Jumat, 21 Mei 2010

Memasyarakatkan Salam


Oleh Makmun Nawawi


Di tengah arus dunia yang makin modern, orang makin dimanja dengan hasil temuan ilmu penge­tahuan. Segala hajat hidupnya tersaji dengan serba cepat. Zaman makin instan. Orang pun berlomba meraih apa yang disebut sebagai gaya hidup modem.

Banyak nilai positif yang menyertai kemajuan-kema­juan itu, namun tak urung membuahkan ekses yang lumayan akut pula. Gaya hidup hedonistic, konsumens­tis, materialistic, egois, jor-joran, dan masa bodoh dengan penderitaan orang lain, perlahan-lahan mengikis budaya malu, tenggang rasa, gotong royong, dan asah-­asih-asuh yang merupakan budaya asli bangsa kita. Kerja sama hanya terjalin bila ada nilai profit yang men­giringinya. Keakraban dan kecintaan menjadi 'barang' langka dan, kalaupun ada, terasa semu.

Dalam Islam, kita dibiasakan untuk saling memberi salam. Cara ini merupakan terapi yang ditawarkan Islam untuk menumbuhkan persahabatan dan kecintaan di antara kita, tanpa memandang kepentingan dan suku bungsa tertentu. Nabi bersabda: "Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya! Kalian tak akan masuk sorga sampai kalian beriman; kalian tak akan beriman sampai kalian saling mencintai. Tidak inginkah kalian kutunjukkan sesuatu yang jika kalian melakukannya maka kalian akan saling cinta mencintai? Taburkanlah salam di antara kalian!" (HR Muslim).

Melalui salam, sekat-sekat primordialisme pudar, dan Islam sebagai rahmat untuk segenap alam pun betul-­betul maujud. Lewat salam, universialisme Islam begitu terasa. kasih sayang memancar, tali jiwa menjadi teguh, jalinan cinta kasih menjadi kokoh, dan hubungan sosial pun menjadi bersih. Itulah sebabnya Iman Mutawalli berpendapat, kalau seseorang menjumpai sekelompok jamaah lalu ia mengkhususkan salam hanya kepada segolongan di antara mereka, maka itu makruh. Ini karena tujuan salam adalah menumbuhkan keramahan dan persahabatan, sementara mengistimewakan seba­gian dan mengesampingkan sebagian lainnya hanya membuat yang dikesampingkan itu tersinggung. Dalam banyak kondisi, inilah penyebab munculnya permusuhan.

Dengan salam, kita tidak hanya sedang mengumpulkan kebajikan demi kebijakan sebagai bekal di akhirat kelak, tapi pada saat yang sama sesungguhnya kita juga tengah menepis keangkuhan dan kesesatan hati. Karena itu, hanya orang yang rendah hatilah yang mau mengucapkan salam lebih dulu. Buat orang inilah Nabi menghibur: "Sesungguhnya manusia yang paling berhak mendapat (ridha) Allah adalah yang terlebih dulu mengucapkan salam." (HR Abu Daud).

Dalam kondisi di mana kesenjangan sosial dan kerusuhan massa sering terjadi, kita harus lebih giat memasyarakatkan salam, sehingga menjadi bagian dari gaya hidup modem pula. Pada gilirannya, seorang ' Muslim akan amat bangga mengucapkan salam pada sesamanya, baik pada mereka yang dikenal maupun tidak.

Barangkali itulah pesan implicit dari shalat yang saban waktu kita kerjakan; kalau salam (pertama) menjadi rukun dari shalat, yang tanpanya shalat tidak sah, itu artinya bahwa setidaknya kita mesti menyusupkan doa damai dan sejahtera bagi sesama Muslim minimal lima kali sehan. Wallahu A'Iam bishshawb.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar