Jumat, 21 Mei 2010

Ketika Kita tak Bermalu

Oleh : S Sinansari ecip


Tiada asap tanpa api. Api berkobar- kobar menimbulkan asap bergulung-gulung. Kemarin-kemarin tidak terbayangkan bahwa gelombang asap coklat bisa menutupi wilayah yang begitu luas. Jangankan capung dan burung. burung besi bernama pesawat air bus yang muat ratusan orang dapat jatuh karenanya. Orang-orang negeri tetang­ga mengumpat di dalam hati kepada ne­geri tetangganya yang hutannya dibakar.

Sebuah kiamat tengah berlangsung. Api menjilat ke mana-mana. Tidak ada yang tidak terbakar. Hutan-hutan gundul. Gambut yang biasanya basah di dalam rawa-rawa, terbakar juga. Seluruh hewan kecil musnah tak berbekas. Tidak ada celah selobang jarum pun yang dapat dipakai sebagai tempat bersembunyi. Kalau hewan kecil tidak dapat tersem­bunyi, ke mana hewan-hewan besar?

Rusa sudah habis. Dagingnya sudah hangus terpanggang. Monyet entah pergi ke mana. Dahan-dahan tempat berge­lantungan mereka sudah tidak ada lagi. Burung, enggang yang bulu-bulunya di­sukai penduduk setempat sudah lebih dulu hilang. Karena sungai sudah tanpa air. para buaya sudah pindah ke darat, masuk ke kota dan tinggal di dalam ge­dung-gedung.

Mat Dra’i terisak-isak. Seluruh pen­duduk patut bersedih. Dilakukan perkabungan nasional. Bencana ini menjadi tanggung jawab bersama. Tapi penik­matan atas manfaat sebelumnya hanya dilakukan oleh segelintir orang.

Tersebutlah sebuah perusahaan kelu­arga yang pekerjaannya menguras keka­yaan hutan. Mereka berlima sedang du­duk di kursi-kursi yang mengelilingi me­ja rapat. Mereka sedang minum teh sore.

Mari kita bersulang untuk keme­nangan kita," kata seorang perempuan lewat tengah umur. Dia memang saudara tua di antara mereka.

Mangkuk-mangkuk kecil dan keramik dinasti Ming diangkat bersama. Isinya teh hijau yang konon bisa membuat sese­orang yang rutin meminumnya selalu awet muda. Setelah bibir-bibir mangkuk keramik diadu dan terdengar dentingnya, mereka mereguk teh sekali.

"Juga untuk keselamatan harta kita di bank luar negeri," kata adik bungsunya, seorang pemuda ingusan.

Terdengar dentingan keramik kedua dan air teh hijau mengalir ke leher-leher mereka.

Yang disebut dengan "kemenangan kita" ketika bersulang pertama adalah keberhasilan mereka membabat hutan. Semua batang kayu telah disikat habis, yang tinggal hanyalah sisa-sisa ranting dan daun-daun kering yang dilahap api. Hasilnya adalah asap tebal. Yang penting bagi mereka adalah menumpuk uang.

Menyaksikan asap yang merajalela ke negeri-negeri tetangga, banyak negeri membantu. Mereka ingin negeri Mat Dra'i dan penduduknya terbebas dan te­kanan rasa berdosa.

"Apakah kita perlu merasa berdosa dengan pembabatan hutan dan pemba­karan sisa-sisanya?" tanya salah seorang dari saudara berlima di atas.

"Mengapa?" tanya yang termuda.

"Akibatnya ternyata luar biasa."

"Mengapa kamu tiba-tiba bermoral?" tanya yang lain.

"Akibatnya temyata luar biasa." "Mengapa kamu punya hati nurani?" tanya yang lain lagi.

"Akibatnya temyata luar biasa. Apa­kah kita tidak perlu malu?"

Mat Dra'i yang berada di luar jendela hanya bisa membatin. "Memangnya kita masih punya rasa berdosa, bermoral, dan punya malu? Bukankah moral, hati nu­rani, dan malu sudah diterbangkan angin sebelum angin itu meniupkan asap?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar