Selasa, 18 Mei 2010

Nifak

Oleh Or Ahmad Hatta MA

Suatu hari, Hanzhalah Al Husaiyidi r.a., sahabat Nabi Muhammad saw, menemui Abu Bakar sambil berteriak, "Nafaqo Hanzhalah! (Hanzhalah telah menjadi munafik!)".

"Subhannallah, apa yang kau katakan?" kata Abu Bakar terheran-heran, lantaran mengetahui bahwa saha­batnya itu dikenal sebagai orang yang saleh.

Hanzhalah lalu menjelaskan maksud perkataannya. Katanya, "Ketika kita di hadapan Rasulullah saw dan Beliau menceritakan tentang surga dan neraka, seakan­akan surga dan neraka itu ada di hadapan kita. Tetapi ketika kita jauh darinya dan kembali sibuk dengan istri, anak, dan pekerjaan, kita lupa apa yang baru kita dengan" Setelah mendengar penjelasan Hanzhalah, Abu Bakar mengaku juga merasakan hal serupa.

Apa yang dirasakan oleh Hanzhalah dan Abu Bakar tadi, temyata juga dialami sahabat Rasulullah saw yang lain. Mereka selalu khawatir terperangkap dalam kemu­nafikan yang tak disadarinya. Kekhawatiran itu tentu saja berdampak positif pada kehidupan sehari-hari, karena yang bersangkutan akan selalu menjaga iman dan takwa mereka.

Sayangnya, sekarang ini talk banyak dari kita yang mewarisi kekhawatiran serupa. Kekhawatiran akan menjadi orang yang munafik, telah hilang dalam kehidup­an kita sehari-hari. Selepas menjalankan ibadah shalat, misalnya, kita sering telah merasa cukup sebagai seorang muslim. Kita lupa dengan kaidah yang menyatakan bahwa: al iman yazid wa yanqush (iman bisa bertambah dan berkurang). Artinya, iman dan takwa harus terus menerus kita pupuk agar kita tidak terjatuh pada kemunafikan.

Nifak atau kemunafikan bisa bersifat I'tiqadi atau Amali. Nifak I'tiqodi adalah kemunafikan dalam akidah, yaitu keimanan yang hanya terungkap di mulut tetapi tidak teraplikasi di hati. Firman Allah swt: Di antara manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, padahal mereka itu sesungguh­nya bukan orang-orang yang beriman. (Al Baqarah: 8).

Sedangkan Nifak Amali bisa bersifat ritual, sosial, politik, kultural, dan sebagainya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw menyebutkan empat bentuk umum Nifaq Amali yaitu: apabila berbicara berbohong, apabila berjanji ingkar, apabila diberi amanat berkhianat, dan apabila berselisih berlaku keji.

Selain bervariasi, kemunafikan juga tidak transparan sehingga sering memperdaya dan menipu, baik secara ekstemal atau internal. Eksternal dalam artian bahwa seorang munafik dapat memperdaya dan menipu orang mukmin baik dalam penampilan ataupun dalam argu­mentasi. Allah menjelaskan: Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikan kepada Allah (atas kebe­naran) isi hatinya, padahal ia adalah penentang yang paling keras (Al Baqarah: 204).

Sedangkan internal artinya bahwa terkadang kemu­nafikan yang kita lakukan mengelabuhi diri kita sendiri. Kemunafikan sering kita anggap sebagai perbuatan yang lumrah, Bahkan anehnya, tidak jarang kita memandangnya sebagai sebuah kejujuran, kesetiaan atau sikap kepahlawanan karena demi mempertahankan kepenting pribadi atau kelompok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar