Oleh Toto Tasmara
Seorang hamba yang masih ada sisa iman di tengah-tengah deru dan debu dunia, pastilah akan menyisihkan barang sejenak untuk beraudiensi dengan Ilahi, minimal
Kita diminta untuk melakukan introspeksi, meneliti, dan menghitung aural perbuatan yang kelak akan dimintakan pertanggungawabannya di akhirat. Hidup yang kita jalani bukanlah tujuan akhir. Hidup hanyalah menunggu saat kematian yang sangat pasti dan tidak terhindarkan. Bahkan Allah berfirman bahwa dunia ini hanyalah sekadar permaian dan perantauan sesaat (QS 47: 36).
Menyadari hakekat kehidupan yang sementara ini, kita diingatkan agar tidak tenggelam dalam kenikmatan sementara: sebuah fatamorgana yang sekali direguk kemudian tidak berarti: Manusia yang tidak lagi mempunyai kendali untuk sejenak tafakkur melihat posisi dirinya di tengah-tengah perjalanan ke akhirat, niscaya hidupnya akan terns didera dan dipacu hawa nafsu. Halal dan Karam sudah tidak ada lagi dalam kamus kehidupannya. Falsafah dirinya dipenuhi oleh cara berpikir hedonisme, nikmatilah hidup sepuasnya sebelum datang kematian. Maka kegelisahan rohani yang mengetuk-ngetuk kalbunya. lindap diterkam nafsu kenikmatan badani.
Hedonisme adalah ciri budaya orang sekuler. Mereka memburu kenikmatan,
Hedonisme bertambah subur ketika aspek ekonomi menjadi panglima, seringkali kita tergoda untuk menafikkan hubungan kemanusiaan. Derajat manusia diklasifikasikan berdasarkan pemasukan per kapita. Manusia yang mulia dan pantas dihormati, hanyalah manusia yang mempunyai deposito dengan deretan angka yang panjang. Orang yang turun dari BMW atau Mercedes Benz akan dipanggilnya Tuan atau Raden, sementara mereka yang turun dari Bajaj, cukuplah disapa dengan panggilan 'ujang'. Prilaku sopan santun menjadi mengendur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar