Kamis, 13 Mei 2010

Hedonisme


Oleh Toto Tasmara


Ada baiknya sesekali kita bertafakkur memasuki alam rohani sambil meneliti dan membedah seluruhjiwa dengan mata batin yang paling bening. Kemudian mengadili seluruh hidup yang kita jalani untuk merengkuh hidup yang abadi. Karena kita radar bahwa di zaman yang serba sibuk dan materialistik seperti saat ini, seringkali kita terperangkap dalam pusaran kehidupan bendawi dan hampir tidak ada waktu untuk memparkir kelelahan batin dalam suasana yang damai.

Seorang hamba yang masih ada sisa iman di tengah-­tengah deru dan debu dunia, pastilah akan menyisihkan barang sejenak untuk beraudiensi dengan Ilahi, minimal lima kali sehari. Dalam sujudnya dia melakukan penilaian atas perjalanan hidup dan rencananya ke depan seba­gaimana firman Allah: Wahai orang yang beriman, bertak­walah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memper­hatikan apa-apa yang dipersiapkan untuk hari esok... (QS 59: 18).

Kita diminta untuk melakukan introspeksi, meneliti, dan menghitung aural perbuatan yang kelak akan dimin­takan pertanggungawabannya di akhirat. Hidup yang kita jalani bukanlah tujuan akhir. Hidup hanyalah menunggu saat kematian yang sangat pasti dan tidak terhindarkan. Bahkan Allah berfirman bahwa dunia ini hanyalah sekadar permaian dan perantauan sesaat (QS 47: 36).

Menyadari hakekat kehidupan yang sementara ini, kita diingatkan agar tidak tenggelam dalam kenikmatan se­mentara: sebuah fatamorgana yang sekali direguk kemudian tidak berarti: Manusia yang tidak lagi mempunyai kendali untuk sejenak tafakkur melihat posisi dirinya di tengah-tengah perjalanan ke akhirat, niscaya hidupnya akan terns didera dan dipacu hawa nafsu. Halal dan Karam sudah tidak ada lagi dalam kamus kehidupannya. Falsafah dirinya dipenuhi oleh cara berpikir hedonisme, nikmatilah hidup sepuasnya sebelum datang kematian. Maka kegelisahan rohani yang mengetuk-ngetuk kalbunya. lindap diterkam nafsu kenikmatan badani.

Hedonisme adalah ciri budaya orang sekuler. Mereka memburu kenikmatan, gaya hidup diperbudak gengsi, sehingga di dalam benaknya hanyalah materi semata­mata, dan kalau perlu dia lakukanjalan pintas, korupsi dan kolusi. Mobil-mobil mewah yang memenuhi garasi di rumahnya menjadi status simbol citra dirinya. Padahal beberapa meter dari rumahnya, terpampang rumah-­rumah gubuk dan mulut para dhuafa yang menganga kelaparan.

Hedonisme bertambah subur ketika aspek ekonomi menjadi panglima, seringkali kita tergoda untuk menafikkan hubungan kemanusiaan. Derajat manusia diklasifikasikan berdasarkan pemasukan per kapita. Manusia yang mulia dan pantas dihormati, hanyalah manusia yang mempunyai deposito dengan deretan angka yang panjang. Orang yang turun dari BMW atau Mercedes Benz akan dipanggilnya Tuan atau Raden, sementara mereka yang turun dari Bajaj, cukuplah disapa dengan panggilan 'ujang'. Prilaku sopan santun menjadi mengendur. Para remaja terobsesi untuk bersikap dan bertingkah laku seperti bintang film yang berpenampilan aduhai penuh glamour. Dan kemudian masyarakat pun menjerit sakit, karena harga manusia dinilai dari bentuk luamya raja. Astaghfirullah! n


Tidak ada komentar:

Posting Komentar