Selasa, 18 Mei 2010

Tabung Sepuluh Ringgit



Biaya naik haji di Malaysia dan Australia bisa lebih murah berkat sistem pengelolaan dana yang efisien dan transparan

Tabungan haji dan biaya perjalanan haji (BPH) adalah dua istilah yang merujuk pada pengertian yang sama sekaligus berbeda. Pertama, keduanya menjelaskan ongkos yang diperlukan untuk naik haji ke Tanah Suci. Kedua, jika dua istilah—yang sama-sama berasal dari rumpun bahasa Melayu—itu diterjemahkan ke dalam urusan operasional perhajian bentuknya beralih menjadi uang berjuta-juta, bahkan miliaran rupiah.

Tabung haji adalah paket penyelenggaraan haji di Malaysia dengan ongkos antara M$ (ringgit Malaysia) 7.831 (pada kurs Rp 1.954 menjadi Rp 15.301.361) dan M$ 8. 211 (Rp 16.043.861) untuk BPH biasa. Sementara itu, di Indonesia, untuk kelas yang sama, seorang jamaah membayar Rp 20,5 juta. Jika perbedaan biaya itu dipukul rata pada angka Rp 4 juta, untuk 50 ribu jemaah misalnya, ada perbedaan ongkos sebesar Rp 200 miliar. Betapa fantastisnya angka itu mengingat, bahkan, setelah krisis ekonomi sekalipun, kuota haji Indonesia masih di atas 50 ribu orang.

Ibadah haji memang urusan rohani, sebuah pilgrimage, perjalanan ziarah yang insya Allah dapat lebih mendekatkan manusia kepada Tuhannya—sesuatu yang mestinya terlalu tinggi nilainya untuk diributkan dengan uang. Namun, ketika ongkos beribadah itu kian meningkat di Tanah Air, sedangkan para jiran dapat mengirimkan jemaahnya dengan ongkos yang lebih murah maka orang mau tak mau mulai membandingkan, mencari tahu, dan mereka-reka kenapa berhaji di Tanah Air bisa memakan biaya lebih mahal ketimbang para jiran dekat seperti Malaysia dan Australia.

Di Malaysia—jumlah umat Islam sekitar 14 juta jiwa dari 22 juta penduduk—niat berhaji diawali dengan tabung (tabungan) senilai sepuluh ringgit (M$ 1 = Rp 1.954). Uang tersebut disetorkan oleh calon jemaah kepada Tabung Haji, sebuah lembaga independen yang diketuai Menteri di Jabatan Perdana Menteri, Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (setingkat Menteri Agama di Indonesia) dan bertanggung jawab langsung kepada Perdana Menteri.

Dana beku tersebut kemudian diputarkan ke dalam berbagai kelompok usaha yang menguntungkan. Duta Besar Malaysia, Datuk Zainal Abidin Alias, menjelaskan bahwa rakyat Malaysia yang hendak berhaji biasanya menabung dari awal tanpa ada batasan usia. Tabungan itu kemudian diputar untuk bisnis sehingga menghasilkan deviden yang dibagikan kepada jemaah setiap tahun antara 8 persen sampai 9 persen. "Ini tidak melanggar kaidah Islam sehingga umat merasa aman menabung di Tabung Haji," ujar Datuk Zainal kepada wartawan TEMPO, Dewi Rina Cahyani.

Paket ibadah yang dikhususkan bagi warga negara Malaysia ini tidak disubsidi pemerintah. Jika ada kekurangan ongkos, kekurangan itu akan dikonversi dari deviden dana tabungan. Seperti halnya di Indonesia, Malaysia pun mengenal paket-paket naik haji plus. Penyelenggaranya, pihak swasta, yang tak perlu menyetor "upeti" apa pun kepada Tabung Haji atau pemerintah. Syaratnya cuma satu: besar-kecilnya biaya harus sesuai betul dengan fasilitas yang diberikan. Ongkos haji plus dibuka dari harga M$ 8.950 (Rp 17.487.829) sampai dengan M$ 53.400 (Rp104. 340. 789). Bandingkan dengan Indonesia yang menetapkan harga pada US$ 5.000 (Rp 37.125.000) sampai dengan Rp 70.537.500 (US$ 9.500).

Ternyata, Malaysia bukan satu-satunya tetangga yang bisa menawarkan naik haji dengan biaya lebih murah (dibandingkan dengan Indonesia). Australia misalnya, menawarkan paket naik haji plus dengan tarif yang tak kalah menggiurkan: A$ 3.500. Dengan kurs Rp 5.300, biaya naik haji di Australia—embarkasi Sidney—hanya memakan ongkos Rp 18.550.000 (sekitar 2/3 dari ongkos haji biasa di Indonesia). Biaya tersebut diperlukan untuk tiket Sidney-Cengkareng-Jeddah-Cengkareng-Sidney ditambah dengan belanja akomodasi dan logistik—dengan standar BPH Plus—selama masa naik haji.

Di luar itu, CIDE (Center Islamic Dakwah Education) sebagai lembaga penyelenggara haji yang bertempat di Sidney masih memberikan bonus tambahan, dari Jeddah Anda boleh melepas rindu kepada sanak-saudara di Jakarta—sebelum kembali ke Sidney dengan tiket tersebut. Lembaga itu memang didirikan dan diselenggarakan orang Indonesia. Pesertanya pun mula-mula kebanyakan orang Indonesia yang kemudian berkembang untuk siapa saja. Pengelolaan biaya naik haji di kedua negara tersebut memperlihatkan betapa sebuah ongkos yang dihitung dengan jelas, efisien, dan transparan akan meringankan jemaah sekaligus menghemat dana ratusan miliar rupiah.

Berhaji wajib hanya bagi mereka yang mampu, tapi tetap saja sebuah ibadah rohaniah yang rindu ditunaikan oleh setiap umat Islam. Sayang, Tanah Suci tak bisa dicapai hanya dengan kesiapan iman dan mental. Kecukupan ekonomi menjadi syarat penting—sesuatu yang kian sulit ketika krisis melanda, lebih-lebih tatkala segala biaya dihitung dengan cara yang jauh dari efisien.


Sudah Mahal, Dipalak Pula

Tanpa kejanggalan, biaya perjalanan haji bisa dipangkas menjadi separuhnya.

UNTUK pertama kalinya sepanjang sejarah perhajian Indonesia, pemerintah tampak sulit betul menghitung berapa biaya perjalanan haji (BPH) tahun ini. Setidaknya itu terlihat dari bagaimana pemerintah terpaksa tiga kali merevisi BPH atau yang dulu dikenal sebagai ongkos naik haji (ONH) itu. Ini gara-gara krisis moneter dan loyonya rupiah di kaki dolar. Padahal penetapan BPH selama ini memang menggunakan patokan dolar sebagai dasar perhitungan. Otomatis, jika dolar menguat, biaya berhaji itu pun makin mahal.

Pada Agustus 1998, pemerintah mula-mula mematok biaya itu sebesar Rp 27 juta atau US$ 2.700, dengan asumsi kurs Rp 10 ribu per dolar. Dua bulan kemudian, ketika rupiah menguat menjadi Rp 8.000 per dolar, BPH turun menjadi Rp 21,8 juta. Selang tiga bulan selanjutnya, pemerintah merevisi lagi BPH, untuk terakhir kalinya, menjadi Rp 20,5 juta (US$ 2.737), dengan asumsi kurs Rp 7.425 per dolar.

Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Mubarok, komponen BPH itu terdiri atas ongkos angkutan udara Indonesia-Arab Saudi pergi-pulang (Rp 8,91 juta), biaya wajib di Arab Saudi (Rp 10.701.400), uang bekal selama di Tanah Suci (Rp 4 juta), biaya operasional dalam negeri (Rp 621.600), dan uang bekal kembali ke daerah (Rp 50 ribu). Anehnya, kalau ditotal, jumlahnya Rp 24,333 juta alias berselisih Rp 3,833 juta dengan BPH resmi (lihat infografis).

Mahalkah angka itu? Bila dibandingkan dengan ongkos haji di negeri jiran, Malaysia, BPH Indonesia itu tergolong mahal. (Lihat pula: Tabung Sepuluh Ringgit.) Tapi Mubarok mengingatkan, "Kalau ingin membandingkan dengan Malaysia, kita harus melihat komponen-komponennya." Komponen biaya hidup jemaah Indonesia selama di Arab Saudi, contohnya, mencapai Rp 4 juta (US$ 540). Berapa di Malaysia? Mubarok tidak tahu. Sementara itu, Amidhan, pejabat yang digantikan Mubarok, menyebut bahwa ongkos hidup (living cost) haji hanya sekitar US$ 200. Anehnya, paket haji Malaysia tetap lebih murah dibandingkan dengan ONH Indonesia.

Selain itu, seperti yang disebut dalam buku Bunga Rampai Perhajian terbitan Direktorat Jenderal Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Departemen Agama RI, mahalnya BPH disebabkan oleh letak Indonesia yang lebih jauh daripada Malaysia, sehingga biaya angkutan udaranya pun lebih tinggi. Atau, menurut istilah Amidhan, Indonesia memiliki beberapa embarkasi, dari yang terdekat (Medan) hingga yang terjauh (Ujungpandang), sehingga harus dibuat ongkos angkut rata-rata (average cost). Inilah yang membuatnya lebih mahal.

Penjelasan ini juga sulit diterima. Sebab, ongkos perjalanan domestik juga dimasukkan dalam perhitungan. Dan masih ada pertanyaan lain: mengapa ada maskapai yang berani memasang ongkos angkutan udara di bawah Garuda? Maskapai penerbangan Emirates, misalnya, sanggup menerbangkan jemaah ke Arab Saudi dengan tarif US$ 950—lebih murah US$ 250. Bahkan standar biaya penerbangan reguler dari Indonesia ke Arab Saudi pun rata-rata tidak sampai US$ 1.000. Mengapa pula setahun yang lalu Garuda bahkan mematok tiket sampai US$ 1.750? Benarkah Garuda telah menggerogoti uang jemaah sebanyak US$ 450, seperti yang pernah dituduhkan oleh bekas Menteri Agama Tarmizi Taher?

Kepala Urusan Haji, Umrah, dan TKI Garuda, Harliman Sumasaputra, menjelaskan bahwa ongkos angkut sebesar US$ 1.200 dipakai untuk pengurusan pesawat di darat (ground handling), katering, perawatan, sewa pesawat, bahan bakar, dan segala macam. Selain itu, karena penggunaan pesawat Garuda lewat sistem carter, ongkosnya pun menjadi lebih mahal. Agar bisa mencapai harga US$ 1.200 itu pun, keuntungan mereka harus dipepet habis-habisan.

Di mana-mana, ongkos carter yang sudah terencana seperti perjalanan haji umumnya lebih murah daripada ongkos jika orang terbang dadakan. Mahalnya ongkos Garuda mungkin bisa dipahami pula dengan praktek sewa-menyewa yang memperpanjang jalur tetesan uang. Garuda—perusahaan penerbangan pemerintah itu—menyewa pesawat dari beberapa perusahaan swasta seperti PT Nugra Sentana (Ponco Sutowo), Citra Lamtoro Gung (Siti Hardiyanti Rukmana), dan Humpuss (Hutomo Mandala Putra).

Namun secara tegas Harliman juga menyatakan bahwa tuduhan Tarmizi terlalu tendensius. Soalnya, besar tarif ONH dari tahun ke tahun merupakan hasil kesepakatan antara Garuda, Departemen Agama, dan Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum akhirnya ditetapkan oleh presiden. Karena itu, Garuda tak bisa seenaknya menentukan tarif sendiri.

Selesai? Tunggu dulu. Kejanggalan lain terlihat dalam soal dana asuransi Perang Teluk, yang tidak pernah ketahuan bagaimana penggunaannya dan siapa yang menggunakannya. Buku Bunga Rampai Perhajian hanya menyebutkan bahwa asuransi tersebut dibebankan melalui komponen tiket angkutan udara sehubungan dengan terjadinya Perang Teluk pada 1991 atau Middle East Insurance. Asuransi ini merupakan peraturan internasional yang diberlakukan pada penerbangan dengan rute ke Timur Tengah—dan sekarang sudah dihapus.

Sementara itu, Mubarok mengatakan, sesuai dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan ketika memeriksa pembukuan Garuda, memang terdapat pungutan sebesar US$ 60 pada 1991, US$ 30 pada 1992, dan US$ 30 pada 1993 untuk asuransi Perang Teluk yang dibebankan kepada jemaah. Pungutan pada 1992 dan 1993 sudah diserahkan Garuda kepada Departemen Agama, tapi pungutan 1991, menurut Mubarok, belum.

Namun Kepala Komunikasi Perusahaan dan Umum Garuda, Pujobroto, menepis tudingan bahwa perusahaannya mengutip asuransi Perang Teluk. Yang benar, katanya, baik untuk penerbangan reguler maupun angkutan haji, Garuda mengasuransikan penumpang dan barang yang diangkutnya dalam bentuk liability insurance. "Di dalam liability insurance itu sudah tercakup komponen asuransi perang atau war risk, termasuk ketika berlangsung Perang Teluk 1991 lalu," ujar Pujo. Entah siapa yang benar untuk soal ini.

Keanehan berikutnya, kata Muas, terlihat pada tidak ditenderkannya penyewaan rumah untuk jemaah di Arab Saudi, sehingga memakan biaya cukup besar. Selama ini juga ada kesan ketidakadilan dalam hal letak dan tarif yang dibayar untuk pemondokan jemaah di Arab Saudi. Untuk diketahui, lokasi pemondokan di Mekah dibagi dalam tiga ring. Jarak antara ring I dan ring III mencapai 1.500 meter. Pemondok yang berada di ring I dikenai biaya 2.000 riyal, sementara yang di ring II dikenai biaya 1.600 riyal dan yang di ring III 1.000 riyal. Tapi jemaah haji Indonesia dikenai biaya yang sama untuk semua ring, yaitu 1.600 riyal. Padahal komposisi penempatannya pada ring I 20 persen, ring II 30 persen, dan ring III 50 persen.

Tingginya ongkos haji Indonesia juga dipicu oleh inefisiensi hampir di semua lininya. Dengan jumlah calon haji yang banyak itu setiap tahunnya, dan uang yang besar itu, negeri ini semestinya punya prasarana dan pengalaman untuk penyelenggaraan haji secara lebih murah. Skala ekonominya begitu tinggi, sehingga ongkosnya semestinya bisa jauh lebih murah.

Pengelolaan haji, karena melibatkan uang dalam jumlah sangat besar, sudah selayaknya dimasukkan dalam kategori bisnis, dan harus dikelola menurut kaidah bisnis yang benar dan profesional. Namun, selama ini, tarif standar atau pungutan dalam pengelolaan haji tidak pernah ditentukan secara transparan, bahkan jika pun telah melibatkan DPR. Tidak transparan pula dilaporkan.

Seandainya "kejanggalan-kejanggalan" di atas bisa dihapus, Muas memperkirakan, BPH mungkin hanya sekitar US$ 1.250 atau bahkan lebih rendah, yakni US$ 1.150. Kalau dirupiahkan, itu menjadi sekitar Rp 15 juta—hampir separuh dari ongkos sekarang.

Itu sebabnya Muas lantas mengusulkan agar dilakukan pengusutan atas dana-dana yang berkaitan dengan penggunaan BPH. Kalau tidak, jemaah haji bakal menjadi sekadar obyek pencarian keuntungan oleh orang-orang yang berlindung di balik kata-kata "ibadah".

Dan sudah saatnya barangkali, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan Islam, atau partai oposisi Islam melakukan advokasi untuk melindungi calon haji dari praktek manipulatif seperti selama ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar