayah gaib' yang merupakan hak prerogatif Tuhan.

Lebih jauh, Alquran memperingatkan tentang bentuk kemusyrikan yang bercokol di hati manusia dengan mempertanyakan: Pernahkah kau melihat orang-orang yang mempertuhankan hawa nafsunya? (QS. 45:23). Dari ayat ini tampak, siapa saja yang orientasi perbuatannya untuk kepentingan hawa nafsunya, berarti ia menjadi musyrik.

Kesombongan, misalnya, termasuk salah satu bentuk kemuysrikan. Ini karena manusia tak berhak untuk sombong. Rasulullah saw menjelaskan, "Jika ada setitik kesombongan dalam hati manusia, niscaya Tuhan tak akan memasukkannya ke dalam Sorga."

Mengumbar hawa nafsu, sombong, dan merasa paling berkuasa merupakan tiga bentuk kemusyrikan yang sering talk disadari manusia. Nafsu ingin kaya dengan menghalalkan semua cara, seperti korupsi, manipulasi, dan lain-lain penyelewengan — termasuk bentuk kemusyrikan. Merasa dirinya 'lebih' dari orang lain sehingga ia merasa berhak untuk 'berkacak ping-gang' juga termasuk bentuk kemusyrikan. Dan, merasa dirinya paling berkuasa sehingga tidak man menerima kritik dan saran orang lain, itu pun termasuk bentuk kemusyrikan. Sebab, hanya Allah yang punya kekuasaan mutlak tanpa cacat.

Demikian kompleks dan tersamarnya kemusyrikan, sampai-sampai Sayyidina Ali menyatakan, "Kemusyrikan itu bagaikan semut hitam yang merambat di ranting hitam di tengah hutan lebat pada malam gelap gulita." Nah, mari kita selidiki secara cermat, apakah dalam hati kita juga bersemayam kemusyrikan yang demikian sublim tali. Untuk itu, pertanyaan-pertanyaan ini patut diajukan pada hati sanubari kita.

Apakah kita termasuk majikan yang meniadakan hak-­hak pekerjanya; apakah kita termasuk politisi yang sengaja menghilangkan hak-hak rakyat yang diwakilinya; apakah kita termasuk penguasa yang menutup hak-hak rakyat untuk mengoreksi dan mengkritiknya; apakah kita termasuk ibu rumah tangga yang memotong hak-hak para pembantunya; apakah kita termasuk orang yang minta bantuan dukun untuk melicinkan tujuannya; apakah kita termasuk orang yang memiliki jin untuk melindungi bisnisnya?

Jika itu terjadi pada diri kita, mari dan bertobat. Sebab, semua itu adalah bentuk-bentuk kemusyrikan yang tersamar. Jika tidak bertobat, Allah akan menimpakan azab kepada kita di dunia maupun akhirat. Na'udzubillah min dzaalik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar