Selasa, 18 Mei 2010

Kembali ke Nilai Ilahi

Dr Fuad Amsyari

Bulan Ramadhan, yang kali ini datang hampir bersamaan dengan tahun baru 1998, telah memberi nuansa baru. Banyak pejabat di tingkat propinsi dan kabupaten mengimbau agar masyarakat tidak berhura-hura di wilayahnya, dan menggantinya dengan banyak ibadah. Hotel dan tempat hiburan pun merespon cukup lumayan dengan mengurangi kegiatan maksiat dan munkarat.

Rupanya hanya dengan imbauan pejabat teras sudah mampu membuat suasana berubah membaik. Tentu akan lebih efektif hasilnya bila ajakan balk itu berbentuk perintah dan kebijakan, lebih-lebih jika dilakukan oleh semua pejabat di seluruh wilayah Indonesia. Uang akan banyak terhemat, kebrutalan akan terkurangi, mabuk-­mabukan akan terhindarkan, dan korban kecelakaan akan banyak tercegah.

Kondisi sejuk dan tanpa hura-hura, sebenarnya sudah menjadi tradisi bangsa ini sejak lahirnya. Namun para pejabat pula yang membuat budaya tahun baru itu berubah menjadi budaya konsumtif dan hiruk-pikuk dengan mem­buat kebijakan dan percontohannya yang aduhai seperti meniup terompet dan bersulang di tengah malam buta di hotel dan restoran mewah di wilayahnya, merangsang masyarakat ikut memulai tradisi bonus dan glamor.

Menimbang dua bentuk tradisi di atas, tentu akal sehat kita akan bertanya manakah budaya yang lebih meng­untungkan bangsa ini, budaya hiruk-pikuk, penuh glamor, disertai mabuk dan hiburan maksiat di tengah kemis­kinan yang masih luas, atau budaya tenang, tenteram, penuh keprihatinan, dan kekhusuan kepada Ilahi. Para cendekiawan harus memberi arah, para pejabat harus membuat kebijakan dan contoh, dan rakyat harus taat dan istiqomah.

Islam mengajarkan bahwa hidup itu harus dijalani dengan nilai yang dituntunkan oleh Pencipta, agar sela­mat sebagai pribadi dan tidak rusak secara sosial. Firman Allah: Kebenaran itu datangnya dari TuhanMu, ja­ngan sekali-kali ragu (QS AI-Baqarah: 147).

Prinsip itu jelas berlawanan dengan kaedah para so­siolog sekuler yang menyatakan bahwa kebenaran itu adalah keinginan yang hidup dari mayoritas penduduk. Teori sosiologi sekuler seperti itu hanya akan merusak sendi sosial karena persepsi kehendak mayoritas sering direkayasa oleh kelompok kecil tapi berkuasa yang me­manipulasi keinginan atas nama rakyat itu. Tuntunan ' Allah dalam Kitab Suci yang baku itulah rambu untuk me­ngontrol manipulasi kebenaran yang diklaim oleh pemilik modal. pejabat, dan bahkan ilmuan sekalipun.

Ramadhan sering membuat pejabat, pengusaha, dan ilmuan muslim tersentak kembali, ingat perlunya intros­peksi dari perbuatannya selama ini karena perut mereka menjadi lapar secara disengaja. Bulan inilah bulan yang paling tepat untuk kembali ke nilai kebenaran yang murni, bukan kebenaran palsu atas nama modernisasi, atau demokrasi. atau hak azasi. Lihatlah firman Allah dalarn Al-Quran tentang nilai sosial yang diajarkanNya un­tuk kesejahteraan dan keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara.

Kini. yang diperlukan adalah keberanian untuk mene­gakkan cara hidup bermasyarakat yang sehat itu melalui kebijakan sosial dan percontohan nasional oleh para pe­jabat dan penyelenggara negara, dan ditaati oleh pemilik modal dan rakyat. Kita sudah cukup mendapat pelajaran dari apa yang kita perbuat dalam 30 tahun terakhir ini, yarg mengutamakan materi, histeris terhadap pertum­buhan ekonomi, sehingga mengabaikan moral dan lingkungan. Bumerang sudah mengambil korbannya, kebakaran hutan, Kekejaman kriminal termasuk pembantaian bayi tidak berdosa, pengusiran tenaga kerja dan krisis moneter yang berkepanjangan. Marilah Ramadhan 1418 H ini menjadi titik balik proses kehidupan sosial kita untuk keselamatan kita sendin di masa mendatang. n

Tidak ada komentar:

Posting Komentar